Saat ini David sedang duduk didekat Fabian dan ia pun langsung bertanya tentang beberapa pertanyaan yang sedikit mengganjal di hatinya. "Pak Bian kok tumben perhatian banget sama stafnya," ucapnya.
"Maksud kamu gimana?" tanya Fabian yang langsung menatap kearah wajah David.
"Ya enggak, bukan apa-apa. Maksud saya tumben banget gitu Pak Bian perhatian banget sama Almira padahal dulu kan Pak Bian orangnya bodoamatan, apa jangan-jangan," ucapnya terpotong-potong.
"Jangan-jangan apa David?" tanya CEO tampan itu sambil mengerutkan keningnya.
"Jangan-jangan Pak Bian suka lagi sama Almira," ucapnya spontan yang langsung membuat mata Fabian langsung melotot sempurna kearahnya.
Fabian hanya terdiam dan hanya bisa melotot kearah David karena ia sendiri tidak mengetahui apa penyebab perasaannya sedikit berbeda kepada Almira. Mungkin karena Almira ada sosok yang tangguh, cerdas, pekerja keras, dan juga tentunya berpendidikan meskipun datang dan lahir dari keluarga yang pas-pasan, semua itu yang membuat seorang Fabian kagum dengan Almira.
David terus mengamati Sang Bos yang terus terdiam ketika membahas Almira, ia langsung berspekulasi jika CEO tampan itu mulai mencintai Almira. "Tuh kan Pak Bian diem aja jangan-jangan dugaan saya bener lagi kalau Pak Bian suka sama Almira," celetuk David sambil tersenyum lebar.
"Kamu apaan sih dari tadi jangan-jangan terus! Saya itu cuma kagum aja sama Almira karena dia adalah sosok yang mandiri dan cerdas, dia juga bisa membuat perusahaan ini lebih maju enggak kayak kamu yang gitu-gitu aja kalau kerja," tukas Fabian.
Senyuman lebar langsung pudar dari wajah David saat Fabian berkata seperti itu. "Enak aja Pak Bian kalau ngomong, gini-gini juga saya kalau kerja paling rajin," timpalnya.
Fabian dan David memang sudah sangat akrab, sudah seperti saudara. Entah karena mereka sudah lama kerja bersama bareng atau karena hal apa karena yang pasti mereka berdua begitu sangat akrab padahal Fabian termasuk seseorang yang sedikit tertutup dan hanya terbuka pada orang-orang tertentu saja dan David adalah salahsatunya.
Namun saat ini pikiran Fabian tiba-tiba teralihkan dengan Almira. "Kasihan juga Almira pasti dia terpukul banget akibat batalnya pernikahan dia belum lagi dia harus kehilangan ibunya, dia dan juga calon suaminya itu saya denger udah pacaran cukup lama," batin Fabian.
Fabian juga dikenal sebagai sosok yang cuek oleh beberapa orang di kantor apalagi dengan stafnya. Tapi dengan Almira berbeda, entah mengapa saat ini pikirannya hanya tertuju pada wanita itu. "Jarang ada wanita sekuat dia," batinnya lagi.
Semenjak putus dengan kekasihnya, Fabian memang tidak pernah terdengar jika dia dekat lagi dengan perempuan lain lagi padahal dia adalah seorang Pengusaha muda yang tidak hanya tampan akan tetapi kaya raya dan memiliki segalanya diusianya yang relatif muda, banyak para perempuan diluar sana yang siap untuk dijadikan seorang istri olehnya, Fabian juga sosok laki-laki yang cukup banyak penggemarnya mungkin karena pembawaannya yang cuek membuat dia terlihat cool dimata para perempuan diluar sana.
David langsung menepuk bahu Fabian ketika melihat sang bos terus melamun. "Pak Bian!"
"Ada apa sih? Berani-beraninya kamu pukul saya?" balas Fabian dengan logat dinginnya.
"Maaf enggak ada niatan mau mukul kok, saya cuma penasaran aja kenapa Pak Bian malah ngelamun terus lagi mikirin apaan sih Pak?"
"Kamu enggak perlu tahu urusan saya."
"Sensi banget sih Pak Bian sekarang kayak cewek aja," ledek David.
"Kamu lama-lama kok jadi malah bikin saya emosi?"
"M-maaf Pak Bian."
"Sudah sana kamu mending selesaikan pekerjaan kamu lagian kamu itu kalau kerja enggak pernah beres."
David langsung menepuk jidatnya karena ia baru ingat jika ada beberapa pekerjaan yang harus segera ia selesaikan sementara waktunya sudah sangat mepet. "Oh iya saya lupa kalau masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai," ucapnya.
Fabian hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat kelakuan orang yang selalu bersamanya itu, meskipun sering membuatnya kesal namun entah kenapa ia tidak bisa marah besar pada David. "Kebiasaan!" ketusnya.
Sementara itu saat ini Almira masih belum bisa masuk kantor karena jujur hatinya.masih sangat terluka atas kepergian ibu yang sangat dicintainya.
Saat ini ia hanya dapat meringkuk diatas tempat tidurnya sambil memegangi bingkai foto dirinya bersama adik dan juga ibunya. Tetesan air mata terus jatuh membasahi bingkai itu meskipun ia sudah berusaha untuk menyeka air matanya namun gagal, air mata itu terus terjatuh.
"Mah, kenapa Mama pergi secepat ini. Mira belum siap kehilangan Mama," lirihnya.
Meskipun banyak orang-orang yang menguatkan hatinya dan memberikan semangat kepada dirinya namun itu tidak membuat Almira bisa sekuat dulu lagi. Sekarang ia benar-benar rapuh seperti tidak punya semangat hidup lagi karena sumber kebahagiaannya telah pergi untuk selama-lamanya.
Ia merasa masih belum puas untuk bersama-sama dengan sang Mama. "Mira belum sempat untuk membalas semua kebaikan-kebaikan yg Mama berikan meskipun Mira tahu Mira enggak akan pernah bisa membalas semua kebaikan dan ketulusan yang Mama berikan tapi setidaknya Mira bisa membuat Mama tersenyum bahagia kalau Mama masih ada," lirihnya sambil mengelus-elus bingkai foto itu.
Hatinya terasa lebih sakit lagi ketika teringat dengan semua jasa-jasa sang mama dalam membesarkan dirinya dan juga Medina dengan seorang diri. "Mama adalah perempuan kuat dan Mama begitu hebat bahkan bisa menyekolahkan Mira dan Medina hingga kebangku perkuliahan," batinnya kagum dengan sang mama.
"Apa aku harus cari Papah setelah Mama enggak ada?"
"Tapi kemana?" lanjutnya lagi.
Saat ini Almira hidupnya terasa sangat hampa dan tidak berarti lagi. Ia yang dulunya begitu sangat ceria, sekarang menjadi sebaliknya ia lebih memilih banyak untuk diam dan menghabiskan banyak waktunya di kamar seharian sambil memeluk bingkai foto itu.
Almira juga merasa begitu sangat menyesal karena pernah membantah ucapan sang Mama yang mengatakan jika Agya bukan laki-laki yang tepat untuknya. "Jika dulu aku dengerin ucapan Mama kalau Agya bukan laki-laki yang tepat untuk aku mungkin semua ini juga enggak akan terjadi, Mama juga enggak akan pernah menanggung rasa malu karena batalnya pernikahan aku dengan Agya padahal semua undangan sudah disebarkan."
"Dia memang laki-laki yang paling jahat yang aku kenal! Aku dibesarkan tanpa seorang ayah sejak bayi dan aku kira aku akan dipertemukan dengan sosok laki-laki yang begitu tulus dalam mencintai aku tapi ternyata semua dugaan aku salah."
"Apa semua laki-laki sama jahatnya kayak mereka?" lanjutnya lagi sambil menyeka air mata yang tidak henti-hentinya keluar.
Ia memejamkan matanya lalu memijat keningnya yang terasa sangat pusing, wajahnya pucat, badannya juga terlihat sedikit lebih kurus. Almira memang begitu sangat terpuruk saat ini.
Medina yang baru saja datang dari luar karena ada urusan langsung menemui sang tante. "Tante Rita, Kak Mira gimana masih enggak mau makan?"
Rita langsung menampakkan raut wajah sedihnya. "Enggak tahu karena waktu tadi pagi Tante suruh makan, Mira malah diem dan cuma geleng-geleng kepala aja. Sekarang udah sore dan pintu kamar Almira masih nutup aja, Tante juga enggak berani masuk," ujar sang Tante yang merasa serba salah karena ia juga begitu sangat paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Almira.
Mendengar itu Medina hanya dapat mengehla nafasnya. "Ya udah kalau gitu nanti biarin Medina aja yang bujuk Kak Mira buat nyuruh dia makan," balasnya.
"Iya Medina karena kasihan Mira, kalau dia terus-menerus kayak gitu yang ada kondisi kesehatannya semakin menurun," balasnya lagi.