Aku merasakan seseorang menopang badanku dan membantuku untuk tetap berdiri. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas namun yang pasti seseorang disampingku ini mengenakan rok panjang yang berwarna biru muda. "Aku tahu tempat yang aman. Akan aku obati anda disana", ucapnya dengan suara yang lembut.
Entah bagaimana caranya kita bisa sampai di tempat itu dalam waktu yang singkat dengan kondisiku yang seperti ini. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa saat ini. Aku diam saja dan membiarkannya memapahku hingga kesini. Rumah kecil ini sangat sederhana namun cukup hangat. Obor kecil sebagai penerang di ruangan itu.
Kita disambut oleh sepasang orang paruh baya, kedua orang tua gadis itu. Mereka tampak panik ketika melihat anak gadisnya membawa pulang laki-laki yang sekarat dan penuh darah. "Apa yang terjadi?" tanya sang ibu khawatir.
Gadis yang bernama Mirah ini menjawab dan menjelaskan semua yang telah terjadi padaku. Mereka merawat luka-lukaku dan membersihkan darahku. Kondisiku sangat lemah karena kehilangan banyak darah. Kemudian ibunya menyiapkan makanan untuk disuapkan padaku. Mirah yang melakukan tugas itu. Ia menyuapiku dengan sendok yang terbuat dari logam. Sementara itu, kedua orang tuanya keluar hendak mengambil air di sumur yang letaknya lumayan jauh.
Kini dapat kulihat dengan jelas paras wajahnya yang sangat cantik seperti bunga mawar yang merekah di padang rumput yang hijau. Tidak ada bandingannya. Aku tidak pernah melihat gadis secantik dia. Pada suapan keempat aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Detak jantungku berdetak cepat tak beraturan dan sesuatu terjadi diantara pahaku. Memandang mulus tangannya dan putih kulitnya membuatku semakin tak karuan. "Aku makan sendiri saja." Aku segera menghentikannya menyuapiku dan meraih piring ditangannya. Tak sengaja, tangan kami bersentuhan dan itu semakin membuat perasaanku meledak-ledak.
"Tidak apa-apa? Anda bisa makan sendiri?" tanyanya dengan suara yang sangat lembut, lebih lembut dari biasanya. Lagi-lagi, sesuatu yang lebih hebat terjadi diantara kedua pahaku. Sebuah perasaan yang tak terbendung. Aku mengangguk dan melanjutkan makan. Aku tak berani lagi untuk menatap kedua matanya yang indah itu dan sejak saat itu aku menunduk.
Batinku mengatakan bahwa Mirah terus mengamatiku, aku semakin menunduk menyadari itu. Kemudian kudengar ia mendesah pelan lalu berdiri. "Syukurlah kalau begitu. Anda sudah merasa lebih baik dan bisa makan sendiri. Aku hendak ganti baju dulu." Dahiku mengernyit mendengarnya. Dimana ia akan ganti baju? Rumah ini sangat kecil bahkan tidak ada ruangan lain.
Kulihat Mirah menutup tirai sebagai pembatas diantara kita dan ia mulai melakukan aktifitasnya dibalik sana. Walaupun samar-samar, obor api itu dapat memantulkan bayangan dari balik tirai. Kulihat ia mulai membuka satu per satu bajunya dan disitulah kulihat jelas lekuk tubuhnya. Jantungku serasa mencelos dari dada. Untuk sesaat aku serasa melayang diudara.
Aku tak bisa mengalihkan tatapan mataku dari pemandangan itu. Wajahku memanas dan memerah karenanya. Beberapa menit kemudian, ia sudah selesai dan membuka tirai. Melihat paras cantik itu lagi, aku sungguh ingin menyentuhnya, merasakan setiap jengkal kulitnya. Melihatku yang terpaku padanya, ia tersenyum lembut lalu berkata, "Kenapa? Apakah bajuku yang ini bagus?"
Aku diam saja dan memaksa pandanganku untuk menunduk. Kemudian, Mirah mendekat dan duduk disebelahku. Aroma wangi dari parfumnya memabukkanku. "Disini, hanyalah aku dan kedua orang tuaku yang tinggal. Mereka tidak memiliki anak lagi dan aku sangatlah lemah untuk merawat mereka. Andai saja jika mereka memiliki seorang laki-laki yang tinggal bersama kami...." Diujung kalimatnya, ia melirik kearahku seolah-olah melempar umpan. Aku berdehem menetralkan suasana dan berkata, "Lalu?"
Ia tersenyum dan meletakkan tangan kanannya diatas pahaku dengan lembut. "Maukah anda tinggal bersama kami?" Suaranya semakin terdengar manis dan merayu. Kemudian belaian tanganya mulai berjalan keatas pahaku. Aku sangat menikmati belaian tangannya hingga membuatku menutup mata.
"Yasir!" aku terhentak ketika mendengar bentakan dari suara batinku. Dengan cepat aku tepis tangannya untuk menjauh dari area sensitifku. Wajahnya menjadi sedih dan muram, seperti hendak menangis. "Maafkan aku, tetapi aku sudah memiliki seseorang."
"Itu tidak masalah. Bukankah anda diperbolehkan untuk memiliki empat orang istri? Maka..." ia mulai membuka bajunya dan menunjukkan padaku dadanya yang mulus. Aku menahan napas menyadarinya dan segera menutup mataku rapat-rapat. Aku tak bisa berpikir apa-apa selain meraih pisau belatiku dan mengarahkan padanya. "Jika kau maju sesenti saja, kupastikan kau akan terbunuh malam ini."
Beberapa saat setelah itu, kudengar suara langkahnya berjalan keluar rumah. Aku sama sekali tidak peduli kemana ia pergi walaupun ia sudah sangat berjasa untuk menyelamatkanku. Aku tidak ingin tahu kemana ia pergi ditengah malam seperti ini. Aku terus berjaga sambil menggenggam pisau belati. Detik ke detik, menit ke menit, tidak ada seorangpun yang kembali dan angin sepoi-sepoi semakin membuatku mengantuk. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik padang pasir yang terus menyapa kawan-kawannya untuk meramaikan malam yang sunyi dan dingin. Mereka seakan-akan menyanyikan nada doremi dengan cara mereka. Mendengarnya, akhirnya akupun jatuh tertidur.
"Yasir…. Yasir" Aku bermimpi lagi. Kali ini aku duduk diruang keluarga, dirumahku. Ayahku duduk disebelahku sambil membawa segelas teh hangat ditangannya. Beliau menyeduhnya sejenak lalu berkata lagi. Senyumnya sangat meneduhkan hati dan menyejukkan mata siapa saja yang melihatnya. Kala itu cahaya ruangan remang-remang berwarna kekuningan, mirip suasana di waktu senja.
Aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang ayah katakan. Pada waktu yang sama aku meliha banyak ular yang memasuki rumah. Sekitar enam atau tujuh ular masuk dan menggeliat di ruang ini. Ekspresiku berubah menjadi panik dan kusadari bahwa hanya aku yang dapat melihat ular itu. Ayah masih melanjutkan pembahasannya dengan santai. Aku semakin panik dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku melihat sekitar untuk mencari benda apa saja untuk membunuh ular-ular itu. Namun kemudian, aku terbangun dan terlihat sinar matahari yang memasuki ruangan dan menyilaukan kedua mataku. Satu hari lagi aku harus bertahan hidup ditengah-tengah padang pasir ini.