Cielo sedang melakukan pengecekan ke lapangan. Itu sudah menjadi kebiasannya. Ia pun berjalan melewati koridor lantai enam bersama Septiani, sekretarisnya. Lalu ada Arya yang kini telah diangkat menjadi kepala bagian.
Abi tidak dapat menemaninya kali ini. Alasannya adalah ia sedang ada rapat dengan staff. Namun, Cielo yakin jika pria itu malu sekali bertemu dengannya karena ia telah meminta agar pria bernama Graciello Andreas itu kembali bekerja di Poseidon.
Ponsel Cielo bergetar. Ia melihat nama Justin yang tertera di layar ponsel. Segera saja, Cielo menolak telepon itu. Ia berjalan lurus dan memilih kamar secara acak.
Arya membukakan pintu dan Cielo pun masuk ke dalam sana untuk melihat-lihat. Lantai enam adalah lantai dengan kamar yang diperbolehkan untuk merokok. Kondisi ruangan yang terpapar asap rokok terus menerus menyebabkan temboknya menjadi agak suram atau itu hanya perasaan Cielo saja.
Hawa di tempat ini sangat tidak enak meski padahal tidak ada orang yang sedang merokok saat ini. Cielo tidak menyukai bau asap rokok. Ayahnya tidak pernah merokok sekalipun. Cedric pun tidak pernah merokok karena adiknya itu memiliki riwayat penyakit asma.
Kamar-kamar di lantai enam memang sudah sejak dulu dikhususkan untuk tamu yang merokok. Cielo tidak menyukai gagasan ini, tapi ya ia terpaksa melakukannya karena ternyata kamar di lantai enam ini cukup banyak diminati.
Usai melihat kondisi kamar yang rapi dan bersih, Cielo pun keluar dan melihat ada roda yang berisi alat-alat kebersihan sedang berada di depan sebuah kamar. Pastinya ada karyawannya yang sedang membersihkan kamar itu.
Cielo pun iseng dan menghampiri kamar itu. Betapa terkejutnya ketika ia melihat Graciello sedang berada di dalam sana. Cielo sengaja diam saja agar pria itu tidak menyadari kehadirannya.
Pria itu sedang mengelap kaca dalam keadaan terbuka.
"Memangnya kamu mau berhenti merokok, Kan?" tanya Graciello.
"Ya Lo, tapi aku tidak bisa lepas. Mungkin bisa lepas selama aku sedang bekerja saja, seperti sekarang ini."
"Menurutmu ruangan ini bau tidak?"
"Tidak." Temannya Graciello itu terkekeh. "Aku sudah biasa mencium baunya mungkin ya. Jadi, aku sudah tidak merasakan bau apa-apa lagi."
Graciello mendengus. "Menurutku, ruangan kamar ini seperti bau diskotik. Bau sekali. Iuh menjijikan."
Cielo tersentak mendengar pria itu berkata seperti itu. Rasanya ia seperti mendapatkan teguran langsung dari tamunya. Ia hingga berpikir untuk merenovasi kamar-kamar ini supaya tidak tercium bau seperti diskotik.
Lalu temannya Graciello itu mendongak dan terkejut bukan main saat melihat Cielo di sana.
"Bu," ujarnya sambil mengangguk canggung. "Selamat siang, Bu."
Cielo menatap papan nama yang terselip di dadanya. Pria itu bernama Farkan.
Lalu Graciello menoleh dan terkesiap saat melihat Cielo. "Astaga! Aku pikir ada hantu!"
"Hantu?!" seru Cielo yang tidak terima disebut seperti itu.
"Bu-bukan, bukan." Graciello menggerakkan tangannya sambil nyengir. "Maksudku, bukan begitu. Mana ada hantu cantik begitu?"
Cielo melebarkan matanya. "Kamu mau menggodaku? Terlambat. Kamu baru hari pertama bekerja lagi di sini, tapi mulutmu sudah berani bicara kurang ajar padaku?"
"Aku tidak bermaksud berkata seperti itu …, Bu," imbuh Graciello seolah terpaksa memanggilnya ibu.
Farkan langsung menyikutnya sambil menyipitkan matanya, lalu menggeleng cepat.
"Maafkan saya, Bu," ucap Graciello dengan nada bosan.
Cielo mendengus. Ia jadi menyesal telah menerima kembali pria itu bekerja di Poseidon. Jika bukan karena semua ketidakadilan yang terjadi, mungkin Cielo tidak akan peduli lagi pada pria itu.
Mau tidak mau, terima tidak terima, pria menyebalkan dan bermulut besar itu telah menjadi pahlawannya. Tanpa ragu, pria itu meninju wajah Justin. Hal itu tidak akan pernah bisa Cielo lakukan karena ia terlalu lemah untuk melakukannya.
Jadi, Cielo masih tetap berterima kasih atas tinjuan yang Graciello lancarkan pada Justin. Anggap saja sebagai pelampiasan emosinya.
Cielo berdeham. "Jadi, apa menurutmu tempat ini harus direnovasi?"
Graciello diam saja. Ia menunduk seperti yang sedang melamun. Cielo jadi kesal. Ia bertanya dan pria itu tidak menjawab, seperti orang bodoh saja.
"Hei, itu kamu ditanya!" Farkan menyikutnya lagi.
"Oh? Ada apa, Bu?" tanya Graciello dengan wajah polos tanpa dosa.
"Aku bertanya padamu, Graciello Andreas. Menurutmu, apa tempat ini harus direnovasi atau tidak? Tadi kan kamu bilang kalau tempat ini baunya seperti diskotik."
Graciello tercengang mendengar perkataan Cielo. "Jadi, sejak tadi kamu mendengarkan percakapanku dengan Farkan? Uhm, maksudku, Bu." Ia meringis sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.
Cielo benar-benar musti panjang sabar jika berbicara dengan pria bodoh seperti Graciello. Entah apa ia sengaja bersikap bodoh. Padahal seharusnya jika dilihat dari wajah dan penampilannya, ia terlihat seperti orang yang berpendidikan.
Cielo harus mencari tahu tentang latar belakang pendidikannya pada Septiani.
"Ayo cepat jawab pertanyaanku tadi!" bentak Cielo.
"Sa-saya tidak bermaksud untuk menghina tempat ini." Graciello terkekeh. "Menurut saya kamar ini bagus dan hebat. Bagus sekali kok. Tidak usah renovasi. Tadi itu, mulut saya memang salah bicara. Lupakan saja, Bu."
Graciello terus saja terkekeh sambil mengangguk. Cielo pun memberengut.
"Kamu mau berbohon padaku ya? Katakan yang sejujurnya. Memangnya tempat ini sebau itu?"
Cielo mengendus-endus dengan hidungnya dan memang tidak perlu usaha yang banyak untuk menghirup udara di tempat ini yang memang sudah bau rokok, seperti diskotik.
"Yaaaa … begitulah. Kalau memang Ibu mau renovasi silakan. Menurut saya yang hidungnya sensitif bau, tempat ini sepertinya tidak nyaman jika sampai ada tamu yang tidak kebagian kamar non-smoking. Kita kan perlu memikirkan tentang hal itu. Memang di setiap hotel selalu ada smoking room, tapi mungkin perlu diperhatikan lagi sirkulasi udaranya. Sepertinya ex-house di kamar ini agak pelan."
Mendengar Graciello menyerocos dan berkata apa adanya membuat Cielo merasa tertohok. Tidak biasanya ada yang mengkritik Poseidon.
"Begitu ya," ucap Cielo sambil mengangkat dagunya.
"Ya, Bu," ucap Graciello yang tampaknya tidak berani menatap mata Cielo.
"Kamu berani sekali ya." Cielo mendecak sambil menggelengkan kepalanya.