Randy berjalan mengikuti para kerumunan murid laki-laki yang berlari ke arah ruang guru.
Mereka bergerumbul ke sana bukan untuk melihat para guru. Melainkan untuk melihat sebuah bunga baru di sekolah itu.
Randy mencoba maju ke depan melewati sela-sela siswa yang bergerombol.
"Permisi...! Awas...! Hati-hati...!" Ucap Randy sambil menerobos mereka.
Saat sudah sampai depan, terlihat sebuah gadis dengan dada besar, rambutnya terlihat awut-awutan, matanya kayak mengantuk, senyum ayemnya saat menatap guru yang mendatanya terlihat seperti sumber kehidupan yang menyinari para pria.
Para murid-murid yang bergerumbul di sana terlihat senang dan tersipu oleh murid itu.
Begitu juga Ilham yang ternyata sudah ada di samping anak itu sejak tadi.
"Bagaimana, Dy? Dia akan jadi milikku... Dan nanti aku juga bisa memamerkannya bersama pacarmu!" Ucap Ilham sambil memghayal.
"Eh iya...?" Wajah Randy yang gugup sampai mandi keringat menatap Ilham dengan memelas. "Semoga berhasil...!" Perlahan Randy mundur dari barisan paling depan di gerumbulan itu menuju ke belakang.
Keringat dinginnya tidak bisa berhenti mengucur, tidak salah lagi.
'Itu dia, anjirrr!' Randy memegangi keningnya dengan mata lebar tak percaya.
"Pura-pura mundur, ahh...!" Randy mencoba menjauh dari gerumbulan itu.
'Makan gratis!' Tiba-tiba kalimat itu terbesit dalam pikirannya.
Dia ingat kalau dia akan ditraktir makan, dan bila dia pergi sekarang. Maka harapannya akan hilang.
Antara makan gratis atau harga diri?
Pilihan akan diberikan pada anak itu.
'Jawabannya sudah jelas...!'
'Aku akan pilih...'
'Tentu saja makanan!'
Randy terlihat bangga dengan pilihan jawabannya.
Dia melupakan kalau siswi baru itu bisa saja menghancurkan hubungannya dengan Ira atau para OSIS yang sudah dia buat merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya.
Randy berdiri senden di tembok jauh dari gerumbulan siswa itu sembari menunggu temannya.
Butuh sekitar, 15 menit buat gerumbulan itu bubar.
"Sebenarnya apa yang mereka lihat sih?" Ucap Randy dengan ketus.
Ilham terlihat keluar dari para gerumbulan itu dan berjalan menuju Randy yang menunggunya.
"Hoy kenapa kau sudah pergi? Padahal tadi ada bagian bagusnya lo!" Ilham menatap dengan sombong temannya.
Dia merasa temannya sudah melewati sesuatu yang bagus.
Dia tidak tahu kalau temannya sudah melihat lebih dari itu.
"Ah, aku hanya tidak mau terlalu tergoda..." Randy menepis pertanyaan Ilham.
"Jangan bilang kau takut pada Ira?!" (Ilham)
Randy mendekatkan mulutnya ke kuping temannya. "Mau bagaimana lagi? Dia kalau tahu aku tergoda oleh cewek lain... Maka aku akan tamat...!" Bisik Randy pada kawannya.
Ilham yang mengerti situasi Randy hanya mengangguk pelan. Dia tidak ingin sahabatnya mati konyol.
"Pasti sulit punya pacar seperti itu" Ilham memegangi dagunya dengan mata yang tertutup.
"Itu sudah nasib..." (Randy)
"Kenapa kau tidak memutusnya?" (Ilham)
"Itu bila aku bisa pulang dengan selamat..." (Randy)
"Rip!" (Ilham)
"Hah...(menghela nafas)." (Randy)
"Yah tenanglah, Dy...! Selagi kau memberinya cinta, kau akan selamat sampai akhir!" (Ilham)
"Kau mengatakan seakan itu mudah!" (Randy)
"Tentu saja! Kecantikan Ira pasti tidak akan membuatmu bosan!" (Ilham)
"Baiklah, akan kucoba..." (Randy)
"Berjuanglah!" (Ilham)
Mereka mengakhiri pembicaraan itu dengan Ilham yang terlihat cerah sedangkan Randy terlihat gelap.
"Oh, iya!" Ilham mengingat sesuatu. "Hari ini, aku akan mentraktirmu makan!" Ilham tersenyum lebar ke arah Randy.
Namun tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh kedua bahunya secara perlahan.
"Ilham... Apakah aku boleh kau traktir juga?" Farida membisiki Ilham dengan nada pelan dan dingin.
"Fa-Farida? Bu-bukannya kau kemarin bilang tidak?" Ilham merinding karena Farida.
"Kemarin kan karena aku kelelahan, dan sekarang tidak... Kenapa kau tidak mengajakku...?" Farida masih menggunakan logat layaknya hantu-hantu di film horor.
"Oh lelah toh," Tangan Ilham menggaruk-garuk rambutnya sambil bergetar. "Kenapa tidak bilang-bilang, kupikir kau menolaknya!"
Farida menekan pipi Ilham dengan telunjuknya. "Perasaan wajahku kemarin sudah menjadi jawabannya... Kenapa kau tidak peka?" Mata melotot Farida adalah hal yang tidak ingin dilihat dua sahabat itu.
"Itulah kenapa kau sulit dapat pacar! Peka pada sahabatmu saja sulit?" Farida menguatkan tusukan pada pipinya Ilham.
"I-iya iya aku paham... aku paham...!" Ilham terlihat menyerah dengan desakan Farida.
Akhirnya pipinya yang ditekan oleh Farida kini telah dilepaskan.
Farida berjalan ke depan, wajahnya yang seram bagaikan mak lampir tiba-tiba hilang dan berubah bagaikan putri polos dari kerajaan.
"Kalo begitu, mohon bayar, ya?" Dia tersenyum ke arah Ilham yang terlihat menderita.
"Iyaa..." Wajahnya tersenyum tapi juga terlihat sangat tertekan.
Ilham memeriksa isi dompetnya, dia berharap uangnya bukan hanya cukup untuk mentraktir mereka berdua. Namun juga untuk kehidupannya sehari-hari.
Maklum, dia adalah anak yang hidup nge-kos dan harus pintar-pintar mengatur keuangannya.
Sebuah restoran cepat saji mereka datangi.
Mungkin karena uang yang pas-pas an, jadi Ilham hanya bisa membawa mereka ke sini.
"Makanan sampah, ya?" Farida menatap area restoran dengan ekspetasi rendah. "Tapi biarlah, selagi enak aku tidak peduli!"
"Hoy, kata-katamu tidak seharusnya kau ucapkan!" Ilham menegur gadis itu.
"Jangan asalkan enak, makanan ini bisa buat kau cepat gendut!" Randy menyambung kalimat Ilham dan membuat Farida terkena double hit.
"Ge-gendut?!" Matanya melebar karena tak percaya.
Matanya ia alihkan ke arah berlawanan dari mereka. "La-lagipula aku jarang makan-makanan seperti ini, jadi sekali-kali tidak apa, kan?!" Farida dengan cepat ngeles.
"Yah kalau jarang-jarang tidak apa, tapi kalau kau keterusan karena ini... Sebaiknya siap-siap kau-(BOK!)" Randy yang mencoba mengingatkan Farida malah ditahan oleh gadis itu.
Mulut pemuda itu ditutup dengan tangan kanan gadis itu.
Harum wangi seorang gadis terasa dalam hidungnya. 'Sial, aku merasa biasa!' Tapi karena sudah terlalu sering bersama para gadis, Randy tidak merasakan sesuatu yang spesial dari harum itu.
"Se-sebaiknya kau tidak perlua mengatakan lebih jauh, Dy!" Farida tersenyum dengan wajah yang berkeringat gugup.
"Bwaa...!" Randy melepas mulutnya dari tangan Farida.
Dia merasa tidak enak oleh suasana ini. Perasaannya seperti tersayat sesuatu. 'Mungkinkah dia ada di sini? Tapi itu tidak mungkin, lagipula Farida itu hanyalah sahabatku!'
Randy merasakan kehadiran pacarnya, namun itu tidak mungkin, kan....
"Wah, Dy! Kau terlihat biasa sekali saat Farida menutup mulutmu?" Ilham curiga dengan Randy.
"Aku sudah terbiasa dengan bau harum ini." Randy mengelak.
"Terbiasa?" Ilham bertanya.
Namun kini Farida yang menjawab kebingungan orang kekar itu.
"Ahh...! Harum... harum... Jangan-jangan? Kau melakukannya?!" Tanya Farida dengan tatapan serius.
"Ti-tidak, maksudku saat berdekatan dengannya, aku terbiasa mencium bau ini!" Randy mencoba memperbaiki kesalah pahaman yang dia buat.
"Oh..."
Mereka berdua kompak mengatakannya.
"Ke-kenapa kita tidak segera memilih menunya saja dan pesan ke kasir itu?" Randy mencoba berganti topik.
"Benar juga, kita duduk di sini dan belum memesan apa-apa!" Farida mulai menatap menu yang ada di atas kasir.
"Pilihlah! Tapi ingat, satu jenis saja!" Ilham mengingatkan kami.
Randy juga akan merasa tidak enak bila dia memberatkan temannya. Dia akan memilih yang paling murah saja, tapi yang dia maksud adalah makanannya.
"Biar aku saja yang ke kasir, Ham!" Randy mengajukan diri untuk ke kasir.
"Ya, ini uangnya... Aku harap kau tidak lupa!" Ilham menatap tajam temannya sendiri.
Masalah uang memamglah sebuah hal berbeda di dunia ini.
"Tenang saja, ingatanku kuat!" Randy menunjukkan dirinya dengan jempol sambil memasang wajah bangga.
Randy berjalan ke kasir, namun dia melihat sesuatu yang tak terduga.
"I-ira?"
Dia hanya tersenyum kaku.