Prang...
Prang..
Prang..
Suara pecahan benda pecah belah terdengar di luar rumah keluarga Ali. Sarji dan Iin yang masih tertidur pulas, langsung beranjak bangun dan panik, "suara apa itu, Mak?" ucap Sarji panik, "gak tahu, Beh. Ayok periksa!" ajak Iin yang sudah berjalan ke luar kamarnya.
"Ada apa sih, Mak?" Iin terkejut, baru saja ia keluar kamar, Adel sudah mencercanya, "Mak juga gak tahu. Ini mau Emak lihat," sahut Iin yang sudah berjalan ke luar rumahnya.
Sarji, Adel mengikuti langkah mereka, kemudian Aji keluar dari kamarnya, "ada apa, Beh?" teriak Aji, tapi Sarji dan Adel mengabaikan teriakan Aji.
"AAAaaa..." Iin berteriak sekencang-kencangnya.
Sarji, Adel dan Aji yang baru saja keluar rumah ikut terkejut, "ALI..." pekik Sarji emosi.
Ali sedang berlatih, menguji kemampuan memanahnya agar ia yakin kemampuan memanah Nyi Ayu menguasai tubuh Ali. Ali memanah semua pot yang ada di teras rumah Iin hingga hancur lebur.
"Ada apa? Ada yang salah kah?" tanya Ali memasang wajah tak bersalah saat menatap wajah keluarganya menatapnya penuh emosi, apalagi tatapan Iin dan Sarji seperti tatapan malaikat maut.
Aji menghampiri Ali, menepuk pundak Ali sekuat tenaganya, plakkk...
"Aaarggghhh.. sakit bodoh!" umpat Ali kesal, ia mengusap pundaknya.
"Kenapa lu pecahin pot bunganya, Bang?" geram Aji menunjuk pot-pot yang terbuat dari keramik, "aku sedang latihan," sentak Ali seraya menunjukan busur panah di tangan kirinya.
"Jadi lu jadiin pot bunga punya Emak jadi target panahan lu?" wajah Iin terlihat berapi-api. Ali melongo heran tak mengerti tatapan amarah Iin, "aku buat salah, yah?" tanya Ali polos, menoleh pada Aji.
Aji menjadi salah tingkah, ia kesal dan merasakan emosi Iin. Tapi Aji juga mengerti tatapan polos Ali, "Mak ke dalam aja, biar gua yang tanganin Bang Ali," usul Aji menenangkan Iin.
Sarji dan Adel yang mengerti usulan Aji langsung membawa Iin ke dalam rumah, "ingat ya, Ji. Suruh Ali ganti semuanya! Emak gak mau tahu," tegas Iin emosi, kemudian ia berjalan lemas menahan air matanya agar tak jatuh, "udah-udah kita masuk aja."
Ali melongo heran, "kenapa wajah Emak seperti sedang marah? Emak marah dengan siapa?" Aji terlihat emosi mendengar pertanyaan Ali, "Emak itu marah sama lu." Sentak Aji penuh emosi.
"Kenapa?" tanya Ali yang masih tak menyadari kesalahannya.
Aji mengacak-ngacak rambutnya. Nyawanya saja belum pulih dari ia bangun tidur tadi, kini dibuat emosi oleh jiwa yang bersemayang dalam tubuh Ali, "Nyi Ayu. Lu bisa gak sih, gak bikin masalah," suara Aji melemas, bahkan Aji hampir meneteskan air matanya.
"Aaa.. apa aku berbuat salah lagi?" tanya Ali kebingungan karena tak bisa melihat kesalahannya, "lihat tuh potnya hancur." Bentak Aji mengagetkan Ali.
Mata Ali menerawang pot-pot yang ia hancurkan, "padahal aku hanya ingin latihan. Melatih kemampuan memanahku," ucap Ali pelan menyadari kesalahannya, "kenapa harus pot bunga?" bentak Aji yang tak bisa mengendalikan kekesalannya.
"Kamu tahu kan, sewaktu aku menyadari sudah berada dalam tubuh Ali. Aku memanah pot bunga dengan tepat. Makanya aku mencoba lagi dengan pot bunga," suara Ali melemas dan menundukan pandangannya.
"Pot bunga ini mahal, Bang. Emak dan Babeh yang mengoleksinya. Sekarang gimana coba?" Aji terus membentak Ali, padahal dulu ia tak berani membentak kakaknya itu, "aku akan memperbaikinya," sahut Ali semangat.
Tangan Ali meraih pot bunga paling dekat dengan dirinya. Meraih pecahanannya dan mencoba menyatukannya. Baru saja Ali mencoba menyatukannya, tangan Ali langsung melemas menyadari kesalahannya, "gak bisa kan?" nyinyir Aji kesal.
"Gimana dong Li?" Ali menatap Aji meminta belas kasihan Aji, "gak tahu!" ketus Aji seraya memalingkan wajahnya dari Ali.
Aji melangkah ke dalam rumah. Ali pun mengikuti langkah Aji dengan perasaan was-was. Hatinya menggerutu kabodohannya dan berjalan menunduk.
"ALI..." Langkah Ali terhenti menyadari suara Iin memanggilnya.
Ali mengahadap ke arah suara tetapi ia tak berani mengangkat pandangannya, "pokonya, Emak gak mau tahu yah. Lu harus ganti semuanya!" tegas Iin emosi, "baik, Mak." Sahut Ali lemas.
**
Ali masih terkulai lemas di kamarnya, memikirkan cara agar ia mendapatkan uang. Tak lama ia turun dari kamarnya yang berada di loteng, karena Sarji membuat kamar khusus buat Ali. Ali tak ingin 1 kamar dengan Aji karena jiwa Ali adalah seorang perempuan.
"Aji, bagaimana caranya aku mendapatkan uang?" tanya Ali setelah di dalam kamar Aji, melihat Aji yang sudah rapi bersiap berangkat ke kampus, "cari kerjalah, Bang." Sahut Aji ketus.
"Maafkan aku Aji. Tapi kamu jangan marah dong. Kalau kamu marah, siapa yang membantu aku." ucap Ali sedih.
Aji menoleh dan memandangi wajah Ali. Ia menyadari kalau sekarang kakaknya tidak bisa dibiarkan sendirian. Ali tidak salah, ia hanya belum bisa menyesuaikan kehidupannya yang sekarang, "iya Bang, gua maafin. Tapi lu harus janji," Ali mengulum senyum mendengar ucapan Aji, "baiklah, apapun itu, aku akan berjanji." Sahut Ali bersemangat.
"Lu harus kasih tahu ke gua, semua yang akan lu lakuin! Biar lu gak salah terus, dan bikin orang emosi." Tegas Aji, "baiklah. Aku mengerti. Aku akan lebih hati-hati." Jawab Ali langsung.
Aji terlihat berpikir, mencari cara agar Ali bisa mendapatkan uang. Aji tahu kalau Iin masih marah pada Ali, "lu diam di sini dulu. Gua nyoba jelasin ke Emak, biar Emak gak marah dan gak nyuruh lu ganti pot bunganya," pinta Aji berencana menjelaskan alasan Ali.
Aji terhenti saat ia hendak membuka pintu kamar tidurnya. Aji merasakan saku celanana bergetar dan diikuti bunyi pesan masuk, ting..
Aji memebuka pesan di ponselnya. Matanya terbelalak terkejut, lalu berbalik dan menatap Ali yang terduduk lemas berandar di dinding kamarnya, "Bang, maksud gua Nyi Ayu. Kemampuan memanahmu bagus kan?" tanya Aji memastikan.
Ali mengangguk lemas, "pot-pot itu hancur karena aku anak panah yang aku lontarkan," jelas Ali menyesal.
Pandangan Aji tertuju pada buah mangga yang jauh di luar jendela rumahnya. Aji langsung membuka jendela kamar itu. Terlihat jelas buah mangga itu terayun-ayun dari kejauhan diterpa angin, "Bang, lu bisa menembak buah mangga itu gak, dari sini." Suara Aji bersemangat menunjuk buah mangga itu yang berada jauh di luar, "coba lu panah buah mangga itu!"
"Aji, katanya kamu membantu berbicara dengan Emak, kenapa menyuruhku memanah lagi," sahut Ali lemas, "katanya lu mau dapat duit biar bisa ganti pot punya Emak." Ucap Aji dengan suara bersemangat.
Ali langsung bangkit mendengar ucapan Aji, "benarkah, Bagaimana caranya?" kedua netra Ali terlihat berbinar-binar, "mana yang harus aku panah?" Ali meraih busur panah dan anak panahnya.
"Lu bisa lihat buah mangga itu?" tunjuk Aji pada buah mangga yang jaraknya lumayan jauh, mungkin berjarak sekitar 10 meter. Ali sampai menyipitkan matanya, agar bisa melihat jelas, "aku harus memanahnya?" tanya Ali meyakinkan.
"Coba dulu. Gua mau lihat kemampuan memanah lu, Bang. Kalau berhasil, gua kasih tahu caranya lu bisa dapat duit." Jelas Aji yakin.
Ali terlihat berpikir karena jaraknya cukup jauh, "bisa gak?"