Rasa kantuk Kamilia hilang seketika. Begitu teringat dengan nama Freza.
"Apakah Freza yang sama? Atau hanya kebetulan persamaan nama saja," pikir Kamilia.
Teringat oleh wanita itu, tatapan mata Freza yang dingin. Tidak ada kehangatan di sana. Merinding Kamilia membayangkannya.
"Bagas harus menjelaskan kepadaku." Hati Kamilia mereka-reka rencana, agar bisa mengorek keterangan dari Bagas. Besok, dirinya akan menemui Bagas secara khusus. Kebetulan besok ada pemotretan di sebuah taman kota. Untuk sebuah iklan makanan instan.
Hendra menggigil lagi, dia mengerang kesakitan. Kamilia panik, akhirnya memutuskan untuk membawanya ke dokter.
"Ayo, Hendra, kita ke dokter," Kamilia membangunkan Hendra.
Mata Hendra terbuka sedikit. Lelaki itu merasa heran, mengapa sampai sakit seperti ini. Kehidupannya yang keras dari dulu tidak pernah membuatnya meringkuk sakit apalagi masuk rumah sakit.
"Tidak!" Hendra menolak. Kamilia hanya terdiam dengan penolakan Hendra. Dia tidak bisa memaksa.
"Besok ada pemotretan, aku harus fit, Hendra," ujar Kamilia.
"Tidurlah! Aku baik-baik saja," suruh Hendra. Sekilas Hendra memandang Kamilia dengan pandangan sayu. "Sialan mereka memberi dosis yang membuatku lemas." Hendra menggerutu dalam hatinya. Obat bius itu masih terasa efeknya.
Kamilia beranjak menuju kamarnya sendiri. Malam dingin membuat dirinya ingin segera bergelung dengan selimut. Apalagi tadi dia sempat melayani lelaki sialan itu --Bagas.
Tetap saja matanya sukar untuk dipejamkan. Dari balik selimutnya, matanya menerawang. Teringat masa lalu, teringat kampung, ibunya serta adiknya. Tentu saja kalau dia teringat itu semua sebuah nama itu akan otomatis muncul.
"Saiful, apa kabarnya dia kini?"
Pikirannya berkelana ke masa silam. Seandainya bapaknya tidak berhutang, seandainya dirinya tidak bertemu Tante Melly. Ada beratus-ratus kata seandainya yang mungkin mengubah nasibnya.
"Kartika, nanti aku akan melamarmu!" Itu ucapan Saiful dulu.
Deg! Jantung Kamilia serasa berhenti berdenyut. Teringat kembali dengan nama Kartika. Dirinya sudah melupakan nama itu. Kini, tiba-tiba saja nama itu kembali muncul bersama kenangannya.
Kamilia menggelengkan kepalanya. Mengusir jauh-jauh ingatan tentang Saiful. Dirinya terlalu kotor untuk sekedar mengingatnya saja.
Semakin Kamilia mengusirnya, semakin nyata bayangannya. Dia seperti menatap gadis itu dengan begitu tajam.
"Sampai kapan kau akan seperti ini? Kapan kau kembali, Kartika?"
Dalam dekapan bantalnya, Kamilia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Mengusir bayangan wajah Saiful yang kian menghantuinya.
"Aku membencinya, Saiful! Ya … aku sangat membencinya. Dia yang menyebabkan aku seperti ini." Kamilia memaki sendiri, tentu saja sasarannya adalah Ibrahim --bapaknya.
Sampai saat ini, ibunya masih saja mengurai hujan di wajahnya. Tentu saja karena ulah bapaknya yang semakin kecanduan berjudi. Apalagi sekarang, uang bukan lagi masalah. Kamilia adalah mesin pencetak uang baginya kini. Kamilia terlelap dengan air tersisa di sudut matanya.
**
Lampu-lampu sorot menyilaukan mata sang model paling top saat ini. Dia kini sedang mempromosikan makanan cepat saji. Sepiring mie instan terhidang di hadapannya.
Tiba-tiba pandangan sang model menjadi kabur. Setetes air mata mengembang di pelupuknya. Teringat wajah adiknya dulu, betapa mereka menginginkan makanan ini.
Kamilia rela menjadi buruh cuci. Demi rupiah untuk membeli mie instan yang harumnya seperti menembus langit. Dia bahagia melihat kedua adiknya melahap makanan tersebut.
"Siaaap … action!" Bagas berteriak memberi aba-aba.
Kamilia sedikit terkejut. Raut wajahnya berubah. Bagas mengerutkan keningnya melihat Kamilia. Dia mendekati wanita cantik itu.
"Ada apa, Mila? Professional dong! Wajah murungmu akan membuat penjualan makanan ini anjlok!" Bagas berkata dengan tegas.
"Hendra sakit." Kamilia menjawab singkat. Mata Bagas memandang penuh tanda tanya. Kamilia hanya mengangkat bahunya.
Pengambilan gambar selesai tengah hari. Kamilia bergegas berkemas. Bagas mencegatnya.
"Kau harus menemaniku sebentar, Mila," kata Bagas.
"Apa maksudmu?" Kamilia berkata pelan tetapi dingin menusuk.
"Kita harus bicara!" kata Bagas tegas. "Tunggu aku di cafe biasa, jangan bertingkah! Banyak wartawan di sini." Bagas berkata sambil pura-pura membereskan alat.
Ahh … tentu saja banyak wartawan yang meliput kegiatan model yang sedang naik daun ini.
"Bisa wawancara sebentar, Kak?" Seorang wartawan menjejeri langkah Kamilia menuju mobilnya.
"Boleh," jawab Kamilia.
"Bang Hendra kemana?"
"Dia ada urusan ke luar kota." Kamilia menjawab singkat. Dia harus pandai berbohong kini. Dunia ini penuh kepura-puraan biar tetap exist. Kejujuran akan membuat wanita itu hancur.
"Satu lagi, Kak?"
Kamilia hanya memandang sekilas, kemudian tersenyum. Dia memang selalu menampilkan keramahan di mana pun berada. Padahal hatinya tengah dirundung sedih.
Walau bagaimanapun Hendra adalah teman hidupnya selama dua tahun ini. Dia yang memberinya kehidupan. Walau posisinya tetap sama seperti dulu, setidaknya takdir tidak membuat dirinya selalu menunduk.
"Benarkah dulu Kakak bekerja dengan Tante Me--"
"Kau masih belum pulang juga, Mila." Bagas memotong pertanyaan wartawan itu. Bagas setengah menyeret Kamilia memasuki mobilnya.
"Tunggu Kak … tunggu!" Wartawan itu berseru. Bagas tidak peduli, segera dia memacu mobil Kamilia.
"Bodoh!" Bagas memaki.
Kamilia memandang lelaki di sampingnya. Hatinya berdesir memandang lelaki tampan tersebut. Antara dendam sudah menyeretnya dalam masalah lelaki itu.
"Kau jangan selalu bersikap baik sama wartawan seperti itu, Mila!" Bagas kembali bicara. " Lama-lama kehidupanmu akan terkuak nanti. Apa kata dunia kalau sebenarnya kau adalah seorang pelacur. Seorang wanita simpanan pengedar narkoba?"
"Cukup Bagas!" teriak Kamilia."Sekarang aku tanya, siapakah Freza?"
"Dia Papahku, kenapa?"
"Apakah dia bandar narkoba?" tanya Kamilia. Gadis itu merasa punya kesempatan untuk bertanya kini.
Bagas tidak segera menjawab. Sesungguhnya dia kaget darimana Kamilia tahu tentang Freza. Diam-diam rasa sesal memenuhi hatinya. Tidak seharusnya di mengenalkan Kamilia kemarin.
"Hendra bilang apa?" tanya Bagas.
"Dia tidak bilang apa-apa, dia semalam mengigau. Menyebut nama Freza," jawab Kamilia.
Ah … Bagas menjadi lega kini. Setidaknya dia masih bisa sedikit berdusta kini. Dia sudah lama meninggalkan bapaknya itu. Bagas tidak pernah peduli dengan bisnis haram keluarganya.
"Ada begitu banyak nama Freza di dunia ini. Mengapa kau mencurigai Papaku bandar narkoba ... haha?" Bagas bertanya sambil tertawa kecil.
Kamilia tidak menjawab lagi. Dirinya merasa terpojok dengan jawaban Bagas.
"Ya … Bagas benar, ada begitu banyak nama Freza di dunia ini," pikirnya.
"Pekerjaan ayahmu apa?" tanya Kamilia.
"Pengusaha." Bagas menjawab tanpa ragu. " Kau mau berkunjung ke rumahku?" tanya Bagas. "Bertemu kembali dengan calon mertuamu … hahaha hahaha." Bagas tertawa.
"Biarkan aku pulang sendiri, kau harus balik lagi. Ambil motormu!' perintah Kamilia.
"Bagaimana? Kau bersedia menjadi istriku, Mila?" tanya Bagas. Lelaki itu tidak memperdulikan perkataan Kamilia.
Tentu saja Kamilia kaget dengan pertanyaan Bagas. Dirinya berharap Hendra menikahinya, tetapi yang melamarnya adalah Bagas. Dilema terjadi dalam hatinya.
"Aku tidak pernah mencintaimu, Bagas." Kamilia berkilah.
Kamilia tahu, tidak ada cinta dalam hatinya. Kamilia tidak perlu cinta. Dia hanya perlu hidup tanpa tumpukan dosa-dosa ini. Namun, jeritan ibunya selalu terngiang kalau bapaknya tidak disediakan uang untuk berjudi.
"Dan Hendra ... apakah kau mencintainya?" Bagas bertanya lagi.