Hari itu adalah hari yang tenang sekali. Cahaya matahari seakan-akan terasa berbeda, lebih menenangkan. Jiwa-jiwa yang terkubur juga dapat merasakannya. Tenda-tenda sudah dilipat rapi. Gurun pasir tampak kosong lagi. Semuanya kembali seperti sedia kala. Sampah-sampah pun diambil untuk dibawa pulang. Yasir mengemasi barang-barangnya lalu ia menaiki kudanya. Ia menepuk-nepuk kudanya sambil tersenyum. Yasir seakan-akan berkomunikasi melalui hati dengan kuda itu. "Apakah kau siap?" Kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya senang. Entah jenis kuda apa ini. Asalnya darimana dan siapa pemiliknya. Ia menyebutnya sebagai kuda 'malaikat' karena kuda ini datang bersamaan dengan sosok putih yang ditemuinya di gurun jin itu.
Semua pasukan sudah naik ke kuda masing-masing dan sang panglima perang memerintahkan pasukan besar itu untuk jalan. Seluruh pasukan terlihat kelelahan dikarenakan tidak tidur semalaman. Akhirnya beberapa diantaranya tertidur diatas kuda. Yasir adalah salah satunya. Beberapa menit setelahnya, ia mendengar suara yang lembut. Suara itu membangunkannya perlahan. "Paman, paman, bangunlah. Lihatlah aku." Wajah Medi terlihat bercahaya sekali. Bajunya juga terlihat sangat mewah dan mahal. Rambut hitamnya yang terlihat sedikit basah disisir rapi ke belakang. Kedua matanya bersinar bagaikan bintang-bintang.
Yasir membelalakkan kedua matanya. "Darimana kau dapatkan baju bagus itu, Medi?" Anak muda itu tersenyum bahagia, "Ini adalah hadiah untukku." Yasir menyentuh takjub baju Medi sambil memperhatikan setiap detailnya. "Apa yang kau lakukan sampai bisa mendapat hadiah ini?"
Medi tersenyum lalu berkata, "Nanti saja kita bahas ini. Nah kebetulan paman berada disini sekarang, ayo main ke istanaku. Akan aku ajak paman berkeliling." Medi terlihat sangat bersemangat sekali dan menarik tangan Yasir. "Istana? Istana apa?" Yasir terheran-heran. "Hadiahku yang lainnya. Aku mendapatkan banyak sekali hadiah."
Yasir teringat akan sesuatu. Ia menanyakan tentang keberadaan Midan. "Dia ada di istananya", jawab singkat Medi. Ia terus menarik Yasir sampai akhirnya istana besar itu terlihat. Istana itu berlapiskan emas dan berlian. Sungguh tiada bandingannya. Melihatnya, membuat lutut Yasir lemas lalu ia jatuh berlutut. "Ini tempat tinggalku mulai dari sekarang. Ayo paman, masuk." Medi menarik tangan Yasir lagi. Ketika mereka akan menaiki anak tangga, seketika terdengar suara seorang wanita. Ia terus memanggil-manggil namanya.
Yasir tersenyum kearah suara itu lalu berkata pelan, "Shofiyah. Pasti kau sangat merindukanku." Medi menyadarkannya dari lamunan. "Paman, ayo masuk." Yasir berbalik dan memandang anak tangga itu lalu bergumam, "Tetapi maafkan aku Shofiyah."
Medi sudah meninggalkannya didepan. Ketika Yasir hendak melangkah maju, ia terhenti. Ada sebuah tembok yang tak terlihat didepannya. Ia meraba-raba tetapi tidak ada apa-apa disana. Ia terus berusaha menembus, tetapi tidak berhasil. Medi berhenti lalu kembali kearah Yasir dengan wajah yang sedih. Yasir panik lalu berkata, "Medi, bantu aku." Anak muda itu menggeleng pelan lalu berkata dengan suara sendu, "Sepertinya ini bukan saatnya. Paman harus kembali."
"Kembali? Kembali kemana???" Yasir terbangun dari tidurnya ketika sebuah kayu panjang menyentuh punggungnya. Ia hampir terjatuh dari kuda namun kawannya membangunkannya. Yasir menguap panjang lalu berkata, "Dimana kita?"
"Kita hampir sampai", jawab kawannya. Satu detik, dua detik, sampai detik ketiga, ia belum menyadari mimpinya. Kemudian ia membelalak lebar lalu berkata kepada kawannya, "Baru saja aku memimpikan Medi!" Yasir menceritakannya dari awal sampai akhir. Rekannya tersenyum lalu menanggapi, "Kalau memang itu adalah Medi, maka dia sudah mendapatkan surganya dan hampir saja kau menyusulnya. Tetapi ini bukanlah saatnya. Jalan kita masih panjang, Yasir. Bersabarlah. Insyaallah kita akan menyusulnya di peperangan yang lain."
Disepanjang jalan memasuki kota, dipasang bunga-bunga dan hiasan lainnya untuk menyambut kemenangan pasukan muslim. Suasana ini terlihat seperti suasana pagi hari saat idul fitri. Penuh kebahagiaan dan suka ria. Pesta besar diadakan di salah satu rumah petinggi di kota itu. Semua pasukan diarak menuju kesana. Ketika sang panglima perang mengikat kudanya, seorang ibu datang menemuinya dan menanyakan kabar putranya. Ibu itu telihat resah dan bimbang. "Bagaimana keadaan Salim? Apakah dia ikut pulang bersama kalian atau tidak?"
Mendengar nada sedih itu, panglima perang segera menenangkannya. Setelah membaca daftar nama yang ada ditangannya, dengan wajah prihatin, panglima berkata, "Salim telah menyusul kawan-kawannya menuju surga. Bersabarlah, bu. Ikhlaskan dia. Jiwanya sudah tenang disana." Tanpa diduga-duga, wajah sedih ibu itu langsung berubah menjadi bahagia. Senyuman lebar terlihat dibibirnya dan mengucapkan alhamdulillah berkali-kali. Panglima heran melihat itu. Ibu itu sujud bersyukur lalu berkata, "Sungguhlah ini yang kuharapkan. Inilah cita-cita dari ayahnya sedari awal. Ia meninggal shahid di medan perang, kini putranya juga menyusul dengan jalan yang sama. Aku telah menikahi dan melahirkan penghuni-penghuni surga." Kini panglima dapat memahami arti kebahagiaan sang ibu tua itu.
Pesta itu berjalan meriah. Semuanya berpesta tanpa terkecuali. Semua makanan dan minuman disajikan untuk siapapun yang hadir. Yasir sedang duduk bersama kawan-kawannya. Ditengah-tengah obrolan, Yasir melihat sosok Shofiyah diujung sana. Gadis itu mengenakan gaun biru yang sangat cantik senada dengan warna jilbabnya. Sudah berapa hari ia tidak melihat paras indah itu. Shofiyah sedang mengeluarkan makanan-makanan lainnya dan menatanya rapi diatas meja. Ia tidak tahu bahwa Yasir sedang memperhatikannya dari kejauhan. Terlihat sebuah senyuman disudut bibir pemuda itu.
"Temuilah dia", kata teman-temannya yang menyadari apa yang Yasir bayangkan. "Tidak apa-apa. Nanti akan ada waktunya." Teman-temannya tersenyum sambil terus menggodanya. Makanan baru datang ke meja Yasir. Mereka menyantapnya lagi sambil menyambung obrolan tadi. Yasir melihat ke lengan kanannya dan mengintip luka yang diperban. Ia membuka perlahan kain putih itu dan terlihat bahwa lukanya masih belum mengering.
Ketika menutup kembali perban itu, terlihat sosok wanita bergaun biru mendekatinya. Shofiyah. Alis Yasir naik dan senyumannya semakin lebar. Kali ini wajah Shofiyah nampak sedikit berbeda. Wajahnya semakin cerah dan sangat memikat hati. "Kau cantik sekali", ucap Yasir. Shofiyah tersenyum malu mendengarnya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya gadis itu. Yasir menceritakan apa yang terjadi selama peperangan. Raut wajah Shofiyah berubah setelah mendengar cerita itu. "Sungguh, kau telah mengalami hal yang sangat berat." Gadis cantik itu menyentuh lembut lengan Yasir. Diujung mata pemuda itu, ia melihat cincin tunangan yang melingkar dengan indah di jari manis Shofiyah. "Aku mencintaimu", ucap Yasir lembut. Shofiyah tersenyum lalu berkata, "Aku tahu itu." Perlahan Shofiyah menarik tangan tunangannya dan mengajaknya keluar dari pesta. "Mau kemana kita?" tanyanya sambil tertawa. "Nanti kau akan tahu."
Tibalah mereka di suatu ruangan, hanya mereka berdua. "Ini salah", ucap Yasir lembut ketika Shofiyah mengunci pintu. "Tidak ada yang salah. Dalam hitungan hari kita akan menikah", ucap gadis itu malu-malu. Detak jantung Yasir mulai memacu cepat. Gadis itu mendekat dan membisikkan kata-kata merindu. Shofiyah membuka jilbabnya dan Yasir mengelus pelan setiap helaian rambutnya. "Kau sangat cantik sekali hari ini. Entah apa yang membuatmu berbeda."
Di waktu yang sama di dalam pesta, terlihat gadis bergaun biru yang tampak menoleh kesana dan kemari sedang mencari seseorang. Sedari tadi Shofiyah tidak melihat dimana Yasir. Terakhir kali ia melihatnya duduk disebelah sana, disebelah Umar dan Hafiz. "Kemana Yasir?"
Kedua laki-laki itu menggeleng tidak tahu. "Tadi dia berjalan kearah sana. Mungkin dia ke toilet."