"A … aa … apa?"
Bagas memandang bapaknya tidak percaya. Freza hanya terdiam. Bagas kembali lagi, duduk dekat bapaknya.
Freza hanya mematung, memandang jauh ke depan. Dia sangat shock dengan berita yang baru saja diterimanya. Begitu pula dengan Bagas. Pemuda itu memandang lekat bapaknya, meminta penjelasan.
Bagas terhenyak mendengar cerita bapaknya. Dia ingin segera berjumpa dengan Kamilia. Dia ingin mendengar sendiri kebenaran itu dari mulut Kamilia sendiri.
Keingintahuannya membawanya kembali ke sisi Kamilia yang tertidur. Hendra heran, apalagi raut wajah Bagas kusut.
"Untuk apa kau kembali?" tanya Hendra.
"Kau yang untuk apa di sini? Bukankah kau sudah punya istri?" Bagas balik bertanya dengan ketus.
"Fitnah! Aku belum pernah menikah!" seru Hendra.
"Ya sudah tidak usah ngegas," kata Bagas. "Bisakah aku ngobrol berdua saja dengan Kamilia?" tanya Bagas kepada Hendra.
Hendra bergerak ingin menonjok mulut laki-laki itu. Namun, Kamilia yang terbangun mengurungkan niatnya.
Bagas memberi isyarat kepada Hendra untuk meninggalkannya sejenak . Dengan muka kesal Hendra beranjak keluar
"Mila," panggil Hendra.
Kamilia memandang Bagas tanpa berkata. Hatinya heran, mengapa Bagas begitu berani menemuinya di depan Hendra.
Dalam hati Bagas, begitu banyak kekecewaan yang ingin dia ucapkan kepada Kamilia. Dia sangat kecewa bila ternyata mereka bersaudara. Ingin sekali Bagas bercerita kalau di antara mereka tidak boleh ada hubungan cinta.
"Kita harus pisah, Mila!" Akhirnya Bagas berbicara. Ucapan dengan hati sungguh tidak sinkron.
Kamilia hanya mengedikkan bahu. Dia tidak mengerti dengan sikap Bagas. Batinnya heran, baru saja Bagas melamarnya. Kini, memutuskan. Kamilia juga belum mempunyai hubungan apa pun dengannya. Percintaannya karena semata-mata takut ancaman. Bagas berlalu dengan muka masih terlihat sedih.
Kamilia memandang tubuh Bagas yang menghilang di balik pintu. Tak habis mengerti mengapa dia selalu menghadirkan luka untuk hatinya. Dia yang memulai dan begitu saja mengakhiri.
Hendra masuk dengan curiga. Lelaki itu tidak lupa melontarkan kata-kata menyakitkan untuk Kamilia.
"Apa urusanmu dengannya? Kau jangan bersikap jalang seperti dulu, Mila! Jangan sampai aku bertindak kasar lagi!"
"Aku tidak ada urusan dengannya."
"Aaahh!" Hendra berteriak.
***
Sejak saat itu Bagas tidak lagi memaksa Kamilia untuk melayaninya. Lelaki itu selalu berusaha menghindari wanita itu. Tentu saja Kamilia merasa tidak mengerti dengan ini semua.
"Make-up … make-up! coba itu agak sedikit tebal bedaknya di pelipisnya Mila! Tidak bagus ini di kamera!" Bagas memberi perintah kepada seorang make-up artist.
Dengan cekatan ia membereskan muka Kamilia sehingga sangat cantik di kamera. Dengan suasana canggung seperti ini, Kamilia merasa waktu ingin cepat berlalu.
"Kalian para lelaki, memang pandai membuat luka," desis Kamilia.
Laki-laki memang hanyalah sosok ego yang hanya ingin menang sendiri. Mereka hanya ingin dimengerti. Namun, mereka lupa untuk menghargai. Ada sisi hati yang seharusnya dijaga.
Kamilia memandang Bagas dengan perasaan tidak karuan. Sudah seharusnya memang wanita itu membuat pilihan. Walau dirinya tidak berdaya, tapi jauh di lubuk hatinya masih yakin, Tuhan ada untuknya. Walau dia sudah begitu jauh dengan Tuhan, tetapi dirinya masih punya keyakinan.
Hidup memang tidak hanya dua pilihan. Ada begitu banyak pilihan bagi orang bebas. Tidak seperti dirinya, terkungkung dengan penjara asmara Hendra.
"Ke mana dia?" Suara itu mengagetkan Kamilia yang sedang melamun, menunggu shooting kembali berlanjut.
"Eh … si siapa?" Kamilia balik bertanya dengan gugup.
"Hendra, siapa lagi?" Bagas yang sedang melanglang di pikiran Kamilia, tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
"Entahlah," jawab Kamilia.
"Ini!" Bagas memperlihatkan sebuah foto yang baru saja dia terima.
Kamilia hanya melihat sekilas. Hatinya perih melihat Hendra sedang berduaan dengan Calista.
"Sampai kapan kamu akan dia permainkan, Mila?" tanya Bagas. Ada kegeraman dalam nada bicaranya.
"Apa pedulimu?"
"Tentu saja aku peduli! Kamu itu a …." Bagas menutup mulutnya. "Hampir saja," batinnya.
"Apa?" Kamilia memandang Bagas dengan penasaran.
Bagas mengangkat bahunya, kemudian pergi meninggalkan wanita itu. Kamilia semakin merasa ada yang Bagas sembunyikan darinya. Namun, hari ini Kamilia tidak ada hasrat untuk mengejar penjelasan dari lelaki itu.
"Sama saja, tidak ada yang membuat bahagia. Apakah orang seperti aku yang berkubang dalam lumpur hitam, tidak berhak bahagia." Hati Kamilia sibuk menggerutu.
Luka tanpa batas bertubi-tubi mendera hatinya. Kamilia kadang-kadang merasa tidak kuat, putus asa dan menderita. Bagaimana dia bisa berlari, sedang kakinya dirantai perjanjian.
**
"Mengapa dia bisa menjadi adikku?"
Terdengar suara keras Bagas oleh Kamilia yang diam-diam membuntuti Bagas. Tadinya wanita itu menyangka Bagas akan pulang ke apartemennya. Ternyata lelaki itu pulang ke rumah bapaknya, Tuan Freza.
Cepat-cepat Kamilia berlindung di balik tembok. Dia penasaran siapa adiknya Bagas. Sesekali wanita itu melongok ke arah mereka berdua. Tampak Tuan Freza dengan mukanya yang murung. Begitu juga dengan muka Bagas.
"Dulu dia bekerja di rumah kakekmu." Tuan Freza mulai berbicara.
"Lalu … Kamilia?" Pertanyaan Bagas berhasil membuat telinga Kamilia semakin meruncing. Ada apa namanya terseret dalam pembicaraan mereka.
"Itu hanya kecelakaan," Tuan Freza berkata, matanya tetap menerawang.
"Kecelakaan … kecelakaan bagaimana sampai kau punya anak!?" Bagas berteriak marah.
"Jadi, aku anaknya Tuan Freza," kata batin Kamilia. Tangannya menutup mulutnya karena kaget.
Praaang.
Tanpa sengaja tangan wanita itu menyenggol sebuah guci kecil. Jatuh dan pecah berkeping-keping.
"Siapa itu?" Bagas memburu ke arah asal suara.
Tidak ada siapa-siapa saat Bagas sampai ke ruang depan. Hanya seekor kucing putih peliharaan Tuan Freza yang sedang memandangnya.
"Tahunya hanya kucing," gerutu Bagas. Pemuda itu kembali menemui Freza.
Kamilia berlari keluar, sejenak dia bersembunyi di balik pot bunga yang besar. Berlindung dari pandangan Bagas. Beruntung penjaga gerbang sejak Kamilia masuk tidak ada di tempatnya.
Dia pulang dengan pikiran mengembara. Tidak mengerti sama sekali obrolan mereka.
"Mengapa tiba-tiba namaku disebut? Atau hanya kebetulan saja," pikir Kamilia. Kamilia berpikir sebuah nama yang kebetulan sama dengannya. "Apabila memang cuma kebetulan, mengapa Bagas membatalkan lamarannya?"
Aah, Kamilia sangat tidak mengerti. Dia tidak pernah sedikitpun tahu tentang kehidupan ibunya dulu. Dia hanya tahu dari sejak ingat, bapaknya ya Ibrahim itu.
Tidak ada yang aneh dalam rumah-tangga ibunya. Hanya sikap bapaknya memang kadang-kadang sangat kasar kepada ibunya dan dirinya.
Tunggu, bapaknya itu suka sekali menyebutnya si pembawa sial. "Maksudnya apa, ya?" Kamilia membatin.
Sikap Bagas juga sangat janggal di mata Kamilia. Namun, Kamilia mengerti kalau dirinya cuma persinggahan buat Bagas. Kalau bukan karena urusan dengan Calista, tidak sudi tubuhnya dijamah lelaki tersebut. Tanpa terasa Kamilia sampai juga di rumah.
Bergegas Kamilia menuju kamarnya. Saat dia mendengar suara-suara aneh dari dalam.
"Dasar perempuan jalang!" Kamilia berteriak histeris. Dia melemparkan tas ke arah perempuan itu.