Bang Bos melayangkan tinjunya ke muka anak muda tersebut. Lelaki itu berkelit, tapi ia tetap dalam posisi bertahan, mungkin ia segan dengan Bang Bos yang menjadi pemimpin para napi di sini.
Biarpun Bang Bos pimpinan, dirinya tidak sesuka hati melecehkan para napi bawahannya. Dia termasuk pemimpin yang bijak. Namun, bagi napi baru memang ada semacam perkenalan di sini, dilihat dari kasusnya dulu. Kalau cuma kasus ringan cukup satu dua pukulan. Namun, kalau kasus perkosaan, wow ini sasaran empuk bagi penghuni lama, untuk sejenak meluruskan tangan melayangkan bogem ke muka napi baru.
"Ayo, katanya kamu jago bela diri," kata Bang Bos menantang, dia bersikap seolah-olah petinju profesional. Melayang-layangkan tinjunya sambil sedikit melompat-lompat di tempat.
Lelaki itu hanya tersenyum. Ia tak berani membalas. Bang Bos melayangkan jab --pukulan lurus ke depan dalam istilah tinju dan telak mengenai wajah lelaki tersebut.
Untuk sesaat ia terhuyung ke belakang dan jatuh terjajar menabrak tembok. Terduduk sambil punggung menyandar, ia mengusap bibirnya yang tampak mengeluarkan darah.
"Ayo bangun! Cuma segitu aja kekuatan penyiksa wanita?" kata Bang Bos sambil tertawa mengejek.
"Sudah, Bang, ampun," kata lelaki atletis itu. Ia menangkupkan kedua tangannya di dadanya.
"Hendra ada tamu!" Petugas lapas memberi tahu.
Lelaki yang baru saja di pukul Bang Bos bangun. Dia berjalan keluar sel untuk menemui tamunya.
"Bos," kata Hendra menyapa.
"Mengapa kamu sampai berurusan dengan polisi, hah!" Freza marah kepada anak buahnya itu.
"Saya tidak sengaja melem--"
Tiba-tiba dering telepon mengganggu pembicaraan mereka. Freza menjauhi sedikit untuk menerimanya. Wajahnya berubah begitu mendengar berita dari seberang sana.
"Baiklah, Papah ke sana," katanya kemudian.
Freza menatap dingin ke arah Hendra. Lelaki setengah baya itu meninggalkan Hendra. Tentu saja Hendra bingung, dia berjalan cepat mengejar bosnya tersebut.
"Stop!"
Petugas lapas itu membentak Hendra. Lelaki itu menghentikan langkahnya. Dia hanya menatap punggung Freza yang semakin menjauh.
***
Kamilia merasa keningnya sudah tidak perih lagi. Bagas dengan setia menunggu. Kamilia terharu jadinya. Pikirannya masih tertuju kepada Hendra.
"Benarkah Hendra masuk penjara, Bagas?"
"Ya!" jawabnya tegas.
"Tolonglah, biarkan dia bebas!" Kamilia memohon.
"Terbuat dari apa hatimu, Mila? Sudah jelas dia mau mencelakai dirimu," kata Bagas Heran.
Pembicaraan mereka terputus karena Freza datang. Sesungguhnya Freza merasa penasaran dengan wajah Kamilia. Lelaki itu merasa Kamilia mirip seseorang dari masa lalunya.
"Orang tuamu tidak ke sini, Mila?" tanya Freza.
Kamilia terkejut mendapat pertanyaan seperti itu dari Freza. Dirinya tidak pernah berpikir untuk menyusahkan ibunya. Apalagi bapaknya yang mempunyai karakter bajingan itu.
Kamilia menggeleng. Dia sudah bertekad sejak nama Kartika ditanggalkan, hidupnya tidak akan menyusahkan mereka.
Freza penasaran, mengapa gadis di depannya itu tidak berhubungan baik dengan keluarganya. Apalagi wajah Kamilia yang membuatnya tidak bisa tidur. Wajah seseorang selalu mengganggu tidur malamnya.
"Bolehkah Bapak tahu nama ibumu?" tanya Freza.
"Dih, kepo." Bagas berkata sambil tertawa.
Kamilia memandang heran Freza. Tatapan mata yang penuh tanda tanya. Untuk apa dia bertanya tentang ibunya. Biarpun dia sebutkan tentu Freza tidak akan mengenalnya. Ibunya hanyalah seorang wanita kampung. Tidak pernah ke mana-mana.
"Ibuku bernama Ayunina," jawab Kamilia pelan.
"Siapa?" tanya Freza lagi.
"Ayunina, Tuan." Kamilia mengulang kembali nama itu.
Mendengar nama itu, raut wajah Freza sedikit berubah. Entah apa yang menyebabkan dirinya seperti itu, Kamilia tidak mengerti. Gadis itu yakin, Freza tidak mengenal ibunya.
Pernah, semasa gadis ibunya bekerja di kota sebagai pembantu. Sudah lama sekali, sebelum ibunya menikah dengan bapaknya.
Tidak ada yang aneh yang pernah diceritakan ibunya kepada Kamilia. Ibunya memang cenderung pendiam. Tidak ada perlawanan saat caci maki keluar dari mulut bapaknya.
"Kampungnya di mana?" tanya Freza lagi.
"Idih, Papah." Bagas menegur Freza sambil tertawa kecil.
"Di pesisir pantai selatan," jawab Kamilia.
Freza pulang setelah memastikan semua administrasi telah lunas. Kamilia diam, tak mampu berkata-kata. Ternyata dunia ini masih banyak orang-orang baik.
Kamilia pulang diantar oleh Bagas. Rumah sepi ditinggal selama dua hari. Kamilia merasa sendiri ketika Hendra belum pulang juga. Akhirnya Kamilia memutuskan untuk menengok Hendra di penjara, besok.
Keesokan harinya, setelah melalui perjuangan yang alot dan makan waktu. Akhirnya Hendra bisa bebas dan cabut perkara. Kamilia memaafkannya, dia menerima Hendra kembali.
Kamilia harus menjalani operasi untuk menghilangkan bekas jahitan di pelipisnya. Pekerjaannya sebagai model iklan menuntut kesempurnaan. Tidak boleh ada cacat menodai wajahnya.
"Kau hampir kehilangan nyawa, tapi dia kau maafkan, Mila!" Bagas marah saat menengok Kamilia yang baru keluar dari kamar operasi.
"Iya." Hanya itu yang Kamilia katakan. Dia tidak menanggapi kemarahan Bagas. Apalagi ada Hendra yang masuk kamar setelah mengambil obat.
"Hai, Bagas!"
Hendra menyapa Bagas, tetapi pemuda itu diam saja. Bagas benci kepada Hendra. Sesungguhnya Hendra juga merasa tak nyaman berdekatan dengan Bagas. Hendra merasa Bagas ini berpotensi menjadi saingannya.
**
"Cari informasi tentang orang ini!" Freza memberi perintah kepada anak buahnya. Dia memberikan sebuah foto.
"Baik, Bos!"
Selang beberapa hari, Freza sudah mendapatkan jawaban. Anak buahnya memang begitu gesit dalam menjalankan tugas. Melihat hasilnya, Freza merasa sangat shock. Masih terngiang di telinganya, kata-kata anak buahnya.
"Dia bernama Kartika, anak dari Ayunina."
Bagai petir tanpa hujan, begitu kagetnya Freza. Dia harus secepatnya melakukan sesuatu sebelum terlambat. Secepatnya Bagas dipanggil. Lelaki itu menelepon anaknya.
Freza : Cepat ke sini, Bagas!
Bagas : Papah, aku sedang di rumah sakit.
Freza : Cepat kemari!'
Bagas dengan kesal berpamitan kepada Kamilia. Dia masih ingin tinggal, menunggui Kamilia.
"Secepatnya aku akan kembali, Mila!'
Hendra memandang tidak suka kepada Bagas. Kamilia memberi isyarat agar Hendra tidak marah. Hendra menurut, lelaki itu kapok berurusan dengan polisi.
Bagas terburu-buru pergi. Dia merasa tidak melakukan kesalahan. Namun, tak urung hatinya kebat-kebit. Dia takut kalau papanya murka. Sepanjang jalan dirinya mengingat-ingat kesalahannya. Tetap saja dirinya merasa tidak membuat kesalahan.
Kamilia membetulkan letak selimutnya. Wanita itu ingin istirahat. Dia mulai memejamkan matanya.
"Aku curiga Bagas suka padamu, Mila?" ujar Hendra.
Kamilia membuka matanya kembali, memandang ke arah Hendra. Dia tidak menjawab, malah kembali memejamkan matanya. Hendra masih mengoceh saat Kamilia tertidur.
Bagas melihat bapaknya sedang duduk menunggunya. Sekilas tampak wajahnya begitu murung. Bagas duduk di depannya, menunggu tanpa bertanya.
"Tinggalkan Kamilia?"
Bagas menoleh cepat ke arah bapaknya. Memandang dengan tatapan tidak percaya.
"Apa?" tanyanya sekedar meyakinkan.
"Tinggalkan gadis itu!" Sekali lagi Freza berkata. Bagas mengerti ini adalah suatu perintah untuknya.
"Mengapa? Bukankah Papah yang menyuruhku untuk melamarnya?"
"Tidak usah membantah!?" bentak Freza.
"Mengapa? Aku perlu penjelasan, Pah!?" Bagas juga berkata cukup kencang.
Lama pemuda itu menunggu jawaban, dengan kesal dirinya bangkit. Berniat kembali ke apartemennya.
"Dia … adikmu."