Sudah sepuluh menit lamanya Medina mondar-mandir didepan pintu kamar sang kakak. Gadis cantik itu mengigit kukunya sendiri. Hati dan perasaannya begitu bimbang, bagiamana nantinya. Jika ia mengetuk dan alhasil hanya dikacangi, lebih baik tidak usah. Almira juga nantinya bisa marah.
Tapi jika tidak melakukan sesuatu, ia merasa kasihan sendiri dengan Almira. Kasihan juga dengan Tante Rita karena terus mengkhawatirkan kondisinya, ia juga tidak ingin melihat Kakak perempuan satu-satunya yang ia punya terus larut dalam kesedihan mendalam seperti ini. Ya, walaupun ia sendiri tahu ini semua sangat sulit diterima namun nyatanya semuanya juga sudah terjadi.
Medina juga memikirkan bagaimana kondisi Perusahaan tempat Almira bekerja. "Sudah cukup lama Kakak juga enggak masuk kerja," batinnya.
Akhirnya setelah berpikir cukup lama. Medina berusaha untuk membuang egonya sendiri, untuk tidak gengsi dan berfikir positif tidak akan dikacangi.
Tokkk. Tokkkk
"Kak Mira ini Medina, buka pintunya dong," ucap Medina dengan suara lembut dan sabar bak seorang ibu mengetuk pintu kamar anak perempuannya yang sedang merajuk.
"Kak Mira? Kakak lagi enggak tidur kan? Tolong bukain pintu kamarnya. Jangan gini terus dong Kak."
Medina kembali mengetuk pintu kamar itu dengan sopan dan rasa takut jika ia akan gagal membujuk Kakaknya.
Merasa tidak ada respon dari dalam membuat Medina menghembuskan nafas kasar.
"Kayaknya bener deh apa yang dikatakan sama Bosnya Kak Mira kalau Kak Mira itu harus dibawa ke Psikiater karena kalau kayak gini terus juga bahaya takutnya Kak Mira ngelakuin hal-hal nekat," batinnya. Medina segera melangkah pergi. Sebelum kakinya pergi melangkah, bunyi suara pintu terdengar dibuka.
Cepat-cepat Medina menengokan pandangannya lagi. Senyumannya mengambang. Akhirnya orang yang sangat dicintainya setelah sang Mama itu keluar.
"Akhirnya Kak Mira bukain pintunya juga, ya ampun Kak Almira jangan kayak gitu lagi dong pake mengunci pintu kamar segala bikin aku panik aja."
Senyuman manis dari wajah Almira sudah mulai terlihat, kini wajahnya juga sudah sedikit lebih segar dan tidak pucat lagi, rambutnya diikat kuda dan tidak berantakan lagi. Hal itu sungguh sangat membuat hati Medina sebagai adik merasa sangat bahagia karena kondisi penampilan fisik sang kakak sudah mulai membaik.
"Kamu bawa apa sih Medi, ayo masuk," pinta Almira sambil membuka pintu kamarnya lebih lebar dan mempersilahkan adik perempuannya itu untuk masuk.
Medina memang membawakan makanan cepat saji kesukaan Almira.
"Ini aku tadi waktu pulang dari kampus mampir dulu buat beli ini," kata Medina sambil menyimpan makanan itu diatas meja kecil dekat tempat tidur Almira.
"Kamu itu tahu aja kalau Kakak lagi lapar, oh iya Kakak juga udah lama enggak makan itu dan Kakak udah kangen banget," jawab Almira yang langsung membuat Medina membulatkan matanya dengan sempurna. Ia merasa percaya dan tidak percaya mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Almira.
"Hah seriusan Kak? Yaudah ini Kakak makan," balas Medina sambil menyodorkan makanan itu dihadapan Almira.
Almira langsung tersenyum lebar lalu ia mengambil makanan itu dari tangan Medina lalu ia segera menyantapnya. Dulu, ia dan Medina sering membeli makanan cepat saji meskipun sudah dilarang oleh sang Mama berkali-kali namun adik-kakak itu nampaknya tidak menghiraukan ucapan sang Mama karena kelezatan yang tersirat dalam makanan itu.
"Ini Kak Almira kan?" batin Medina sambil menatap wajah sang kakak yang sedang memakan makanan yang dibelinya dengan sangat lahap.
"Aku bahagia banget," batinnya lagi.
Almira terus menyantap makanan yang dibawakan oleh adik kesayangannya itu dengan lahap. Sesekali ia memerhatikan wajah dan sorot mata Medina yang sejak tadi terus melihatnya dengan tatapan yang berbeda tidak seperti biasanya. Almira sendiri memaklumi hal itu karena minggu-minggu kemarin ia begitu sangat hancur dan terpuruk, jangankan untuk mempedulikan penampilan fisiknya, perutnya saja tidak ia pedulikan karena saat ia makan pasti yang ia rasakan hanya rasa pahit dan akan timbul mual.
Namun akhirnya, Almira sendiri sadar jika ia tidak boleh terus-menerus terpuruk dan jatuh, ia harus bangkit, ia tidak mau kalah dengan Medina yang terus bersemangat menjalani kehidupan. Ya meskipun rasa sakit hati itu masih membekas hingga sekarang namun ia berusaha tetap tegar dan melupakannya. Ia juga sadar jika dengan air mata yang ia keluarkan setiap harinya itu tidak akan pernah membuat wanita yang sangat dicintainya yakni Mama Alda akan kembali lagi ditengah-tengah kehidupannya.
Setelah selesai makan, Almira menatap wajah adiknya dengan penuh ketulusan. "Medi, makasih banyak ya."
Medina langsung mengangguk. "Iya sama-sama Kak. Aku senang dan bahagia banget liat Kak Mira sekarang," ucap sang adik.
"Tapi, Kak. Aku kaget loh, aku ngerasa enggak percaya aja akhirnya Kakak bisa kuat lagi," lanjutnya.
"Kaget kenapa sih? Kakak itu jadi ngerasa serba salah tahu kalau kaya gitu."
"Eh, bukan gitu maksud aku, Kak." Medina buru-buru menyanggah ucapan Kakaknya karena ia takut apa yang diucapkannya tidak sengaja menyinggung hati dan perasaan Almira.
Almira langsung tertawa melihat kepanikan yang terlukis di wajah adiknya. "Kamu enggak usah panik gitu Medi, justru Kakak mau ngucapin makasih banyak sama kamu karena kamu yang udah bikin Kakak kuat, kamu yang udah bikin Kakak bangkit lagi kayak gini, kamu yang selalu ada untuk Kakak disaat-saat Kakak terpuruk dan ngerasa hancur banget," jelas Almira.
Medina langsung bangun dari duduknya dan langsung menghampiri sang Kakak lalu memeluknya dengan erat. "Makasih banyak ya Kak, Kakak udah kuat dan mau bangkit lagi. Medina harap kejadian yang kemarin-kemarin bisa secepatnya lupa dari pikiran Kakak. Aku enggak mau lihat Kak Mira sedih, aku enggak mau lihat Kak Mira terpuruk lagi. Aku mau lihat Kak Mira yang ceria kayak dulu lagi," balas Medina sambil berkaca-kaca.
Almira yang terharu dengan ucapan Medina langsung menitikkan air mata bahagianya, ia begitu bersyukur memiliki adik perempuan yang begitu pengertian serta sangat mencintainya. Meskipun mereka berdua sejak kecil sering ribut karena hal-hal sepele namun nyatanya saat sudah besar mereka tumbuh menjadi pribadi yang saling mencintai dan bisa menghargai satu sama lainnya.
"Alasan Kakak kuat dan bangkit lagi adalah Kamu, Medi. Kakak enggak mau lihat kamu sedih karena lihat Kakak sedih apalagi sampai kegiatan perkuliahan kamu terganggu hanya karena kamu mikirin kondisi Kakak. Kamu harus jadi orang sukses supaya Mama disana bangga," batin Almira.
"Mah, Mama apa kabar sekarang? Lihat kita Mah. Kita anak-anak Mama sekarang udah mulai bisa bangkit lagi setelah Mama pergi untuk selama-lamanya. Semoga Mama bahagia ya lihat kita berdua disini. Almira dan juga Medina akan selalu mendoakan Mama supaya Mama bahagia disana," lirih Almira dalam hatinya sambil memeluk adiknya semakin erat.
Setelah merasa tenang dan luas berpelukan dengan sang adik, Almira segera melepaskan pelukan itu lalu ia menggenggam lembut tangan kanan Medina. "Kamu semangat ya kuliahnya," ucapnya sambil tersenyum.
"Iya pasti Kak, makasih juga ya karena selama ini Kakak udah bantu agar aku bisa lanjut kuliah," kata Medina. Meskipun ia berkuliah menggunakan beasiswa namun tidak dapat dipungkiri jika Almira juga memiliki jasa yang cukup besar untuk pendidikannya. Rasa syukur tidak henti-hentinya ia panjatkan karena memiliki seorang Kakak perempuan seperti Almira.
"Sejak dulu aku tahu kalau Kakak adalah perempuan hebat dan kuat," batin Medina dengan decak kagum.