Pak Abi sesekali menatap Ello dengan tatapan tajam sambil memperhatikan lagi surat di tangannya. Lalu ia berdeham sekali dan menaruh surat itu di meja. Ia membuka kacamatanya.
"Jadi, tentang kejadian yang kemarin," ucap Pak Abi memulai. "Saya minta maaf karena saya langsung memecat kamu. Jika dilihat dari kejadiannya, kamu memang telah memukul Pak Justin. Pria itu adalah calon suaminya bos kita. Tidak seharusnya kita masuk ke dalam kamar beliau dan mengganggu mereka."
"Si Justin itu kan memang mau melakukan hal tidak sopan pada Ibu Cielo," tukas Ello cepat.
"Ya, ya. Meski begitu, tetap saja kamu tidak sopan."
Ello memutar bola matanya. Meski ia sudah mendapatkan surat sakti, tetap saja pria itu tidak mengindahkannya. Baginya, memukul calon suami sang bos yang hendak memperkosa itu adalah tindakan yang salah.
"Kita hanyalah karyawan di tempat ini. Tidak seharusnya kita ikut campur. Hal itu malah menimbulkan hal yang tidak enak. Akhirnya, semua orang pun akan salah paham padamu, Ello. Kamu tidak perlu melawanku, oke? Intinya sekarang kamu sudah kembali lagi bekerja di tempat ini. Kamu bisa melanjutkan tugas-tugasmu seperti biasa."
Ello mengangkat alisnya sambil mengangguk dengan terpaksa. "Baik, Pak. Oh ya, apa Ibu Cielo mengatakan sesuatu tentang kenaikan gaji?"
Pak Abi menyipitkan matanya seolah tidak suka dengan pertanyaan Ello barusan.
"Untuk hal itu, aku tidak tahu. Kamu mungkin bisa menanyakannya langsung pada beliau. Kalau kamu berani," imbuh Pak Abi.
Ello menyeringai. "Oke, oke. Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Terima kasih."
Dengan cepat, ia keluar dari ruangan itu. Lama kelamaan, Ello jadi tidak menyukai Pak Abi. Pria itu tampak seperti yang tidak terima jika Ello diterima lagi bekerja di sana. Tentu saja, pria itu tidak akan terima karena kemarin itu Pak Abi sendiri yang telah memecatnya.
Menolong bos yang nyaris diperkosa itu salah. Seharusnya Ello tidak perlu peduli dan bersikap terlalu baik hingga repot-repot menjadi seorang pahlawan.
"Ah, sudahlah. Masa bodoh. Yang penting aku sudah berbuat yang benar dan itu adalah terakhir kalinya. Hmmm, dasar bos yang aneh," gerutu Ello sambil memberengut.
Lalu Ello pun ikut berkumpul untuk briefing pagi bersama karyawan lainnya. Ia sudah telat karena briefing-nya sudah dimulai sejak tadi. Sang kepala, Mas Arya memberi tanda pada Ello untuk maju ke depan.
Ello langsung deg-degan dan terpaksa maju ke depan sambil merapikan kemejanya. Ia berdeham-deham sedikit. "Ya, Mas?"
"Semuanya, mulai hari ini Ello kembali bekerja lagi di tempat ini. Kemarin itu ada sedikit kesalahpahaman, tapi semua itu sudah dibereskan. Jadi, Ello bisa kembali bergabung bersama kita di sini. Baiklah, saya harap semuanya bisa bekerja sama dengan baik. Kita semua adalah tim yang hebat. Tetap semangat!"
Mas Arya mengangkat tangannya yang terkepal ke udara.
"Semangat!" seru semuanya.
Ello pun ikut mengangkat tangannya meski ia tidak bersemangat sekalipun. Farkan tersenyum padanya dan kemudian, mereka pun segera mulai bekerja.
Ello dan Farkan sudah biasa bersama. Mereka selalu menjadi satu tim. Ello pun senang berpasangan dengan Farkan karena pria itu benar-benar bisa diajak kerja sama. Dan lagi, Farkan selalu bekerja dengan cepat dan terampil.
Ello banyak belajar dari temannya itu. Selama ini, Ello tidak pernah kuliah perhotelan. Jadi, kalau kini ia ditempatkan di sini pun tidak masalah.
Pagi itu, Ello dan Farkan sedang membersihkan kamar di lantai enam yang baru saja check out. Kamar itu agak bau rokok karena memang ini adalah kamar untuk merokok. Ello benci sekali bau rokok.
Ia menyemprot sana sini supaya bau tembakau itu hilang. Lalu ia menemukan sebuah kondom bekas di lantai.
"Iuh! Jorok sekali," keluh Ello.
Ia pun segera mengambil sarung tangan dan mencomot benda menjijikan itu. Kondom itu becek dan terdapat cairan kental putih di dalamnya. Ello menahan diri untuk tidak muntah.
Sementara itu Farkan segera menyerahkan keresek sampah padanya. "Masukkan sini!"
Ello memasukkannya ke dalam sana sambil mengernyit. Lalu ia membereskan seprai dan melihat ada noda becek lainnya di sana.
"Ah, sudahlah. Jangan dibayangkan," ujar Farkan sambil bergidik.
"Lain kali, kita harus memakai masker dan sarung tangan!" seru Ello yang kemudian membuka jendela untuk mendapatkan udara segar. "Aku benci sekali bau rokok."
"Memangnya kamu tidak merokok, Lo?"
"Tidak! Tentu saja, tidak. Selama di rumah nenekku atau di rumah pamanku, tidak ada yang merokok."
"Wah hebat. Aku juga ingin berhenti merokok, tapi susah," aku Farkan sambil terkekeh.
Ello menatap kamar yang amburadul itu dengan hati miris. Bagaimana bisa ada orang sejorok itu? Sampai-sampai bekas kondom pun tidak dibuang ke tong sampah.