Wanita itu mengumpulkan kekuatannya. Mencoba bangun dan berdiri menerima bantuan dari pelayan rumah tersebut. Siti membantu Zahra untuk bangun dan membawanya ke dalam sebuah kamar. Zahra berjalan perlahan mengikuti gerakan wanita paruh baya itu. Tetapi Zahra merasa heran, karena pelayan tersebut tidak membawanya ke dalam kamarnya. Melainkan sebuah kamar yang ada di lantai bawah. Zahra berbaring di sebuah ranjang biasa. Sangat berbeda dengan ranjang yang ada di dalam kamarnya yang mewah dan juga besar.
"Bi, apa sebenarnya yang terjadi?" wanita itu mencoba bertanya kepada wanita paruh baya yang telah membantu dirinya.
"Bukan apa-apa. Sekarang istirahatlah! Karena nanti kamu pasti akan mendapatkan banyak tugas dan pekerjaan," jawab wanita paruh baya itu mengalahkan pembicaraan.
"Bi, tolong jawab pertanyaanku? Kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa mertua justru menyiksaku. Apa kesalahanku Bi?" dia kembali bertanya. Dia sudah tidak bisa mengikuti semua yang diperintahkan kepada dirinya tanpa tahu alasannya. Tetapi wanita paruh baya itu enggan untuk menjawab pertanyaan Zahra. Dia meletakkan obat-obatan di atas meja kemudian pergi begitu saja.
Zahra hanya bisa menangis sendirian. Betapa menyedihkan nya nasib yang lihat terima. Disaat dia sedang bersedih karena kehilangan rumah yang telah memberikan banyak kenangan kepada dirinya. Wanita itu juga kehilangan kedua orang tuanya dalam sekaligus. Semua kesedihan itu belum bisa menghilang dari pikirannya tetapi hari ini dia sudah mendapatkan kesedihan lainnya. Wanita itu mencoba duduk di atas ranjang. Air mata terus menetes membasahi wajahnya. Rasa sakit yang ada di tumbuhnya semakin terasa menyiksa. Dia menyeka air mata. Kemudian mencoba meraih obat yang ada di atas meja untuk mengobati luka nya sendiri.
Kehidupannya sudah berubah 380 derajat. Beberapa hari yang lalu dia masih menikmati kebahagiaan hidup bersama dengan keluarganya. Hidup bersama dengan ayah dan ibunya. Menikmati hari hari yang selalu mereka habiskan bersama. Zahra adalah seorang anak yang tumbuh dengan penuh kasih sayang. Tidak pernah sekalipun orang tuanya berkata kasar kepada dirinya apalagi melukai tubuhnya. Tetapi kehidupannya sekarang telah berubah seiring dengan kepergian kedua orang tuanya. Kehidupan yang menjadi penuh dengan penderitaan dan penuh dengan luka.
"Ibu, kenapa ibu meninggalkan aku. Kenapa ibu membiarkan aku hidup sendirian dalam penderitaan seperti ini. Seharusnya ibu membiarkan aku ikut bersamamu. Aku tidak ingin hidup sendirian di sini bu. Tolong jemput aku bu. Aku tidak bisa hidup di tengah orang-orang yang selalu menyiksaku seperti ini. Apa yang harus aku lakukan?" tangis wanita itu kembali pecah. Tubuhnya ber guncang karena menahan ishak. Dia membiarkan air matanya tumpah. Dia sudah tak mampu lagi menahan air mata yang selama ini terus memenuhi kedua matanya.
Lebih dari satu jam lamanya wanita itu menangis. Tangisannya mulai mereda tetapi rasa sakit yang ada di dalam hatinya tak berkurang. Kesedihan wanita itu semakin bertambah besar saat menyadari semua yang ada di hadapannya.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, seorang wanita paruh baya berjalan masuk ke dalam kamar tersebut. Wanita itu mendekati Zahra.
"Apakah kamu pikir kamu adalah nyonya besar? Berani sekali kamu beristirahat di waktu seperti ini?" ucap wanita paruh baya itu. Zahra mencoba bangkit dari tidurnya. Lutut nya masih terasa sakit tetapi dia tidak bisa membuat ibu mertuanya semakin marah.
"Maafkan saya, Bu!" ucapnya.
"Ibu? Sejak kapan aku menjadi ibumu?" wanita itu justru marah.
"Eh, maaf. Mama!" lanjut Zahra memperbaiki panggilannya.
"Mama? Siapa yang sudah memberi kamu hak untuk memanggil aku dengan sebutan "Mama"?"
Zahra merasa bingung, semua yang dilakukannya salah, semua yang dikatakannya salah. Apa yang harus dia lakukan agar wanita itu merasa senang.
"Nyonya? Kamu harus memanggilku dengan sebutan nyonya. Tetapi ingat, nama itu hanya berlaku di belakang suami dan juga putraku. Apakah kamu mengerti?" ucap wanita tersebut. Zahra mengangguk. Meski dia tak mengerti tapi dia tetap mengangguk kan kepalanya.
"Ikuti aku! Kamu harus segera bekerja!" wanita itu berlalu, diikuti oleh langkah Zahra yang berjalan di belakang wanita paruh baya tersebut. Mereka pergi menuju ruangan laundry. Di sana terdapat beberapa mesin cuci. Ruangan itu juga sangat luas jika dibandingkan dengan rumahnya yang sudah terbakar.
"Tugas pertamamu! Cuci semua pakaian yang ada di sini!" perintah Devi.
Zahra hanya bisa terperangah melihat semua kejadian di hadapannya. Cucian menumpuk hingga ber gunung-gunung banyaknya. Bagaimana mungkin dia bisa mencuci semua pakaian itu sendirian. Sementara sejak gadis dia tak pernah bekerja keras. Dia menatap wajah ibu mertuanya. Tetapi tatapan itu justru membuat wanita paruh baya itu menjadi marah.
"Apa yang kamu lihat? Apakah kamu ingin membantah? Apakah kamu tidak bersedia melakukan pekerjaan ini?" tanyanya. Namun Zahra hanya diam tak menjawab kata-kata ibu mertuanya. Dia ingin mengatakan bahwa dia tak bisa melakukan semua itu tetapi dirinya tak memiliki cukup keberanian untuk bersuara.
"Kerjakan sekarang! Kamu tidak boleh makan sebelum mengerjakan semuanya," perintah wanita paruh baya itu.
Mau tidak mau Zahra harus mengikuti perintahnya. Dia segera melakukan tugas dan pekerjaannya untuk mencuci semua pakaian yang ada di sana. Itu adalah ruangan laundry bagi para pelayan yang ada di rumah besar tersebut. Yang dicuci oleh Zahra adalah pakaian para pelayan. Sementara pakaian majikan berada di tempat yang berbeda. Keluarga pratama tidak menggabungkan keduanya.
Zahra terus bekerja hingga suara adzan menghentikan gerakannya. Dia harus menunaikan salat dzuhur terlebih dahulu. Dia meninggalkan tempat tersebut, berjalan menuju kamar di mana dia pernah dirawat sebelumnya. Lebih baik salat di sana agar gerakannya tidak diketahui oleh sang ibu mertua. Karena berjalan masuk ke dalam kamarnya yang ada di lantai dua akan menimbulkan kecurigaan mereka. Zahra tidak ingin kembali memancing amarah wanita paruh baya itu karena dia juga sudah tak mampu mendapat siksaan kembali.
"Apakah kamu sudah memeriksa nya dengan baik? Bagaimana mungkin kamu tidak bisa menemukan mayatnya? Bukankah kamu yang sudah membakar sebuah itu?" sebuah suara menghentikan langkah kaki Zahra. Suara itu adalah suara ibu mertuanya. Tetapi bukan pemilik suara yang menjadi masalah, namun apa yang mereka bicarakan. Siapakah yang telah membakar apa? Semua itu menjadi pertanyaan besar di dalam hati Zahra. Wanita itu mencoba mempertajam indra pendengarannya.
"Ya, Nyonya. Saya sudah mencarinya. Tetapi saya tidak bisa menemukan jasadnya. Apakah mungkin pak Abraham masih hidup?" jantung Zahra berdegup sangat kencang ketika mendengar nama ayahnya disebutkan. Hatinya bertanya-tanya maksud dari semua ini. Dia tak tahu apa yang disembunyikan oleh keluarga itu. Ada rahasia besar yang tersimpan di balik pernikahannya. Ada rahasia yang tersembunyi di sana.