Chereads / Surga yang Meleset / Chapter 14 - Anak itu Bernama Medi

Chapter 14 - Anak itu Bernama Medi

Kedua insan itu saling dimabuk asmara. Dalam beberapa menit, mereka sudah tidak berbusana. Shofiyah berada diatas tempat tidur, sedangkan Yasir diatasnya. Ketika ia hendak meletakkan kemaluannya, ia sepintas melirik kearah cermin. Ia melihat sosoknya dan sosok hitam yang berada tepat diatas tempat tidur. Ia memastikannya lagi dan melihat kearah Shofiyah. Lalu ia melihat kearah cermin lagi. Sosok yang sedang bersamanya adalah jin.

Ia segera keluar dari ranjang dan memakai bajunya dengan cepat. "Ada apa sayangku?", tanya Shofiyah palsu itu dengan nada yang merayu. Yasir melihat cermin lagi dan sosok hitam itu masih ada. "Sungguhlah kau bukan Shofiyah. Dia tidak akan berani melakukan hal yang sehina ini!" Sosok Shofiyah itu tertawa keras lalu berkata, "Tetapi kau berani kan? Maka lakukanlah denganku. Sungguhlah kita adalah pasangan yang sangat serasi. Shofiyah terlalu suci untukmu. Kasian sekali jika dia mendapatkan laki-laki sepertimu."

Sosok itu kemudian tertawa dan berubah ke bentuk aslinya. Badan eloknya berubah menjadi sosok yang tinggi dan menyeramkan. Ototnya keluar semua layaknya monster hitam berbulu. Sorot matanya yang indah berubah menjadi merah menyala. Sosoknya meninggi hampir tiga meter keatas. Itu pertama kalinya Yasir melihat jin secara langsung. Bulu kuduknya berdiri. Lalu sosok hitam itu hilang entah kemana. Yasir terduduk lesu, kakinya lemas dan tak bertenaga.

Pintu dibuka dan terlihatlah Shofiyah yang asli disana. "Sedang apa disini?" Yasir mengusap-usap wajahnya beberapa kali untuk menghilangkan rasa takutnya. "Tidak apa-apa. Ayo kita kembali ke pesta." Wajah Shofiyah mengernyit melihat ekspresi aneh dari tunangannya. "Apa yang terjadi?" Yasir terus mengelak dan lari dari pertanyaan Shofiyah. Ia terus menenangkannya bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi.

Beberapa minggu telah berlalu. Yasir terlihat merapikan kemeja hitamnya dan hendak memakainya. Ia bercermin kemudian menyisir rambut hitamnya ke belakang. "Tampannya putra ibu", ucap ibunya dari arah dapur. Yasir tersenyum kemudian menghampirinya. "Ibu jangan terlalu lelah. Kita akan kedatangan banyak tamu hari ini." Pemuda itu mengambil kotak kue ditangan ibunya.

Hari itu adalah hari yang sangat istimewa baginya dan Shofiyah. Itu adalah hari pernikahan mereka. Satu jam saja mereka akan menjadi suami istri. Keluarga kedua mempelai sudah berada di lokasi pernikahan. Yang belum datang hanyalah sang pengantin wanita. Yasir terus saja melihat ke arah jam tangannya. Shofiyah tidak kunjung datang hingga lima belas menit lamanya. Pemuda itu tampak resah dan berjalan kesana-kemari. Ia sering melihat kearah pintu masuk.

"Aku akan mengeceknya", Yasir meraih kunci sepeda motornya dan keluar dari pesta pernikahan. Ibunya menahannya dan menyuruhnya untuk menunggu sebentar lagi. Tetapi Yasir tidak mendengarkan dan pergi dari tempat itu. Setibanya ia ditempat kekasihnya, ia segera memarkir sepedanya dan membuka pintu besar itu. Ia terkejut melihat pemandangan didepannya. Shofiyah sangat cantik sekali dengan gaun putih itu. Yasir hampir saja tidak berkedip. Ia menahan nafas beberapa detik.

"Maaf, tadi ada masalah dengan gaunku." Kata Shofiyah berusaha menjelaskan. "Tidak apa-apa. Aku bersedia menantimu walau seribu tahun lamanya. Aku akan tetap menantimu seperti halnya bintang menunggu malam dan matahari menunggu siang." Seisi ruangan dibuatnya tersipu malu oleh puisi romantis karangan Yasir. Shofiyah tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah. Yasir melangkah mendekat kearahnya dan berbisik, "Janganlah malu seperti itu padaku, kita akan menjadi suami istri. Akan banyak hal yang akan kita lakukan bersama-sama."

"Contohnya?", tanya gadis itu. Kini giliran Yasir yang tersipu malu. "Nanti kau akan tahu." Pernikahan berjalan dengan lancar dan meriah. Kedua mempelai seperti halnya raja dan ratu di hari itu. Semua perhatian mengarah pada mereka berdua. Yasir dan Shofiyah beberapa kali curi-curi pandang lalu tersenyum bersamaan.

Tahun demi tahun berlalu. Rumah tangga Yasir selalu harmonis tanpa masalah yang berarti. Kini mereka telah dikaruniai satu anak laki-laki yang berumur delapan tahun. Ia memberinya nama Medi. Anak kecil itu kini sedang naik ke kuda dibantu oleh ayahnya. Ia duduk didepan dan Yasir dibelakangnya. Ia berpegang kuat pada kuda dan melirik ke pasukan muslimin disekelilingnya. "Siap?" kata ayahnya. Medi mengangguk sebagai jawaban. Sorot matanya penuh dengan api semangat. Ini bukanlah pertama kalinya bagi dia mengikuti peperangan bersama ayahnya. Yasir mendidiknya sedemikian rupa agar ia terbiasa dengan peperangan dan menumbuhkan jiwa prajurit dalam dirinya.

Yasir menggenggam dua pedang di kedua tangannya dan mampu menggunakannya dalam waktu yang bersamaan. Beberapa tahun terakhir ia telah mengasah keahlian pedangnya sehingga ia sudah bisa menggunakan dua pedang. Percikan takbir sudah berkumandang dari sang panglima perang dan perang telah dimulai. Kaki kaki kuda maju kedepan dan menghampiri musuh didepan sana. Dan lagi-lagi, pahala mati shahid belum didapatkan oleh anak dan ayah itu. Lagi-lagi mereka harus menunggu pintu surga untuk terbuka.