Jauh disisi yang lain, Medi sudah sampai ke inti pasukan. Hanya belasan muslim yang berhasil menerobos sampai sejauh ini. Medi adalah salah satunya. Ia terus mengayunkan pedangnya. Diantara sengitnya laga itu, ia melihat dua puluh pemuda yang dirantai kaki dan tangannya sehingga mereka tidak bisa melarikan diri dari arena perang. Mereka dirantai satu sama yang lainnya dan saling menyambung. Mereka membawa pedang masing-masing. Terlihat ekspresi takut disemua wajah mereka. Langkah mereka tampak terburu-buru seperti hendak mencari jalan keluar dari arena itu dan kabur. Baju mereka juga masih bersih, pertanda kalau mereka belum sama sekali menyerang ataupun mendapatkan serangan. Pedang-pedang mereka juga masih bersih dari noda darah berbeda sekali dengan keadaan Medi yang kumal dan darah dimana-mana. Ketika mereka menyadari keberadaan Medi, mereka seketika terkejut dan memohon. Mereka semua menjatuhkan pedang-pedang mereka tanda menyerah dan takkan melawannya.
"Tolong, jangan bunuh kami. Sungguhlah kami hanya dipaksa oleh jendral untuk ikut berperang. Bahkan beberapa dari kami diculik dari rumah-rumah kami dan digabungkan kedalam pasukan. Kasihanilah kami, tolong jangan bunuh kami." Debu masih berterbangan karena sengitnya laga disekitar mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat jelas wajah Medi. Medi berjalan kearah mereka dan mereka duduk berlutut sambil terus memohon. "Tolong jangan bunuh kami. Tolong jangan bunuh kami."
Medi mengayunkan pedangnya keatas. Mereka semua menunduk, pasrah. Mungkin hari ini mereka dapat menghirup nafas untuk yang terakhir kalinya. Namun salah dugaan mereka. Medi menebas rantai yang mengikat tangan mereka satu per satu. Menyaksikan aksi Medi, mereka tercengang. "Kenapa kau tidak membunuh kami? Bukankah kami ini adalah musuhmu?" Medi tersenyum lalu berkata, "Inilah jihad yang diajarkan oleh nabi kami. Tidak menyerang orang tua, anak-anak, para wanita, dan orang-orang yang menyerah. Kami bukanlah algojo orang kafir, tetapi kami adalah mujahidin."
Mereka tersentuh akan penjelasan Medi dan mereka mengucapkan syahadat. Beberapa menit kemudian, terdengar sebuah suara dari arah belakang. "Kau? Kau hanyalah anak kecil. Bagaimana bisa kau sampai disini dan menembus pertahanan kami?!" Laki-laki itu mengacungkan pedangnya dan berlari kearah Medi.
"Keluarlah dari kancah peperangan ini dan kembalilah ke kota kalian." Perintah Medi pada pemuda-pemuda itu. "Te-tetapi ba-bagaimana denganmu?" Belum sempat menjawabnya, pedang sudah mengarah kepadanya. Duel pun tak bisa dihindari. Pemuda-pemuda itu hanya membeku di tempat menyaksikan Medi. Dia bergerak dengan sangat lincah dan cepat. Ayunan pedangnya juga tanpa keraguan sedikitpun.
Debu-debu bertebaran mengitari kedua prajurit itu. "Ayo kita bantu dia." Pemuda-pemuda itu hendak maju membantu Medi. Beberapa langkah mereka maju, Medi sudah memenggal kepala musuhnya. Mereka semuanya dibuat tercengang. Dengan mudahnya Medi bisa mengalahkan prajurit andalan itu. "Icaros Rouvin telah tumbang!" Mereka bersorak-sorak mengatakan kalimat itu berulang-ulang.
Kemudian dari arah belakang, tiba-tiba ada sebuah anak panah yang melesat cepat menggores lengan kanannya. Dengan sigap Medi membalikkan badannya dan mengenggam gagang pedangnya dengan erat, bersiap siaga. Kemudian setelah itu, puluhan panah menghujaninya. Ia dan beberapa pemuda lainnya membantu menangkis panah itu dan dengan satu perintah, mereka semua mundur dan menghilang dibalik pasukan, berkamuflase. Dengan posisi berjongkok, Medi dan yang lainnya berdiskusi. "Kalian pulanglah ke kota kalian dan jangan kembali lagi." Namun beberapa pemuda lainnya menolak dan ingin berjihad di jalan Allah. "Ini adalah pertarungan pertama kami, maka biarlah kami membela Allah dan Rasulnya."
Akhirnya sebagian diantara mereka pulang dan terus mempertahankan agama islam yang baru mereka peluk itu, dan sisanya berjuang bersama Medi.
Dilain sisi, Midan sedang berduel dengan dua orang musuhnya. Beberapa gerakan, Midan terjatuh dan musuh menginjak betisnya. Dirasakannya tulang betisnya yang akan patah. Ia meraih pedangnya dan menebasnya ke musuhnya itu dan ia seketika terbunuh. Ia bangkit hendak melawan musuh yang satunya lagi. Melihat kawannya yang tumbang dengan cara yang mengenaskan, itu membuat nyalinya ciut. Ia melangkah mundur pelan-pelan. Tak tersadar bahwa tadi kalung salibnya terjatuh. Midan melihatnya dan mengambilnya lalu menyerahkan padanya. "Ambillah." Pemuda itu tercengang melihat sikap Midan. "Bukankah kau membenci salib dan sesembahan kami? Mengapa tidak kau buang saja?" Midan tersenyum lalu menggeleng. "Aku tidak membenci salib. Umat Islam diajarkan untuk menghormati agama lain dan tidak mencela sesembahan kalian."
Jauh ditengah-tengah gurun pasir sana, ada seseorang yang masih berjuang untuk bertahan hidup. Samar-samar mata Yasir mulai bisa menyesuaikan cahaya luar dan bisa melihat sekitar. Yasir terkejut teramat sangat dan matanya terbelalak lebar. "Dimana aku????"
Gurun pasir yang kemarin dilihatnya berwarna kuning, sekarang disepanjang pandangannya hanyalah berwarna merah bata. Langit pun yang berwarna biru bersih, kini berwarna abu-abu seperti akan badai hujan. Sama sekali tidak ada cahaya matahari. "Apakah aku masih bermimpi?" Yasir membuka dan menutup kedua matanya berkali-kali. Ini adalah kenyataan. Ia tidak terjebak di alam mimpi lagi. "Ya Allah, dimana aku?" Detak jantungnya semakin cepat dan keringat cemasnya bercucuran. Ia seperti berada di alam lain yang sangat asing. Ia berjalan tiga langkah dari pintu gubuk tua itu dan matanya menyusuri luasnya padang pasir merah itu. Sungguh tidak berujung. Air matanya mengalir, ketakutan.
Perlahan namun pasti, ada sesosok laki-laki berjubah putih yang muncul dari badai pasir disana dan berjalan ke arahnya. Detak jantungnya semakin cepat dan kemudian Yasir masuk kembali ke dalam gubuk. Ia duduk meringkuk dibalik pintu sambil terus beristigfar. Makhluk putih itu pastilah bukan manusia. Bulu kuduknya berdiri semua tanpa terkecuali.
"Assalamualaikum." Suara muncul secara tiba-tiba diruangan itu. Dengan tidak yakin, Yasir menjawab salam itu dengan bibir yang gemetaran. Ia membuka matanya perlahan dan terlihatlah jelas sosok putih itu duduk tepat didepannya. Lututnya bersetuhan dengan lutut sosok itu. Mata Yasir tidak bisa berkedip lagi. Ia sangat takut dan terkejut. Sekujur badannya tiba-tiba menjadi dingin. "Jangan takut. Aku tidak akan menyelakaimu, Yasir." Sosok itu terdiam sejenak lalu berkata lagi, "Terimalah kabar gembira. Pertolongan Allah telah datang." Sosok putih itu kemudian berdiri lalu menggerakkan telapak tangannya dari arah kanan sampai ke kiri. Gubuk itu seketika menghilang dan terlihatlah seekor kuda yang berwarna putih bersih beberapa meter disamping Yasir.
"Naikilah dan kembalilah ke pasukan. Mereka membutuhkanmu." Yasir menoleh dan sosok itu telah menghilang. Hanya tinggal suara. Yasir tersenyum dan mengucapkan terimakasih. "Berterimakasihlah kepada Allah." Yasir berjalan menuju kuda itu. Kuda itu menekuk lututnya untuk mempersilahkan Yasir naik ke pungunggnya, seakan-akan ia memiliki akal. Ia mengelus pelan rambut kuda kemudian memerintahkannya untuk jalan. Gurun merah ini sangatlah luas seperti tanpa ujung. Langitpun semakin menggelap, bukan karena hendak malam. Namun langit yang semakin menghitam. Bukan pula badai. Entah apa itu. Yang penting itu bukanlah pertanda baik. Yasir memacu kudanya semakin cepat. "Ayo, teman. Kita pasti bisa."
Beberapa saat kemudian, terdengar suara-suara yang entah datangnya darimana. Kadang dari sebelah kirinya, kadang pula dari sebelah kanan. Langkah kaki kudanya pun terasa semakin berat dan akhirnya lari kuda itu melambat. Yasir mulai khawatir dan cemas. Ia mulai melantunkan ayat kursi berkali kali tanpa henti sampai kudanya bisa memacu larinya. Perlahan namun pasti, kuda itu mulai berlari kencang dan suara-suara aneh itupun menghilang secara misterius. Yasir masih terus melantunkan ayat kursi. Beberapa menit setelah itu, terasa udara hangat berubah menjadi udara dingin. Seperti halnya ia telah keluar dari dimensi itu. Awan berubah menjadi biru lagi dan gurun berubah warna menjadi kuning lagi. Ia mendongakkan kepalanya ke langit dan ribuan bintang mulai menghiasi langit. Kedua matanya pun menangkap bulan yang bersinar terang. Ia dapat menghela nafasnya lega. Ia sudah keluar dari dunia jin itu.