Di dalam ruang rawat inap, Mariana yang merasa tertekan perasaannya di antara sesal tapi juga sangat tidak enak hati kepada Lena–sahabatnya.
"Maaf ya Len. Bayu lagi banyak pikiran. Pekerjaannya juga sangat menyita waktu, mungkin dia perlu waktu beradaptasi dengan perubahan mendadak dalam hidupnya." Mariana tampak tak enak hati kepada Lena. Ia pikir Lena akan kecewa dengan sikap Bayu yang dingin kepada mereka.
"Gak masalah kok, Ria. Maklum juga kan pernikahannya juga dadakan," ujar Lena pura-pura memaklumi.
Wajah pucat Mariana tersenyum berharap Bayu akan berubah dan akhirnya, semuanya akan baik-baik saja.
"Kamu susul gih suamimu, Sayang. Kalian pulang dan sama-sama diskusi di rumah ya," kata Lena kepada putrinya.
Viona pun mengangguk patuh dan segera mencium tangan Mariana lalu beranjak pergi dari sana menyusul Bayu yang telah lebih dulu keluar.
Dengan masih mengenakan kebaya putih pernikahannya, Viona berlari meski tersendat-sendat oleh kain jarik yang ketat di bagian bawah kakinya. Ia celingukan ke sekitar gedung rumah sakit mencari keberadaan Bayu, dengan langkah perlahan, tepat di depan pintu lobby utama.
"Nona Viona?" sapa seorang lelaki berpenampilan rapi, berjas dan berdasi.
Viona menghentikan langkah kakinya dan berpaling lalu menatap orang itu dari kepala sampai kaki dalam tatapan ingin tahu siapa lelaki itu, kerapiannya benar-benar mengalahkan pengantin lelaki yang mengucapkan akad tadi pagi kepadanya.
"Perkenalkan saya Sean. Asisten pribadi Pak Bayu," kata Sean tanpa mengulurkan tangannya, tapi sedikit membungkuk sekedar memberi hormat kepada wanita muda itu.
Viona menegakkan punggungnya. "Dimana bos kamu? Apa dia sudah pergi?" tanya Viona dengan nada gusar. Merasa tidak lucu kalau ternyata ia ditinggalkan begitu saja oleh Bayu.
Asisten pribadi Bayu yang cukup tampan itu mengangguk. "Saya akan antar Nona ke rumah, Pak Bayu sudah pergi ke kantor," ujar Sean sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh bosnya.
Seketika mata lebar Viona membelalak. "A-APA?!" teriaknya dengan nada marah.
Viona benar-benar kecewa dengan sikap Bayu. Kenapa Bayu seperti ini kepadanya? Apa pria itu benar-benar membencinya sampai pergi begitu saja tanpa berkata apapun bahkan sekedar basa-basi saja tidak dilakukannya.
"Sialan," umpat Viona tidak bisa menahan kekesalannya. Bagaimana bisa Bayu malah pergi meninggalkannya ke kantor? Ini hari pernikahan mereka. Harusnya mereka pulang bersama.
Walau dengan nada pelan tapi Sean bisa mendengar apa yang diucapkan Viona. Ia pun tidak merasa heran mengingat dirinyalah yang mencari informasi tentang bagaimana perilaku wanita itu sehari-hari.
Sangat disayangkan, bosnya yang baik harus menikahi wanita seperti Viona. Namun ia tetap berharap yang terbaik untuk atasannya Bayu Perdana, semoga Pak Bayu bisa menghadapi Viona dan tidak jatuh dalam perangkap licik mereka.
"Mari ikut saya Nona," pinta Sean yang sudah berjalan duluan. Terlihat wajah Viona yang memberengut karena menahan kemarahan dan kekecewaan.
"Hei!" seru perempuan itu.
Sean menghentikan langkahnya dan menoleh kepada Viona. Perempuan itu melangkah ke hadapan Sean sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Mulai sekarang panggil saya Nyonya Bayu atau Nyonya Perdana dan jaga sopan santunmu ... siapa namamu? Soni?" Viona memicingkan kedua matanya seolah sedang memindai kesalahan lain dari diri Sean.
Ia mulai menunjukkan sikap intimidatif, tubuh kecil Viona jelas tidak membuat Sean gentar namun Sean merasa kalau ia memang harus menjaga sikap di depan Viona sekarang.
"Sean …," balas asisten pribadi Bayu tersebut dengan nada antara malas meladeni tapi harus tetap menghadapi wanita itu.
"Baik, Sean. Tunjukkan mobilnya sekarang dan bawa aku pulang ke kediaman Perdana," perintah Viona lalu berjalan dengan angkuh melewati Sean.
Sementara Sean mendesah menyikapi sikap Viona yang seperti itu. Mau tidak mau, ia segera mengikuti Viona menyesuaikan langkah kakinya dengan Nyonya baru itu untuk membawanya ke mobil yang terparkir di depan rumah sakit.
***
Di gedung perkantoran Group Perdana, Bayu masuk ke dalam ruangan sambil membuka kancing kemeja putihnya yang dipakai acara akad tadi pagi. Ia melemparkan baju tersebut ke dalam tong sampah di samping meja kerjanya, lalu menyambar kemeja lain yang tergantung di balik lemari tumpukan file.
Kemudian menurunkan celana panjang yang dipakainya serta melepas sepasang kaus kaki, yang ia lemparkan juga ke dalam tong sampah. Setelah selesai berganti baju, ia duduk di kursi putar yang elegan. Tangannya memencet tombol pada pesawat telepon di bagian ujung meja kerjanya.
Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu diketuk dan sekretaris utama memasuki ruangan, tangan kanannya memegang cangkir kopi besar yang berpenutup sedangkan tangan kirinya membawa berkas yang telah disiapkan untuk ditandatangani oleh Bayu.
Sekretaris utama bernama Kartika yang biasa dipanggil Tika itu membelalak melihat ke arah tong sampah berwarna abu gelap sambil berkata dengan sopan, "Selamat pagi, Pak. Ini kopi dan berkas yang harus ditanda tangani. Apa mau dibacakan jadwal hari ini?" tanya Tika sambil terus melirik ke arah tong sampah.
"Buang segera baju itu. Bacakan jadwal sekarang! Semakin sibuk semakin bagus!" tegas Bayu dengan sikap dingin yang mengintimidasi.
Bukan Kartika namanya jika harus gemetar menghadapi kondisi Bayu dalam keadaan apapun. Ia sudah cukup mengenal lelaki itu selama lima tahun menjadi sekretarisnya.
"Baik, Pak." Tika mengambil buku kecil dari saku jasnya lalu membuka pemisah kertas yang berwarna kuning.
"Pukul sebelas perwakilan dari Samudera minta waktu tiga puluh menit." Tika melirik Bayu menunggu jawaban langsung.
"Ya," sahut Bayu. Tika pun menandainya.
"Lunch meeting di hotel Permata dengan Inti jaya."
"Ya."
"Pukul dua rapat internal."
"Ya."
"Pukul empat ke lokasi pameran Jewel."
"Ya."
"Dinner meeting di lokasi Biyan grup."
"Ya."
"Selesai," ucap Tika yang merasa heran karena semua jadwal hari itu disetujui semua oleh Bayu, tidak seperti biasanya, Bayu sangat pemilih mana yang ingin dilaksanakan sendiri olehnya mana yang harus diwakili oleh Sean atau Tika.
Tika berdiri mematung, ia tampak rahu-ragu untuk berlalu dari hadapan Bayu. Hingga Bayu merasa aneh dan menegur, "Ada lagi?"
"Hm, anu, Pak. Selamat atas pernikahannya, Pak Bayu, semoga langgeng dan Samawa," ujar Tika sambil sedikit membungkuk.
Seketika Bayu melongo, menatap dengan heran. Bagaimana bisa sekretarisnya mengetahui pernikahannya pagi tadi dengan Viona?
"Informasi dari mana itu?" tanya Bayu dengan nada tidak suka.
"Beberapa orang membicarakannya, tapi saya belum tahu secara pasti dari mana kabar itu berasal," sahut Tika dengan jujur.
"Shit!" maki Bayu pada keadaan yang dianggap memalukan bagi dirinya itu. Bagaimana bisa ada orang yang tahu? Sangat mustahil tanpa ada yang membocorkannya.
"Ingat, Jangan pernah terima perempuan itu masuk ke kantor saya! Camkan itu!" titah Bayu dengan tegas.
"Baik, Pak," sahut Tika terkejut. Pernikahan model apa kalau seorang suami begitu marah dan melarang istrinya datang ke ruangannya.
"Ke luar!" perintah Bayu pada Tika.
Dengan cepat ia berpikir, apa mungkin kebocoran informasi berasal dari butiknya sendiri? Tapi rasanya tidak mungkin atau sangat mungkin tahu jadwal pernikahannya? Bayu memijat keningnya yang tiba-tiba terasa berdenyut-denyut.
"Ah sial!" rutuknya dengan keras. Ia harus mencari tau siapa pembocor rahasia itu.
Bayu segera merogoh telepon genggam dari dalam saku celananya dan menghubungi asisten pribadinya. Sean pun mengangkat panggilan telepon dari bosnya setelah dering kedua.
"Halo, Pak?"
"Segera cari tau siapa yang membocorkan perihal perkawinan keparat tadi pagi," ujar Bayu berapi-api.
"Nyonya, eh, Ibu Viona sendiri yang mengabarinya ke kantor, Pak," jawab Sean.
"Apa?! Keparat itu cari gara-gara rupanya, cepat hubungi pihak divisi komunikasi dan media di kantor, sangkal berita itu dan katakan kalau rumours sengaja dihembuskan dengan tujuan tertentu. Sekarang!" teriak Bayu dengan kemarahan yang membuat kepalanya terus berdenyut.
"Siap, Pak!" jawab Sean dengan tegas.
"Di mana perempuan gila itu sekarang? Suruh orang mengawasinya dua puluh empat jam, laporkan tiap satu jam!" perintah Bayu dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah.
"Bu Viona sudah di rumah, Pak. Saya segera sampai kantor," jawab Sean.
Bayu memutuskan sambungan telepon. Detik berikutnya telepon berdering, tampak di layar satu kata 'Home' berkedip-kedip.
"Ya?!"
"Pak, ini ada tamu yang ngaku istri Bapak dengan pakaian pengantin, memaksa ingin masuk ke kamar Bapak," lapor kepala asisten rumah tangga. Wanita berusia awal lima puluh tahunan yang telah bekerja di keluarga Perdana selama tiga puluh tahun dan yang memegang seluruh akses di rumah tersebut.
Bayu menekan-nekan pelipisnya. Dunianya seakan-akan sedang runtuh berantakan hanya karena keinginan ibunya agar Bayu memiliki seorang istri.
"Beri dia kamar tamu yang paling kecil di lantai bawah. Katakan padanya kalau ini adalah perintah saya yang tidak bisa dibantah! Jangan pernah buka akses ke kamar saya maupun ke kamar ibu saya, ke ruang kerja dan ruang pustaka juga ruang santai saya, Paham?!" tegas Bayu pada si penelepon yang dipanggil Bik Minah olehnya.
Terdengar suara Viona di latar belakang. Suara keras dengan intonasi marah sedang memarahi beberapa orang sekaligus.
"Heh! Kalian semua benar-benar tidak diajari bagaimana harus bersikap terhadap Nyonya di rumah ini? Tunggu saatnya, kalian akan saya pecat!"
Seketika Bayu merasa lemas. Wanita itu tidak bisa dibiarkan begitu saja rupanya. Ia benar-benar merajalela, tapi bersikap seolah-olah tidak merasa melakukan kesalahan apapun.