Zahra memegang dadanya, jantungnya berdegup sangat kencang beberapa saat yang lalu. Kini dia bisa merasa sedikit lega.
"Dengar, kita mungkin sudah menikah. Tetapi kamu tidak memiliki hak sedikitpun untuk mengatur hidupku. Aku juga tidak akan mengatur hidupmu. Meski kita hidup sebagai pasangan suami istri tetapi kita akan menjalani hidup masing-masing." Arya berkata kepada istrinya. Zahra hanya diam mendengarkan kata-kata pria itu. Dia baru menyadari bahwa pernikahan ini juga tidak diinginkan nya.
"Jangan pernah mengurusi hidupku, jangan pernah menyentuh barang-barang ku, jangan pernah bertanya apa pun kepadaku," lanjut pemuda tampan itu.
Dalam rasa bingung wanita itu hanya bisa mengangguk kan kepala. Jika hidup harus masing-masing lalu mengapa mereka harus menikah. Kenapa mereka memaksa Zahra untuk menjadi istri dari pria kejam seperti suaminya. Semua keadaan ini benar-benar menyakitkan.
***
Semua orang berkumpul di meja makan, begitu juga dengan Zahra dan suaminya. Meja makan ini terlihat ramai. Zahra memperhatikan sekitarnya. Seorang pria paruh baya duduk di bangku utama, wanita tersebut mengenali pria paruh baya itu. Dia pernah menghampiri dirinya di dalam kamar untuk memberitahu tentang pernikahan mereka. Di sebelahnya duduk seorang wanita paruh baya. Meski sudah berusia tetapi wanita itu terlihat sangat cantik. Dia adalah ibu dari Arya. Di sebelah wanita itu duduk seorang gadis cantik yang masih belia. Di adalah Finta Ibra Pratama. Satu-satunya adik yang dimiliki oleh Arya.
Sementara Zahra dan juga suaminya duduk berhadap-hadapan dengan wanita paruh baya dan gadis belia itu.
"Zahra, mulai hari ini rumah ini akan menjadi rumahmu. Kamu harus bisa menyesuaikan diri. Sekarang kamu adalah menantu dari keluarga Pratama. Ini adalah ibu mertua mu. Papa harap kamu bisa menghormati nya. Dan yang duduk di depanmu adalah adik ipar mu. Kalian harus akur!" pria paruh baya itu memperkenalkan seluruh keluarganya kepada Zahra yang menjadi menantu ke rumah besar tersebut. Zahra merasa di keluarga itu hanya sang ayah mertua yang ramah dan baik hati. Berbeda dengan keluarga lainnya.
"Om, bolehkah aku bertanya?" dengan mengumpulkan keberanian yang ada wanita itu mencoba bertanya kepada sang ayah mertua. Pria itu terdiam sesaat namun kemudian dia menunjukkan senyuman.
"Pertama, kamu tidak boleh memanggil saya dengan sebutan 'Om'. Kamu harus memanggil dengan sebutan 'Papa'. Tentu saja! Apa yang ingin kamu tanyakan, nak?" tanya pria itu.
"Apakah kedua orang tua saya baik-baik saja? Jika mereka sudah meninggal, bolehkah aku pergi melihat kuburannya?" Zahra sangat gugup saat bertanya semua itu kepada pemilik rumah besar tersebut. Pria paruh baya itu tersenyum menatap Zahra.
"Maafkan Papa. Kedua orang tuamu tidak selamat. Mereka sudah meninggal di tempat kejadian. Tetapi kami telah menguburkannya dengan baik. Kapanpun kamu ingin, kami akan mengantarkan kamu ke sana!" jawab pria paruh baya itu. Setelah menyewa pertanyaan dari Zahra, pria itu segera menghentikan sarapannya. Dia meletakkan sendok dengan suara yang sedikit keras. Membuat Zahra menjadi ketakutan. Tadinya dia ingin memberikan pertanyaan lain kepada pria tersebut. Namun melihat situasi dia mengurungkan niatnya.
"Papa pergi dulu ya Ma!" pamit pria paruh baya itu kepada istrinya.
Pria paruh baya itu berjalan berdampingan dengan Arya. Zahra ingin menyelami suaminya tetapi dia mengurungkan niat karena takut hal itu akan membuat pria tersebut menjadi marah. Dia pun hanya mengikuti langkah sang ibu mertua mengantarkan Arya dan juga ayahnya sampai ke teras rumah.
Mobil mewah itu melaju meninggalkan kediaman yang besar dan juga megah. Meninggalkan seorang istri yang tak mengerti apa yang terjadi di dalam kehidupannya. Zahra tidak tahu kejadian apalagi yang akan diterima.
Wanita paruh baya yang merupakan ibu mertua dari Zahra berbalik menatap menantunya. Tatapan itu sangat tajam. Lebih tajam dari tatapan yang semula ditunjukkan oleh wanita paruh baya itu saat mereka sedang ada di atas meja makan. Zahra menjadi salah tingkah di hadapan wanita paruh baya tersebut. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya agar membuat ibu mertuanya merasa senang. Namun tiba-tiba ketika dia sedang berusaha berfikir sebuah tangan menyentuh kepala Zahra.
"Aduh, sakit!" teriak Zahra. Dia merasakan sakit di kepalanya. Sang ibu mertua menarik jilbab bersama dengan rambutnya. Zahra mencoba memegang kepalanya yang terasa sakit. Wanita paruh baya itu menarik tubuh Zahra dan membawanya ke dalam rumah. Lalu mang hempaskan tubuh itu ke lantai begitu saja.
Zahra tersungkur, dia masih memegang kepalanya karena rasa sakit akibat ulah sang ibu mertua belum menghilang. Hatinya bertanya-tanya, ada apakah sebenarnya. Mengapa perlakuan wanita itu begitu kejam kepada dirinya. Sementara Sinta hanya duduk sambil melihat kaki menyaksikan kejadian di hadapannya.
"Dasar wanita pembawa sial. Dasar wanita tidak tahu diri. Dasar wanita tidak berguna." kata-kata itu tumpah di atas tubuh Zahra yang masih berada di lantai yang dingin. Apa kesalahan Zahra? Jika pernikahan? Dia juga tidak menginginkannya. Jika memang hanya untuk disiksa, bukankah seharusnya mereka membiarkan Zahra sendirian di luar sana. Tetapi kenapa mereka justru membawanya masuk ke dalam rumah itu.
Wanita paruh baya itu menarik hijab Zahra dengan sangat kasar. Perlakuan itu membuat Zahra kembali merasakan sakit.
"Kamu adalah malapetaka yang hadir di rumah ini. Kamu adalah musibah yang datang ke rumah ini. Jangan kamu menganggap bahwa kamu akan menjadi menantu kesayangan. Kamu akan menjadi pelayan yang siap melakukan semuanya di rumah ini. Apakah kamu mengerti!" wanita itu kembali mendorong tubuh Zahra. Tubuh yang lemah itu kembali jatuh ke lantai. Zahra tersungkur enggak membuat lutut nya berdarah.
"Apakah kamu pikir semua makanan yang kamu nikmati tadi itu gratis. Kamu harus membayar semuanya. Kamu tidak bisa hidup gratis di rumah ini. Apakah kamu mengerti!" lanjut wanita itu. Zahra masih terdiam. Bening mulai menetes membasahi wajahnya. Wajah itu basah dengan air mata. Zahra sudah tidak mampu menahan air mata yang terus berdesakan ingin keluar. Pertahanan nya pun akhirnya pecah.
Namun air mata itu kembali mendorong amarah nyonya Devi. Dia menyentuh dagu wanita tersebut dan mengangkatnya. Melihat air mata yang berada di sana membuat dirinya mengangkat tangan dan sebuah tamparan mendarat di wajah kecil Zahra. Darah segar mengucur keluar dari sudut bibirnya. Wanita itu kembali terjatuh dalam keadaan yang lebih parah daripada sebelumnya.
"Sudah, Ma! Ini masih hari pertama. Mama tidak boleh membuatnya mati!" Sinta mendekati ibunya dan meraih tangan wanita paruh baya itu mencoba mencegah wanita itu kembali menyiksa Zahra.
"Bi, bi Siti! Lanjutkan tugasmu!" selanjutnya Sinta memanggil pelayan rumah itu. Tergopoh-gopoh Siti menghampiri Zahra.