Bagas mengantar Kamilia sampai rumahnya. Kamilia tidak mengajaknya mampir. Dia hanya mengucapkan terima kasih.
"Jangan lupa janjimu, Mila." Bagas mengingatkan.
"Kalau Hendra belum ketemu, jangan mimpi aku bakal menemuimu, Bagas!"
"Gampang, nanti dia aku cariin," kata Bagas.
Kamilia menarik bibirnya sedikit ke atas, mengejek Bagas. Bagas mengedikkan bahu tidak peduli.
"Kamu belum tahu, kalau aku super hero," kata Bagas.
Kamilia tidak memperdulikan Bagas. Dia menarik kopernya masuk rumah. Sesaat Bagas masih memperhatikan gadis itu menghilang di balik pintu.
Kamilia mengempaskan bokongnya di kursi. Dia mencoba menghubungi Hendra, tetapi handphonenya tidak bisa dihubungi. Kamilia tidak tahu harus berbuat apa. Kepada siapa harus meminta bantuan. Dia tidak tahu apa-apa tentang Hendra. Siapa orang tuanya atau saudaranya.
"Bagas … bisakah dia dipercaya?" pikirnya. Kamilia ragu dengan laki-laki itu. Kalau minta tolong dia, dirinya akan semakin terperosok ke dalam jebakannya.
Kamilia memandang gerimis yang mulai turun. Membasahi bumi dan berkelompok sesampainya di bumi. Mereka berkumpul membentuk koloni. Dimana koloni itu sanggup meluapkan sungai-sungai dengan kekuatannya.
Kamilia membayangkan jika hidupnya tanpa Hendra. Walau sekarang dia sudah bisa menapaki hidup. Tanpa Hendra dirinya merasa limbung. Perlahan-lahan gerimis di luar itu berpindah ke matanya. Apa yang baru saja dialaminya membuat kesabarannya dingin membeku.
Bagas sudah memberitahunya, bahwasanya Hendra adalah seorang pengedar narkoba. Kini, Kamilia semakin merasa bodoh. Tiga tahun hidup bersama tidak bisa membawanya mengenal Hendra dengan baik.
Selama ini Hendra juga sangatlah tertutup. Lelaki itu berusaha menjauhkan Kamilia dari lingkaran pertemanannya. Menjaga agar dirinya tidak ada yang menyakiti.
"Ahhh, Hendra … kamu di mana?"
Kamilia merebahkan badannya di sofa ruang tamu. Matanya memandang langit-langit yang berwarna putih. Kamilia seperti melihat kehidupannya dahulu di sana. Melihat para lelaki pemburu cinta satu malam. Lelaki yang bernafsu kuda, gorilla atau yang berperilaku menyimpang. Mereka tertawa, berteriak, sampai pita suara meledak. Mereka terbahak penuh kesenangan. Tangan dan mata mereka sibuk menjelajah. Wanita seperti Kamilia hanya bisa pasrah walau serasa terjajah.
Kamilia sibuk menyeka air mata, yang tak berhenti luruh karena Hendra.
Tersadar dirinya, perjalanan tentang hidup.
Perjalanan melewati kesedihan dengan bersabar dan melewati kebahagiaan dengan bersyukur.
"Hendra … kesedihan yang engkau tinggalkan, mungkin awal dari kebahagiaan yang belum terwujud. Dan kebahagiaan yang engkau pertahankan mungkin awal dari kesedihan yang belum terjadi." Bisik Kamilia.
***
Setelah Hendra masuk dan duduk di mobil, Andi mengusapkan sapu tangan ke wajah Hendra. Lelaki itu perlahan-lahan terkulai lemas. Andi juga mengikat tangan Hendra.
"Merepotkan saja, pakai melawan segala," ujar Andi.
"Iya, bibirku juga ngilu kena bogemnya," sambung Alex.
Mereka membawa Hendra menghadap bos --Freza. Lelaki berumur setengah abad itu masih nampak gagah, duduk di kursinya. Berwajah keras ciri khas seorang mafia. Setelah anak kandungnya menolak untuk bergabung di dunia hitam. Sesungguhnya Freza sangat menaruh harapan kepada Hendra.
Hendra sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Namun, akhir-akhir ini Hendra menjadi pembangkang. Freza mendengar kalau Hendra punya kekasih kini. Dia menjadi penasaran, wanita seperti apa yang sanggup mengubah seorang Hendra.
"Bos!" Mereka melepaskan Hendra di depan Freza. Hendra terduduk bersandar ke dinding. Dia masih dalam pengaruh obat bius.
"Cari handphonenya!" suruh Freza. Rupanya kepenasaran tentang kekasih Hendra, mengusik nurani Freza.
"Mati, Bos!" kata Alex. Alex mendapati handphone Hendra tidak aktif.
"Nyalakan dan buka kuncinya pakai sidik jarinya!" Sekali lagi Freza memberi perintah.
Akhirnya handphone bisa menyala dan terbuka. Freza memeriksa isinya. Terdapat foto-foto gadis di sana. Ada juga beberapa foto yang sepertinya dia kenal orangnya.
"Sepertinya aku mengenal gadis ini," gumamnya. Freza terus menggulirkan layar ponsel itu. Tiba-tiba matanya tertarik dengan tulisan Hendra di sebuah folder :
"Adakah yang terbang dengan sempurna? Ataukah dirimu sayap terpatah dengan air mata yang termenung? Ada saatnya kau bentangkan sayap-sayap dewasamu. Kau harus mulai belajar, untuk tidak menengok jejak-jejak yang menancap di dinding rindumu. Melepaskan semua atribut yang pernah kupasangkan demi susunan impianmu. Menutupi setiap celah tempat pagi menitip embun perjumpaan. Aku hanya dan mengantarkanmu pada sebuah simpul ; kegagalan bermakna hidup yang memulai. Rajut kembali sayapmu, Kamiliaku ... !"
"Halah, bucin. Oh, ternyata namanya Kamilia," gumamnya lagi. "Guyur dia!" perintah Freza.
Byur.
Seember air mengguyur Hendra yang tengah pingsan, karena pengaruh obat bius yang Andi berikan di mobil tadi. Sengaja mereka memberi Hendra obat agar Hendra tidak berontak dan menyusahkan mereka. Khawatir Hendra lolos dan tidak dapat dihadapkan kepada bos mereka.
Perlahan-lahan Hendra membuka matanya, sejenak dia terheran-heran melihat sekeliling. Namun, memorinya cepat sadar dimana kini berada. Dia mengenali kursi yang membelakanginya dan siapa sosok yang mendudukinya.
Seorang lelaki yang berdandan rapi. Lengkap dengan setelan jas hitam serta kemeja putih. Celananya selalu warna ngejreng, kadang warna pink, kadang warna kuning. Namun, biarpun selera berpakaiannya unik, dia terkenal kejam kalau sudah menyangkut penghianatan. Tidak segan anak buahnya, dia siksa sampai babak belur.
Hendra yang sudah menghianati kepercayaan bosnya sekarang seolah-olah menunggu vonis hukuman yang akan dijatuhkan terhadapnya. Hendra duduk di lantai dengan tangan terikat ke belakang. Dia hanya bisa menundukkan kepala, tak berani memandang kepada sang bos.
Kursi yang membelakangi Hendra berputar. Tampak Freza duduk bertumpang kaki, tangannya memutar-mutar pena emas. Kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Rambutnya klimis, sepatunya hitam berkilat.
"Hendra!" Suaranya yang dingin membahana.
Hendra menengadahkan kepalanya sekilas, kemudian menunduk lagi. Dia tidak berani menentang mata bosnya tersebut. Lelaki itu hanya bisa terpekur memandangi lantai yang basah.
"Mengapa kamu menghianati kepercayaan ku?!" tanya Freza keras.
Hendra tidak menjawab, kepalanya semakin tertunduk.
"Jawab, Hendra! Atau aku siksa dulu baru mau bicara?"
Hendra tetap diam seribu bahasa, tapi sesungguhnya dia tengah menyusun kalimat di benaknya, jawaban apa kira-kira yang tepat. Belum sempat dia bicara tiba-tiba terdengar suara, "Kasih pelajaran, Andi!"
Andi bergerak, dia mencengkram baju Hendra, membawanya berdiri kemudian menonjok perutnya, Hendra terhuyung dan mundur, sekali lagi Andi meninju muka Hendra. Darah merembes dari bibir Hendra yang pecah. Andi bersiap untuk pukulan berikutnya.
"Tunggu ...!" seru Alex.
Serangan Andi tertahan. Tangan Freza melambai ke arah Andi memberi isyarat.
"Katakan! Apa alasan kamu menghianatiku?" bentak Freza.
"Buka dulu ikatan tanganku," pinta Hendra..
Freza memberikan isyarat untuk membuka ikatan Hendra. Lelaki muda itu kemudian berbicara.
"Aku tidak menghianatimu, Bos," kata Hendra.
"Lalu mengapa kamu tidak hadir saat aku memanggilmu?" tanya Freza.
"Aku ingin menjajal pekerjaan lain, Bos," jawab Hendra pelan sembari menunduk.
"Pekerjaan apa?" tanya Freza.
Belum sempat Hendra menjawab, dering telepon mengganggu. Freza menatap layar ponselnya. Dia terkejut dengan nama yang tertera.
"Tumben anak badung itu nelpon, mau apa dia?" Freza menggerutu sendiri. Namun, wajahnya mendadak semringah.