Medi mengambil segenggam pasir-pasir coklat itu dan melepasnya perlahan melalui sela-sela jemarinya yang kecil. Ia mengulanginya beberapa kali. "Midan, tolong panggilkan kakakmu. Jangan sampai dia terlambat untuk sholat. Waktu sholat sudah tiba dan dia masih saja duduk disana." Midan segera berlari menuju kakaknya dan menyentuh bahunya. Medi tersadar dan ia melihat kearah sang adik yang berdiri disampingnya. Sang adik tersenyum lalu berkata, "Apa yang ada dipikiranmu?"
Sang kakak membalasnya dengan senyuman dan mengelus kepala Midan dengan lembut. Ia kemudian menggelengkan kepalanya perlahan lalu berkata, "Tidak. Aku hanya berfikir…. Membayangkan. Apakah seperti ini kehidupan nabi kita yang mulia Muhammad. Padang pasir, panas, terik, membakar. Apakah seperti ini rasanya ketika kaki beliau yang mulia menginjakkan kaki pada pasir. Apakah ini udara yang pernah beliau hirup. Apakah ini panas mentari yang dulu pernah mengenai kulit beliau. Sungguh aku sangat berbahagia dan beruntung. Aku merasakan sosoknya seolah-olah sangat dekat, dekat sekali seperti beliau berada disini bersama kita. Apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?"
Midan tersenyum lembut dan menjawab, "Kita berdua akan segera bertemu dengan beliau, secepatnya. Ketika perang dimulai, kau dan aku harus berada di barisan paling depan. Kita tembus pertahanan para penyembah salib itu. Kita tunjukkan kekuatan Islam. Mereka tidak akan berani menghina agama kita lagi dan berbuat seenaknya pada orang-orang muslim." Mereka berdua terdiam sejenak seolah-olah saling menautkan hati masing-masing. Medi membuka mulutnya, "Kita akan segera bertemu dengan Rasulullah. Aku bahkan dapat mencium bau surga sampai sini. Kita berdua akan berlari kearahnya dan memeluknya seperti Hasan (RA) dan Husein (RA) lakukan. Kita akan meraih shahid. Karena apa…..?" Medi melemparkan umpan untuk adiknya menyambung kalimatnya. "Karena kita adalah 'murid' Hamzah bin Abdul Muthalib!" Mereka berdua bersorak gembira sambil mengangkat pedang masing-masing ke udara.
Prajurit lainnya yang mendengar sorakan mereka seketika menoleh dan tersenyum. Salah seorang yang bernama Bahar menghampiri dan memeluk pundak mereka. "Murid siapa? Murid Hamzah bin Abdul Muthalib? Sosok paman nabi yang perkasa? Sang singa Allah? Kalau kalian adalah murid beliau, maka beliau akan sangat sedih mengetahui bahwa kalian tidak segera menunaikan sholat. Medi, cepatlah ambil wudhu." Bapak Bahar mengelus lembut kepala sang kakak. "Baik, paman. Tolong awasi Midan ya. Jangan sampai dia menghabiskan makan siangku." Midan dan Pak Bahar tertawa mendengarnya. "Akan aku pastikan bahwa makan siangmu habis diperutku. Kau akan puasa hari ini sampai nanti malam."
Medi meletakkan pedang panjangnya di dalam kemah dan bergegas menuju persediaan air yang berada didalam bak diujung sana. Dia melepaskan ikatan kain berwarna hijau didahinya dan mengikatnya ke lengan kanannya. Rambutnya yang semi panjang menjuntai menyentuh dahi putihnya. Bulu-bulu halus berwarna hitam mulai tumbuh di daerah dagu dan rahangnya itu setelah beberapa hari dicukurnya. Badannya tidak sekekar prajurit lainnya dan dadanya juga tidak lebar. Ia masih dalam masa pertumbuhan menuju kedewasaan.
Dalam perjalanan menuju ke bak air, ia mendengar samar-samar suara sekelompok orang dari dalam kemah yang dilewatinya. Semenit kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Ia tidak dapat mendengarnya dengan jelas maka dari itu ia berusaha untuk berbaik sangka saja. Ia menggulung lengan bajunya sampai kesiku dan mulai meraih air ke telapak tangannya. Ketika ia sampai di tahap membasuh kaki kanannya, seseorang yang sudah berumur datang menghampiri dia. Umurnya sekitar lima puluhan.
"Medi, kenapa kau tidak pulang saja? Kau masih sangat muda. Aku kasihan pada orang tuamu kalau mereka sampai kehilangan anak lagi." Katanya dengan nada yang mengejek. "Sudahlah, pulang saja. Kehadiranmu tidak berarti bagi kami. Kami pasti akan menang tanpa kau dan adikmu. Kau jaga saja ibumu yang sudah tua itu", lanjutnya. Mendengarnya, wajah Medi seketika menjadi merah padam. Tanpa banyak kata-kata, Medi seketika itu berbalik dan lompat melampaui tinggi badan laki-laki kekar itu lalu meraih lehernya. Ia menguncinya menggunakan lengannya sehingga laki-laki itu kesulitan untuk bernapas. Ia berusaha melepaskan lengan Medi yang melingkar kuat pada lehernya dan ia juga memukuli badan Medi. Orang-orang yang melihatnya segera bergegas kearah mereka dan mencoba menenangkan Medi. Namun tidak seorangpun dari mereka yang bisa melepaskan 'kuncian' darinya.
"Medi, lepaskan! Dia akan mati!" Telinga laki-laki muda itu tampak sudah tertutup dan kedua matanya telah dibutakan oleh amarah. Semua orang terus berusaha untuk menghentikan itu semua namun gagal. Detik berganti detik, wajah laki-laki tua itu mulai memucat dan lemas diantara lengan Medi. Matanya mulai berkunang-kunang lalu memburam. "Medi, tolong lepaskan atas nama rasulullah!" Mendengar kata 'rasulullah', Medi seketika melepaskan kunciannya dan mendorong tubuh laki-laki tua itu menjauh. Spontan dia terbuyung jatuh karena lemas. Masih dalam keadaan marah, Medi membersihkan bajunya dari debu dan menunjuk-nunjuk laki-laki itu, mengancam. "Sekali lagi kau berkata seperti itu padaku, aku tak akan melepaskanmu. Kalau aku mendengarnya lagi entah itu langsung dari mulutmu ataupun dari orang lain, kupastikan kau tidak akan hidup lagi. Ingat itu baik-baik!"
Semua orang bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi. Kenapa pemuda sebaik dan semanis Medi melakukan hal yang mengerikan. "Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya mereka pada laki-laki itu. "Medi, dia sangat sensitif. Padahal aku hanya mengkhawatirkan mereka berdua. Namun dia berkata begini dan begitu lalu langsung menyerangku." Kebanyakan dari mereka termakan oleh perkataannya dan memandang kearah punggung Medi yang menjauh. "Abdullah, sabarlah. Maafkanlah anak itu. Dia tidak tahu apa yang telah diperbuatnya.