Chereads / Istri Muda Sultan / Chapter 3 - Tidak Ingin Mati Sebelum Kamu Menikah

Chapter 3 - Tidak Ingin Mati Sebelum Kamu Menikah

Dua minggu kemudian ….

Mariana yang selama tiga tahun terakhir, menyembunyikan sakit yang dideritanya, kedapatan pingsan setelah jatuh di kamar mandi. Peristiwa itu terjadi pada pagi hari, saat dirinya selesai mandi dan ditemukan oleh asisten rumah tangga yang setiap pagi mengantarkan susu murni ke kamarnya.

Bayu yang sedang bersiap-siap untuk sarapan pagi, terkejut mendengar teriakan dari kamar ibunya. "TOLONG! Mas, Bayu! Ibu jatuh dan pingsan!"

Sebagai keluarga, mereka hanya tinggal berdua saja di rumah besar itu. Sejak kematian ayahnya dua tahun lalu akibat serangan jantung. Rumah tersebut terasa ramai karena para asisten rumah tangga yang berjumlah enam orang serta kucing-kucing manja peliharaan ibunya yang berjumlah lima ekor.

Melompati beberapa anak tangga sekaligus, terdorong oleh rasa panik yang luar biasa, Bayu berpikir untuk segera berada di kamar ibunya sambil berencana memindahkan kamar Mariana ke lantai satu, karena usia yang semakin merambat tua, sering kali jatuh sakit.

Tanpa berpikir panjang, Bayu membopong tubuh ibunya sambil berteriak kepada pelayan yang menemukan Mariana pingsan, "Ambilkan selimut!" Seraya membawanya turun dan memasukkannya ke dalam mobil. "RUMAH SAKIT! CEPAT!" teriak Bayu kepada supir yang sedang memanaskan mobil.

Wanita itu masih belum sadarkan diri dalam pelukan Bayu. "Ma, bangun, Ma! Ma …, Mama!" Sia-sia ia memanggil ibunya yang pucat pasi dengan tubuh dingin. Bayu semakin panik. "CEPAT, PAK!" Serunya kepada supir.

Memasuki unit gawat darurat, lelaki itu menunggu dengan gelisah saat ibunya mulai diobservasi oleh tim dokter. Ia telah mendaftarkan Mariana ke ruang super VIP untuk perawatan lanjutan. Sampai sore hari, ia belum mendapatkan kabar apapun mengenai hasil serangkaian tes dan diagnosa akhir ibunya.

Pihak rumah sakit masih mengumpulkan data-data hasil tes laboratorium dan akan memanggil Bayu setelah semuanya lengkap agar diagnosanya akurat.

Dengan wajah yang lelah, Bayu terus memandangi Mariana sambil memegang tangannya. Ibunya telah siuman tapi tidak mengucapkan apa-apa. Ia hanya menatap putranya dengan sayu. Saat itu, Bayu menangkap ada rasa sakit yang sedang ditahan oleh Mariana, sebelum kelopak matanya kembali menutup.

"Pak Bayu? Bisa ikut saya ke ruang dokter?" ucap seorang perawat wanita yang berusia sekitar empat puluh tahun.

Bayu mengangguk sambil bangkit berdiri dari atas kursi dan secara perlahan, melepaskan genggaman tangannya dari wanita yang telah melahirkannya tiga puluh tahun yang lalu. Usia Mariana kini memasuki usia enam puluh tahun. Bayu berharap ibunya masih diberi umur panjang.

Kabar mengejutkan diterima oleh Bayu. Ternyata ibunya mengidap kanker atau tumor ganas yang sebenarnya sudah bercokol cukup lama. Parahnya, sel-sel kanker tersebut telah menyebar dari tempat semula tumbuh yaitu pada paru-parunya.

Dunia mendadak gelap bagi Bayu, hingga ia tidak sanggup lagi mendengar penuturan dokter mengenai rencana pengobatan Mariana. Lelaki itu tidak sadarkan diri. Ia tenggelam dalam trauma kematian. Keluarganya kini hanya tinggal Mariana satu-satunya dan kesadaran bahwa sang ibu tidak akan lama lagi meninggalkannya, membuat Bayu pingsan di hadapan dokter.

Hari-hari pun berlalu. Bayu tidak pernah tidur di rumahnya, ia setia menunggui Mariana di rumah sakit. Seorang anak lelaki yang sudah dewasa, merasa ketakutan melebihi rasa takut seorang anak kecil yang ditinggal oleh ibu tercinta.

Sayangnya, operasi pengangkatan tumor serta kemoterapi untuk menjinakkan sel-sel tumor di dalam tubuh Mariana, tidak bisa dilakukan karena fungsi ginjalnya pun telah terganggu. Dokter mengatakan kepada Bayu agar banyak berdoa dan harus membuat Mariana merasa bahagia dalam melewati hari-hari terakhirnya.

Setiap hari, Bayu menerima tamu-tamu yang silih berganti menjenguk Mariana. Mulai dari kerabat dekat, sahabat, teman sampai karyawan. Berat badan Bayu mulai menyusut, ia tidak lagi mempedulikan pekerjaannya yang telah didelegasikan kepada salah seorang kepercayaan Bayu di kantornya.

Suatu hari yang terasa aneh di mata Bayu, Mariana kedatangan teman lama yang samar-samar diingatnya. Sebuah keluarga yang menjadi tetangganya sewaktu mereka masih tinggal di kota Bandung. Ya, keluarga Wicaksono, memiliki tiga orang anak yang masih kecil-kecil waktu keluarga Bayu pindah ke kota Jakarta. Sejak saat itu, dia tidak pernah melihat keluarga Wicaksono lagi.

Anehnya, Mariana meminta Bayu meninggalkan ruang rawat inap karena ibunya hanya ingin berbicara dengan Pak Wicaksono beserta istri. Dengan berat hati, Bayu pun meninggalkan kamar tersebut dan ia menuju kantin rumah sakit, menunggu sambil memesan kopi dan kue-kue ringan.

Malamnya, saat Bayu bersiap untuk tidur di sofa bed yang disediakan oleh pihak rumah sakit, Mariana memberitahukan sesuatu yang mengejutkan.

"Bayu, jangan sedih kalau mama pergi karena itu yang terbaik. Kamu tahu kan kalau kehendak Tuhan pasti yang terbaik buat siapapun." Mariana menghela napas berat.

Anak semata wayang itu tahu kalau ibunya selalu kelelahan saat berbicara. Kondisi fisiknya terus menurun dari hari ke hari.

"Tapi … mama belum mau pulang ke hadapan Tuhan sebelum melihat kamu menikahi seseorang. Mama ingin pergi dengan senyum, bukan pergi dengan kecewa," lanjut Mariana.

"Ma, jangan mikir yang aneh-aneh deh. Mama pasti sembuh kok, Aku berusaha yang terbaik untuk kesembuhan Mama," sergah Bayu dengan nada lembut.

"Besok, bu Wicak akan kesini lagi membawa putrinya yang baru saja diwisuda di Australia. Mereka setuju untuk menikahkan putrinya denganmu, Bayu. Mau nunggu apa lagi? Kamu sudah tiga puluh tahun, kamu harus segera mempunyai keluarga sendiri dengan anak-anak yang lucu." Mariana melirik Bayu dan melihat kalau anaknya akan berbicara untuk menentang dirinya.

"Ssst … jangan membantah mama kali ini. Mama ingin kamu punya keluarga. Titik. Hidup bersendiri itu sangat tidak disarankan. Menikah adalah ibadah, Bayu. Kamu tega membuat mama sedih?" Mariana mulai tersengal-sengal. Ia merasa capai kalau berbicara panjang-panjang.

"Ma, tenang, Ma. Udah, jangan bicara apa-apa lagi. Iya, iya, aku nurut Mama, apa kata Mama aku ikut," ucap Bayu dengan perasaan sangat khawatir.

Senyum tipis merenda wajah Mariana seraya mengatupkan kedua matanya. Ia merasa lelah dan ingin istirahat tapi hatinya merasa lega karena akhirnya, putra yang bandel itu, mau menuruti permintaannya. Malam tersebut, Mariana bisa tidur tenang dengan membawa suka cita di hatinya.

Berbanding terbalik dengan Bayu. Ia tidak sungguh-sungguh ingin mengikuti keinginan Mariana yang akan menjodohkannya dengan putri Wicaksono yang sama sekali tidak dikenalnya. 'Tapi, kalau tidak dijawab seperti itu, mungkinkah Mama bisa tidur sambil tersenyum?' batin Bayu dengan nelangsa.

Keesokan harinya, Bayu sengaja tidak mau mandi, tidak mau cuci muka, bahkan menolak untuk gosok gigi. Baju yang dikenakannya adalah baju kemarin yang pastinya sudah lecek dan sedikit berbau. Namun, ia tidak peduli, yang direncanakannya adalah berpenampilan sekusut dan sekumal mungkin dengan jambang dan kumis yang berantakan, begitupun rambutnya, dengan harapan, siapapun wanita yang melihatnya akan merasa jijik.

Mariana terheran-heran melihat penampilan putranya yang amburadul, terlebih tampak kurus karena stress memikirkan dirinya. "Nak, kenapa kamu sangat tidak rapi seperti itu? Mandilah sana," tegur Mariana merasa tidak senang.

"Malas ah, Ma. Lagi gak enak badan juga," bantah Bayu berbohong.

"Hm … katanya mau nurut apa kata mama. Sengaja kan kamu biar terlihat jelek di mata Viona?" Mariana mendengus sebal.

"Siapa lagi Viona?" Bayu pura-pura tidak paham.

"Putrinya Wicaksono, namanya Viona. Nanti mau datang diantar ibunya," terang Mariana sambil melirik kesal pada Bayu.

"Oh, itu toh? Heh, kalau cewek sih pasti mau mau aja, biar tampang jelek juga. Apalagi berduit kaya kita, Ma," ucap Bayu kasar setengah meledek. Ia merasa yakin, secantik apapun akan mau dijodohkan dengan dirinya karena ia sadar, ketampanan yang dimilikinya tidak ada apa-apanya dibanding kekayaan yang dia punya.

"Jangan sombong, Nak. Tidak semua perempuan mata duitan," timpal Mariana.

Bayu mendengus. "Huh, lagian, mana ada sih cewek yang mau hidup susah, Ma?" Bayu melengos sambil merebahkan dirinya kembali ke atas sofa bed. Lelaki itu pun memilih untuk tidur daripada berdebat terus dengan ibunya.