Pemuda itu memisahkan diri dari pasukan dan berjalan pulang. Ia memacu kudanya pelan tanpa semangat. Kesempatan untuk meraih pahala jihad sudah pupus. Sang panglima perang sudah menendangnya keluar dari pasukan. Kemana ia harus menyembunyikan wajahnya dihadapan orang-orang di kota. Ia sudah membuat malu keluarga.
Pasukan besar itu terus berjalan berlainan arah dengan Yasir. Namun tanpa sepengetahuan siapapun, ada beberapa orang yang mengikuti Yasir jauh di belakang. Mereka menunggu saat yang tepat. Disaat senja, ketika sang raja siang bergulir dan mulai tenggelam, mereka mulai melakukan aksinya. Sinar mentari sudah hilang dan gelap mulai menyelimuti.
Yasir menghentikan kuda hitamnya dan mendongak menatap langit malam, biru tua agak kehitam-hitaman. Tidak ada segumpal awanpun disana. Itu membuat bumi semakin dingin tak berselimut. Kelap-kelip bintang terlihat begitu jauh. Pelupuk matanya disapu oleh dinginnya angin malam. Sunyi, tenang, dan seorang diri. Deruan angin sepoi-sepoi melewati telinganya dan menciptakan suara gaung lemah yang khas. Dan tiba-tiba...
"Hei, anak iblis! Apakah kau kehilangan akal sehatmu? Apakah kau mulai gila? Apa yang kau lakukan disini? Menyapa langit? Bodoh!" suara itu kemudian diiringi oleh gelak tawa beberapa orang dari arah belakang. Yasir tau siapa mereka, namun ia tidak menduga bahwa mereka masih merencanakan sesuatu padanya. Tampaknya mereka masih belum puas dengan vonis pengusiran Yasir. Pemuda itu membuka matanya dan menunduk. Ia meredam amarahnya dengan menghembuskan nafas panjangnya.
Segerombolan laki-laki itu semakin mendekat dan salah satu diantara mereka menyentuh pundah kanan Yasir. "Bukan hanya gila, kau juga tuli ternyata." Mereka menertawai Yasir lagi. Dengan nada datar, Yasir berkata, "Siapa yang kau ajak bicara? Disini tidak ada anak iblis. Namun yang kulihat hanyalah kau. Dan lihatlah…. Sungguh beruntung bahwa saat ini aku dapat bertemu dengan anak iblis dan berbicara dengannya. Sungguh kehormatan bagiku."
Mendengarnya, wajah Adnan seketika merah memendam amarah. "Kau banyak bicara! Akan kupastikan bahwa kau akan menyesal kali ini!" Sedari tadi, Yasir sudah bersiap siaga tentang apapun yang akan terjadi padanya. Ia merenggangkan otot-ototnya dan bersiap-siap meraih pedang jika mereka tiba-tiba menyerang. Dan benar saja, setelah Adnan mengatakan itu, segerombolan laki-laki kekar itu langsung menyerang Yasir. Dengan sigap ia menangkis semua serangan. Ia melukai beberapa orang dan mereka terjatuh dari kuda. Kuda-kuda hitam itu yang sudah dilatih untuk peperangan, mereka juga bergerak lincah seirama dengan sang penunggangnya. Yasir tidak pernah bermasalah dengan jumlah yang dihadapi. Kekuatannya bagaikan seribu laki-laki. Namun detik itu adalah saat dimana kesialan menimpanya. Allah mendatangkan ujian kedua baginya.
Salah satu pedang memantulkan cahaya bulan tepat ke matanya dan membuatnya silau. Sepersekian detik ia menutup matanya, lalu seseorang menebas lengannya. Namun beruntungnya, lengannya tidak sampai putus. Tebasan pedang itu hanya merobek dagingnya hingga kedalam. Darah bercucuran dan ia terjatuh dari kuda. Dengan cepat orang-orang itu mengambil kesempatan emas tersebut.
Dari atas kuda, para musuhnya menginjak-injakkan kudanya pada badan Yasir. Beberapa juga menusuk-nusukkan pedangnya pada Yasir yang terkapar diatas pasir. Melihat kejadian itu, kuda Yasir berusaha melindunginya dengan meluncurkan beberapa serangan. Ia menendang dengan liar, menggigit, dan menabrak kuda-kuda lainnya untuk menjauh. Namun kuda itu bukanlah tandingan mereka. Orang-orang bengis itu langsung memenggal kepalanya dan mati ditempat.
Sedangkan Yasir, laki-laki malang itu terlumuri oleh darah merah yang terus mengalir. Wajahnya pun sudah tertutupi oleh darah. Melihat Yasir yang tidak bergerak lagi, salah satu dari mereka turun dari atas kuda untuk memeriksa. Mereka sangat menginginkan ia mati malam ini juga. Samir meraih pergelangan tangan Yasir untuk mencari denyut nadinya. Dan semenit kemudian, ia berbalik kepada kawan-kawannya dengan senyum yang mengembang.
Misi sudah selesai. Mereka memacu kembali kuda-kuda mereka menuju pasukan yang jauh didepan sana. Pasir merekam apa yang telah terjadi. Ia mendengar setiap tawa, hentakan kaki kuda mereka, dan suara pedang-pedangnya. Ia juga meresap setiap tetesan darah Yasir. Sang langit pun menyaksikan semua yang terjadi dibawah sana. Seluruh alam semesta menjadi saksi atas peristiwa berdarah itu.
Hijab alam akhirat kemudian terbuka. Yasir telah siap untuk menerima hadiahnya, surga. Pada saat bersamaan dengan ia membuka mata, cahaya itu datang untuk menjemputnya. Inikah saatnya kau datang, wahai Izrail? Batinnya. Disinikah tempat yang telah ditulis Allah untukku mati? Inikah yang Allah tuliskan di lauhul mahfudz? Aku mati dalam keadaan terusir.
Cahaya putih yang berkilau itu terlihat turun dari atas langit yang gelap dan mendekati dirinya yang terbaring dengan penuh darah. Senyuman dibibir pemuda itu merekah dan semakin lebar.
"Yasir", kata cahaya itu. Hening sejenak diantara mereka. Kemudian cahaya itu berkata lagi, "Belum saatnya kau kembali. Allah belum mengijinkanku untuk mencabut nyawamu. Maka, lanjutkanlah hidupmu." Kemudian malaikat Izrail kembali ke langit dan kilauan cahaya itu menghilang diantara gelapnya malam, meninggalkan Yasir seorang diri.
Satu tarikan nafas selanjutnya, Yasir bangun dan membuka kedua matanya seolah-olah terbangun dari mimpi. Kali ini, surga meleset dari pelukannya. Ia mengingat jelas kejadian ketika cahaya itu datang. Terlihat sangat nyata dan jelas. Namun, kini ia harus berusaha untuk melanjutkan hidup malam itu.
Ia tidak bisa menegakkan punggungnya untuk duduk. Yang dirasakannya hanyalah perih, sakit, dan sebagian badannya mati rasa. Badannya basah oleh darah dan tenaganya sangat lemah dikarenakan hal itu. Yang bisa dilakukan olehnya hanyalah membuka mata dan melihat sekeliling. Tidak ada siapapun disana. Sepi dan kosong. Dilihat olehnya kuda kesayangannya juga mati tak jauh dari tempatnya berbaring.
"Tolong….." ucapnya dengan suara lemah dan parau. Berharap siapapun dapat mendengarnya. Suaranya persis seperti suara bisikan. Kulit di lehernya juga terbuka lebar akibat pertikaian tadi. Ia berusaha untuk duduk dan tidak mau kalah dengan kondisinya. Dengan rasa sakit yang teramat sangat, ia berusaha sekuat tenaga untuk bangun dan duduk. Luka-lukanya terbuka semakin lebar akibat itu.
Dengan satu hentakan dan satu teriakan, ia sudah bisa berdiri. Seluruh badannya gemetaran karena sakit. Ketika badannya hendak jatuh lagi, ada seseorang yang menopang badannya. Seorang wanita.