Satu jam sebelumnya, sebelum Katrine dan Zoltan datang.
Jose datang pagi sekali ke rumah kontrakan Enola. Tekadnya sudah bulat menyatakan perasaan pada gadis itu. Jose gugup saat pernyataan cintanya. Tetapi itu harus dilakukan agar Enola tahu.
"Enola, aku sangat mencintaimu. Maukah menikah denganku?" Jose to the point, tidak pake basa-basi.
Sejenak Enola terpaku. Pengakuan sekaligus lamaran tiba-tiba itu seperti mimpi. Sebab menganggap Jose teman biasa tidak lebih dari itu.
"Kau serius? Hei ayolah jangan bercanda." Enola terkekeh.
Jose meraih tangan Enola, meremasnya dengan tatapan penuh harap.
"Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku ini, Enola. Aku akan memperkenalkan kamu pada keluargaku. Aku siap menikah dengan kamu!"
Tatapan Jose dan pengakuannya tidak bisa dianggap main-main. Enola sadar itu. Jose yang ia kenal memang seperti ini bila mengutarakan kesungguhan. Perlahan Enola melepaskan tangannya dari genggaman Jose.
"Jadi kau serius? Tapi Jos, aku tak pernah bermimpi menikah denganmu. Terlebih kita masih sekolah. Kita berdua sama-sama orang yang tidak memiliki apapun. Sebenarnya aku ingin menikah dengan lelaki kaya, agar ekonomi keluargaku bisa tercukupi. Lebih baik kita jadi teman saja oke?"
Enola berusaha meluruskan keadaan yang tidak mengenakan ini. Dia tidak mau Jose sakit hati karenanya. Bukan alasan keluarga saja menolak perasaan Jose. Enola sadar bukan virgin lagi, sudah melakukan malam pertama yang tidak seharusnya ia lakukan.
Jose tertegun tidak mengira Enola memiliki mimpi menikahi pria kaya. Sayangnya saat ini Jose berpura-pura jadi pria miskin, untuk memikat hati Enola, Jose terpaksa menyembunyikan status aslinya, namun semua itu membuat dinding penghalang untuk cintainya.
"Tamatlah riwayatku. Kenapa aku pura-pura jadi miskin," pekik Jose dalam benaknya.
"Kau baik-baik saja? Jose, lebih baik kita berteman saja ok!"
Jose menggeleng, menolak keputusan Enola. Ia meraih tangan Enola lagi dan menggenggam erat.
"Mana mungkin aku jadi temanmu di saat perasaanku selalu padamu. Aku mohon Enola. Ada satu hal yang ingin aku katakan padamu."
"Mengenai apa Lagi?" Enola siap mendengar semua penjelasan lelaki di hadapannya itu.
Jose sendiri memantapkan hati mengungkap identitas asli sebagai pria kaya.
"Sebenarnya aku ... Ah, aku ...?" Tangan Jose terkepal jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Alis Enola menukik tajam melihat keraguan itu. Belum sempat Enola memotong ucapan Jose. Lelaki itu lebih dulu angkat bicara.
"Sebenarnya aku tidak miskin! Keluargaku kaya, walaupun orang tuaku sudah meninggal tapi aku tetap kaya. Kakak dan nenekku meneruskan perusahaan ayah. Saat usiaku sudah matang aku akan mengambil alih perusahaan itu."
Jose baru bernapas lega setelah mengatakan kebenaran. Namun reaksi Enola sulit di pahami. Awalnya gadis itu diam seribu kata, tetapi t iba-tiba saja tawanya menggelegar.
"Ha ... Ha ... Ha ... Ha ... Kau pikir aku akan menerima lamaranmu jika jadi kaya! Jose, Jose. Aku bukan idiot. Ah sudahlah anggap saja kau tidak mengatakan apapun padaku. Dasar aneh kenapa mendadak jadi kaya."
Jauh di lubuk hati Enola mempercayai ungkapan Jose barusan. Memang ucapan Jose terdengar konyol tiba-tiba kaya, tiba-tiba miskin siapa coba yang percaya. Enola meraih botol air minum lalu menenggaknya. Pagi ini cuacanya cukup mendung tetapi hati Enola terasa terbakar.
Jose sendiri tidak mungkin membiarkan Enola tidak percaya. Dia merogoh dompet di saku celananya. Lalu mengambil selembar foto dalam dompet tersebut.
"Ini foto nenekku dan kakak kandungku. Kau bisa melihat pakaian mahal yang mereka kenakan."
Enola menuruti keinginan Jose, menatap foto nyonya Herbert dan Zoltan dengan balutan jas formal. Sayangnya Enola tidak mengenali Zoltan sebab wajah tampan itu dipenuhi coretan di bawah hidung dan dagu.
"Ey ... Kenapa kakakmu berkumis? Kau bilang dia seperti pangeran tampan berkuda. Tapi ini tidak sesuai harapanku?" Enola memberikan foto tersebut pada Jose.
Jose menahan tawa karena perbuatanya membuat wajah kakaknya seperti pria berkumis.
"Maaf, ini hanya kumis palsu. Aku yang mencoret wajah kakakku. Tapi sekarang kau percayakan?"
Enola tetap menggeleng. "Tidak."
"Ayolah Enola. Aku benar-benar orang kaya. Begini saja kau mau melakukan permintaan? Aku akan mengabulkan sekarang juga."
"Benarkah? Kau yakin dengan ucapanmu?" Bola mata Enola berbinar-binar terang. Kemudian memikirkan keinginannya yang belum terwujud.
Jose berharap setelah ini Enola percaya padanya. Semoga permintaan gadis itu tidak aneh-aneh.
"Begini, aku ingin pergi ke pulau terpencil dengan perahu pesiar mewah. Jalan-jalan di tepi pantai, bermain air dan makan malam yang istimewa. Keinginan yang kedua, aku ingin tinggal di apartemen mewah, semua keluargaku dapat tinggal di sana. Kami banyak menghabiskan liburan ke luar negri bersama, shopping sepuasnya juga makan sekeluarga dengan hidangan laut. Kupikir hanya itu yang aku inginkan untuk saat ini," jelas Enola angannya menerawang jauh ke angkasa.
"Baiklah! Kau tunggu saja, aku akan menghubungi bawahan kakaku. Pergi ke pulau dengan kapal pesiar mewah, dan membeli apartemen mewah untuk semua anggota keluargamu. Dan berlibur ke luar negri juga belanja sepuasnya. Aku janji akan mengabulkan. Agar kau percaya padaku terima lah kartu ini!"
Entah sejak kapan Jose menggenggam black card lalu menyodorkan pada Enola
"Apa ini? Kau bersungguh-sungguh?" Enola melongo sebab ucapan Jose tidak main-main. Sekarang Enola tahu yang memiliki kartu hitam bukan orang biasa. Dia tahu karena memiliki kartu tersebut dari pria kaya yang pernah tidur dengannya.
"Sudah aku katakan aku tidak main-main. Kau bisa membeli apapun dengan ini. Pergi kemana pun yang kau inginkan bersama keluarga. Untuk sementara terima saja kartu hitam ini." Jose memaksa Enola untuk menerima Black Card yang di peroleh dari Zoltan.
Kepala Enola berdenyut sebab ucapannya tidak bersungguh-sungguh. Dia hanya mengungkapkan harapannya saja tidak menyangka Jose akan mengabulkannya. Akhirnya Enola memutuskan untuk menerima tawaran Jose menjadi pacar.
"Baiklah, mari kita pacaran. Kita coba selama satu bulan. Tapi aku minta jangan ada dulu lamaran. Karena kita masih sekolah. Jika satu bulan lancar dan perasaan kita terikat maka hubungan kita akan berlanjut. Bagaimana apa kau setuju?"
"Setuju! Mana mungkin aku tidak setuju." Jose sumringah dengan cepat mendekap Enola dalam pelukannya.
Setelah Jose berhasil menyatakan perasaannya dia meninggalkan rumah kontrakan Enola. Tanpa dia sadari dalam perjalanan berpapasan dengan Zoltan.
Zoltan yang fokus mengemudi hanya melihat ke depan. Dia melewatkan Jose yang baru saja masuk ke dalam taxi. Begitupun Katrine datang setelah Jose pergi.
***
Zoltan tetap kebingungan sebab penjaga rumah Mewah tersebut tidak mengenal Quinn Shada. Zoltan tidak memaksa masuk, ia percaya penjaga rumah tidak mungkin berbohong. Mungkin ada kesalahpahaman sehingga alamat rumah tidak cocok. Itu pemikiran Zoltan setelah melangkah pergi kembali ke mobil mewahnya yang masih parkir di tepi jalan.
Enola dan Katrine diam-diam melintas. Mata elang Zoltan menangkap pergerakan mereka.
"Permisi! Bisa saya tanya-tanya?" Zoltan menghentikan langkah Enola dan Katrine.
Dua gadis itu tidak bisa mengelak. Mereka terpaksa berhadapan dengan Zoltan tetapi Enola berusaha menyembunyikan wajahnya di punggung Katrine.
"Iya, tanya apa?" ucap Katrine terlihat santai padahal dalam hati seperti benang kusut. Enola apalagi. Jangan ditanya, gadis yang memiliki rambut ikal sangat berantakan jelas saja Zoltan tidak mungkin mengenalinya.
Zoltan hanya tahu Quinn Shada yang cantik dan seksi bukan Enola yang semberaut seperti sekarang.