Pernikahan antara Rania dan Rafli memang tidak berdasarkan saling cinta, akan tetapi cinta Rafli tersembunyi rapi di balik hatinya.
"Tidur lah Rania jangan menangis terus, untuk apa kamu memikirkan Reyhan yang hilang bak ditelan bumi itu, dia mungkin memang bukan jodohmu, kamu yang ikhlas dan sabar. Rania meskipun kita nikah diatas kertas aku boleh tidak minta jatah malam pertama," ujar Rafli menggoda Rania sambil mencubit pipi gadis cantik itu.
"Rafli!" Rania memukuli laki-laki di depannya dengan bantal guling.
"Kok, ngambek kita kan sudah sah jadi suami istri, jadi wajar dong kalau minta anu, hehe …." Rafli terus menggoda Rania hingga dia menjadi tertawa geli.
"Kamu ini yah, sengaja bercanda kan? Lagian malam pertama itu untuk pengantin yang saling mencintai, sedang kita seperti kakak adik, bagaimana bisa jadi pengantin, ternyata untuk menghindari rasa malu, ini sama saja menyiksaku dan keluargaku, tetangga tetap saja bermulut jahat." Rania meletakan kedua tangannya di lutut.
"Jangan dengarkan apapun perkataan orang lain jika itu buruk, ini hidupmu kamu berhak bahagia, tidur lah!" Rafli menyuruh Rania untuk tidur segera.
Malam pertama tetap akan jadi malam pertama, tidak mungkin berubah jadi malam kedua, ketiga, keempat, malam pertama akan berlalu begitu saja tanpa ada kesan istimewa, Rafli memilih tidur di sofa, sedang Rania di atas kasur yang empuk, mereka tidak mungkin tidur satu kasur dalam ikatan palsu.
"Selamat tidur sahabatku Rania," kata Rafli sebelum tidur.
"Selamat tidur sahabat sekaligus kakak Rafli semoga kamu mimpi indah," sahut Rania.
Malam terasa begitu lama, Rafli tidak mampu mengenakkan mata, apakah dia harus bahagia ataukah dia harus bersedih? Disisi lain hatinya merasakan bahagia bisa menjadi suami dari gadis yang ia cintai, tapi disisi lain ia merasa sedih karena Rania hanya mencintai Reyhan calon suami sesungguhnya yang hilang bak ditelan bumi itu, awas saja akan kuhajar dia jika ada kesempatan bertemu, Rafli sangat marah ke Reyhan karena berani menyakiti hati Rania wanita yang paling ia sayang.
"Ya, ampun rasanya gerah sekali," kata Rafli sembari membuka bajunya.
"Iya, gerah," ujar Rania dia pun ikut melepaskan pakaiannya.
"Rania jangan buka baju di depanku," pekik Rafli seperti malu sendiri.
"Kamu kenapa? Gak masalah kali, ah kita kan suami istri," ujar Rania tertawa terbahak-bahak melihat expresi wajah Rafli yang malu itu.
"Rania meskipun kita suami istri, tapi kan hanya diatas kertas dan kamu meminta kita harus bercerai setelah tiga bulan menikah, betul kan begitu?" ujar Rafli menjelaskan.
"Iya, betul sekali," kata Rania.
"Jadi tolong jangan bertingkah yang bisa membuatku jadi khilaf ya, bagaimana jika nafsuku menggebu melihat tubuh indahmu yang seksi, jangan buka bajumu!" pekiknya.
"Aduh, tapi aku gerah Rafli, siapa suruh mati lampu malam-malam kan jadi gerah," gumam Rania sembari nekad membuka bajunya.
Rafli berteriak tapi Rania tidak memperdulikan, lalu ia menutup matanya.
"Kenapa menutup mata?" tanya Rania mendekati Rafli di atas sofa.
"Rania menyingkir dariku, tapi aku tidak tahan!" pekiknya.
"Tidak tahan untuk apa?" Rania meniup daun telinga Rafli dan itu membuat laki-laki berhidung mancung itu jadi merinding.
"Rania ada apa dengan kamu? Mengapa jadi agresif, kepala kamu habis kepentok ya di kamar mandi?" tanya Rafli yang masih menutup mata, jantungnya berdebar tak beraturan, keringat dingin mengucur di tubuhnya, entah apa yang harus diperbuat, ia hanya bisa diam dan pasrah.
"Aku tiba-tiba berubah pikiran Rafli, apa salahnya jika kita merasakan kehangatan, kenikmatan dunia fana ini," ujar Rania berbisik di daun telinga Rafli.
Rafli semakin tak kuasa menahan diri, jari-jari mencengkram pundak Rania, lalu mendekapnya dengan penuh cinta dan mesra.
"Aku sayang kamu Rania," ujar Rafli.
"Aku juga sayang kamu Rafli," kata Rania.
Mereka saling tatapan kedua napas saling bertabrakan, sedikit lagi kedua bibir akan beradu, tapi tiba-tiba gempa bumi.
"Aduh?" pekik Rafli memegangi kepalanya yang terjatuh dari sofa.
"Astaghfirullah, tadi ternyata cuma mimpi, lagi pula mana mungkin Rania jadi segenit itu, mimpi yang sangat indah, i love you Rania," gumam Rafli lirih.
***
Keesokan harinya ….
"Aku akan kembali ke Jogjakarta untuk menyelesaikan pendidikanku, apa kamu mau ikut kesana bersamaku?" tanya Rafli mengajak Rania di depan semua orang.
"Harus dong, kalian suami istri jadi kemanapun harus bersama apalagi pengantin baru kan? Apa kata orang jika kalian terpisah jarak, ayah dan ibu kasih izin Rania untuk ikut kemanapun Rafli pergi."
"Iya, Rania menurut saja," kata Rania singkat.
"Nenek minta oleh-oleh ya, jika kalian ke Jogja tolong belikan baju batik yang bagus-bagus dan juga belikan makanan yang enak-enak khas daerah sana, ok?"
Nenek yang ompong giginya tinggal dua ia tertawa gembira padahal hanya meminta oleh-oleh dan belum dibelikan.
"Siap Nek, pasti nanti Rafli belikan," kata cucu menantu dengan penuh semangat.
Rafli membawa mobil pribadi milik ayah Rania, katanya biar bisa lebih menikmati perjalanan berdua, tapi sebenarnya lumayan, jadi lebih hemat ongkos.
Rafli mengatur rencana untuk membuat Rania jadi gembira, wajah Rania masih murung seolah gairah hidupnya telah tiada.
"Rania, kamu tubuhnya di sini, tapi pikirannya melayang dan hati kamu entah kemana? Ayolah bangkit, hidup terlalu berharga jika terus bersedih, aku tahu kesedihanmu, tapi aku lebih suka Rania yang ceria, Rania yang pantang menyerah, kembalikan sahabatku yang seperti itu!" Rafli menarik hidung Rania.
"Mungkin sahabat kamu yang seperti itu sudah mati, Rafli!"
"Pasti sahabatku itu sedang tidur dan bermimpi buruk, nanti jika ia sudah terbangun akan kembali seperti sediakala, ceria. Rania kamu mau melakukan apa di Jogjakarta nanti? Kos-kosan aku kecil, jelek, dan sempit, jangan protes ya?" jelas Rafli.
Sepanjang perjalanan Rafli berusaha mengajak ngobrol Rania agar ia melupakan kesedihannya, entah butuh waktu berapa lama untuk menyembuhkan luka di hati Rania, mungkin butuh waktu seumur hidup dan mungkin juga ia tidak percaya lagi akan cinta.
"Rania seandainya aku cinta sama kamu lebih dari seorang sahabat gimana?"
"Masa? Itu tidak mungkin, lagian kamu seperti kakak aku sendiri, dan dulu kamu pernah naksir dengan Kanaya kan?"
"Iya, dulu aku pernah naksir Kanaya tapi ditolak, saat itu aku sangat sedih dan kamu selalu menghiburku, pada akhirnya aku bisa move on dari Kanaya."
"Cinta pertama susah untuk dilupakan, kamu tahu tidak jika Kanaya sudah putus dengan Revan, jadi kamu punya kesempatan mendapatkan cinta Kanaya setelah jadi duda nanti," kata Rania.
"Kanaya tidak mungkin mau sama aku terlebih statusnya duda diceraikan istri, pasti dia mengira aku laki-laki buruk," kata Rafli menggaruk rambutnya.
"Kamu laki-laki yang sangat baik dan berhak untuk dicintai oleh orang yang kamu cintai juga, oleh sebab itu aku menceraikan kamu agar bisa bahagia dan mendapatkan gadis yang dicintai, apa itu salah?" ujar Rania.
Perjalanan berjalan dengan lancar keduanya saling menghargai dan saling menghormati, sampai detik ini Rafli belum berani mengatakan isi hatinya, dan ia pun sangat takut jika cintanya ditolak oleh Rania. Terlebih Rania selalu mengira Rafli masih mencintai Kanaya cinta pertamanya itu.