Begitu membuka pintu rumah itu, Andrea dan Alan sudah melihat Mang Asep yang sedang membersihkan halaman depan. Dengan langkah yang cepat, keduanya menghampiri lelaki paruh baya yang bertugas menjaga vila itu.
"Selamat pagi, Mang Asep." sapa Andrea dengan wajah yang ramah.
"Pagi juga, Neng. Ada yang bisa saya bantu?" Mang Asep seolah menyadari ada yang tidak beres dengan tatapan kedua orang itu.
Alan langsung mendekatkan dirinya pada Mang Asep lalu berucap pelan. "Begini, Mang Asep. Pintu kamar mandi di dalam telah rusak. Saat subuh tadi, salah satu teman kami terkunci di dalam kamar mandi jadi kami mendobraknya," jelasnya.
"Benar, Mang Asep. Jadi kami mau minta tolong agar pintu bisa diperbaiki secepatnya," sahut Andrea lagi pada lelaki paruh baya yang seakan langsung mengerti dengan ucapan mereka berdua.
Mang Asep terlihat berpikir sebentar lalu menatap mereka berdua dalam tatapan aneh yang sulit diartikan. "Setelah selesai menyapu halaman, saya akan langsung memperbaiki pintu kamar mandi, Non," balas lelaki paruh baya itu.
Alan dan Andrea pun berniat untuk kembali ke dalam rumah. Namun pemandangan pagi yang cukup indah dengan cahaya mentari yang hangat berhasil menahan Alan untuk tetap di sana.
"Rea! Tidakkah pagi ini sangat indah? Kenapa kita tak berenang saja?" ajak Alan dengan wajah berbinar memandang kolam renang yang cukup luas dengan air yang sangat jernih. Rasanya Alan sudah tidak sabar untuk segera menenggelamkan dirinya di kolam itu.
Andrea menarik tangan Alan dan memaksanya untuk kembali ke dalam. Dia tak akan membiarkan Alan berenang sendirian di pagi itu. Meskipun udara sangat cerah, semua penghuni vila itu tak akan tahu apa saja yang mungkin terjadi.
"Kalau mau berenang, ajak yang lain juga. Jangan sampai kamu bersenang-senang sendirian di sana." Andrea sengaja tak membiarkan Alan sendirian berada di sana. Sebisa mungkin, mereka harus selalu bersama.
"Baiklah! Ayo kita berenang bersama sembari menikmati hangatnya mentari pagi." Alan langsung berlari masuk untuk memanggil teman-temannya yang lain. Dia sudah tak sabar untuk menikmati segarnya air pegunungan yang terlihat menggiurkan baginya.
Belum sempat masuk ke kamarnya, Alan bertemu Kina dan Felicia yang keluar dari kamar itu dengan wajah kesal.
"Ada apa dengan muka kalian? Kayak jemuran belum kering aja," ledek Alan pada dua cewek yang berdiri dengan wajah kesal. Lelaki itu terkekeh dengan ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh kedua temannya itu.
"Temen Lo itu bikin kesel aja. Orang tidur kaya orang mati, susah amat banguninnya," gerutu Kina yang masih berdiri di samping Felicia.
Alan langsung mengerti dengan kekesalan mereka, ia sangat tau jika teman-teman itu memang susah kalau dibangunkan. "Udah ... biar gue aja yang bangunin mereka. Kalian belajar saja memasak, hitung-hitung belajar menjadi istri yang baik," goda Alan sembari melirik Kina.
"Ihhh ... dasar!" balas Kina dan Felicia hampir bersamaan.
Alan kemudian masuk ke dalam kamarnya, ia pun langsung menarik Ryan, Leo dan juga Alvin yang masih tertidur di atas ranjang. Dengan sedikit kasar, Alan menarik temannya itu satu persatu hingga hampir terjatuh ke lantai.
"Woyyy! Bangun udah siang, Bro!" Alan kembali menarik Leo hingga benar-benar terjatuh ke lantai.
"Apa-apaan sih, Lo! Ganggu tidur gue aja!" protes Leo dalam mata yang masih setengah terpejam karena masih sangat mengantuk. Bukannya tak suka berenang, udara dingin di pagi hari membuat mereka malas untuk keluar dari kamar.
Mendengar keributan di dalam kamar itu, Alvin langsung membuka mata lalu mengambil kacamatanya. Lelaki itu tak akan bisa melihat dengan jelas jika tak memakai kacamata kesayangannya.
"Lo mau ngajakin kemana tadi, Lan?" tanya Alvin pada sosok lelaki yang sudah berdiri dengan pakaian untuk berenang. Dia juga mendengar samar-samar ajakan Alan namun tak terlalu jelas di telinganya.
"Gue ngajakin kalian berenang ... mumpung cuaca lagi bagus. Bisa berenang sambil lihat pemandangan gunung yang sangat indah." Alan menjelaskan hal itu dengan sangat antusias. Seolah dia sudah tak sabar untuk melemparkan ketiga temannya itu ke dalam kolam.
Alvin terdiam sebentar sambil memikirkan ucapan Alan kepadanya. "Gunung yang indah? Gunung yang mana maksud, Lo?" Sebuah pukulan pelan langsung mendarat di pundak Alvin. Alan sengaja melakukannya karena otak Alvin yang berpikiran kotor.
"Woyyy! Penampilan Lo aja cupu, otak tetep aja mesum. Lo pikir gunung itu apaan? Gunung kembar?" ledek Alan sambil berusaha membangunkan Ryan yang sejak tadi masih terlelap.
"Emang Lo ga mesum juga apa? Video dewasa di laptop aja, sampai full memory kayak gitu." Alvin merasa tak suka saat dirinya dikatakan mesum Alan. Padahal dia sangat tahu, seberapa mesum teman-temannya itu.
Cibiran sengit di antara mereka berdua, langsung membangunkan Ryan dan juga Leo. Kedua orang itu langsung saling melemparkan tatapan penuh tanda tanya besar. Rasanya Ryan sudah tak tahan mendengarkan ocehan kedua temannya itu.
"Daripada ribut di sini, mending adu kecepatan sana di dalam kolam. Biar ketahuan tuh siapa yang paling mesum!" Ryan terlihat kesal dengan kelakuan kedua temannya itu. Dia langsung mengganti pakaiannya dengan celana pendek yang biasa dipakainya untuk berenang.
"Ngapain masih pada di situ? Ayo ke kolam," ajak Ryan pada mereka semua.
"Tunjukan! Siapa yang paling mesum di antara kita?" Ryan menarik tangan Leo yang masih mengumpulkan nyawanya setelah terbangun karena keributan yang diciptakannya oleh Alan dan juga Alvin.
"Ryan tunggu! Gue ganti baju dulu." Leo berusaha untuk menghentikan Ryan yang sengaja menari tangannya. Namun tetep saja, tak dilepaskan hingga sampai ke kolam renang. Leo hanya bisa pasrah tanpa mampu memberikan perlawanan pada cengkeraman kuat tangan Ryan.
Sampai di kolam renang, Alvin menatap satu persatu di antara mereka. Seolah sedang memercikan sebuah perasaan yang memaksa dirinya untuk menolak tuduhan mesum yang dilontarkan Alan saat di kamar.
"Lo kenapa, Vin? Udah gatel pingin dapat predikat mesum?" sindir Alan pada salah satu dari mereka.
"Tak usah berdebat lagi! Tunjukan sana kemampuan kalian dalam berenang. Itu sudah cukup untuk membuktikan kemampuan kalian," ucap Ryan dengan wajah dingin dan tanpa ekspresi apapun. "Di mana Azzam? Ajak dia ke sini sekalian." Ryan sama sekali tak tahu dengan kejadian yang baru saja terjadi dengan Likha. Alan juga belum mengatakan hal itu kepadanya.
"Apa pagi-pagi mereka berdua sudah bermesraan?" Ryan mengatakannya sambil senyum-senyum mengingat tingkah menggemaskan pasangan itu.
Leo yang sejak tadi terdiam, mendapatkan sinyal aneh dari ekspresi wajah Ryan. Dia merasa ada hal aneh yang diperlihatkan oleh temannya itu. "Apa lo sedang cemburu, Ryan?" tanyanya.
"Apa! Cemburu? Gila, Lo! Lo pikir gue kekurangan stok perempuan ... ga ada dalam kamus gue. Lo tau sendiri banyak yang ngantri buat jadi pacar gue." Ryan mengatakan hal itu dengan sangat percaya diri. Meskipun yang dikatakannya memang benar, namun tak ada yang tahu alasan Ryan selalu menolak para perempuan yang mendekatinya.
"Iya-iya, gue percaya kok. Siapa yang ga kenal dengan Ryan Fernandez?" Alan langsung terkekeh mengatakan hal itu. Dia sangat tahu siapa itu Ryan. Berdebat dengannya pun bakalan percuma.
"Sepertinya akan sangat menyenangkan jika cewek-cewek di dalam sana juga ikut berenang bersama kita," cetus Alvin dalam sorotan mata yang sudah berbinar membayangkan berenang bersama perempuan-perempuan.
Leo yang mendengar perkataan Alvin, langsung melemparkan kaos yang baru saja dilepaskannya ke wajah Alvin. Dia merasa jika temannya yang satu itu terlalu vulgar. "Cihh ... dasar!" cibirnya.