Pada suatu malam di sebuah laut luas. Hujan lebat dan gelombang ganas mengombang-ambingkan sebuah perahu kayu. Tak lama kemudian, bagian buritan perahu terbentur karang dan berderak pecah. Kekacauan terjadi dan para penumpang berebut menyelamatkan diri. Apakah akan ada yang selamat? Susah diduga, karena alam begitu murka. Di antara kepanikan penumpang tampak seorang ibu yang menggendong bayi laki-laki, lalu menceburkan diri ke air dan berpegangan bilah kayu serpihan perahu. Bibir perempuan itu bergumam pelan, "Ya Allah Tuhanku, kuserahkan nasib kami kepada-Mu."
Ombak membawanya menjauhi perahu yang kian bersembunyi di kedalaman air. Bayi merah terdekap erat, tangisnya sudah habis dan si ibu kian melemah tenaganya. Saat terlihat bayangan hitam, sebuah pulau kecil, dihimpunnya seluruh tenaga agar kuat mengantar bayinya sampai ke darat.
Sementara, di atas pulau kecil itu, seekor rusa betina menatap laut yang mengamuk. Dalam samar hujan yang menyerupai tirai tebal dilihatnya sebuah bayangan menyeruak dari air. Rusa betina mendekat, perempuan mendarat lalu jatuh terkulai. Anak bayinya terguling di dekat kaki rusa sementara tubuh sang ibu kembali terseret arus laut. Bayi yang lemah menangis dengan sisa suaranya. Rusa segera menyeret selimut basah dan isinya ke dalam goa, lalu mendekap sang bayi untuk memberi kehangatan. Kebesaran-Nya ada di mana-mana, bayi merah menyusu rusa. Bayi tumbuh seiring usia, susu rusa dan ikan membuatnya bertahan. Rusa semakin tua dan akhirnya mati. Si bocah kecil hidup sebatang kara di pulau kecil.
Setiap tahun, setiap pergantian musim, rombongan angsa melintas di atas pulau itu. Tetapi tak satu pun yang sudi hinggap walau sebentar saja. Sampai suatu hari ada seekor angsa yang besar sekali terengah-engah singgah dan meninggalkan sebutir telur besar. Bocah laki-laki itu senang sekali. Telur itu dipandanginya dengan penuh kekaguman, sebulan kemudian telur itu menetas. Disuapinya anak angsa dengan ikan sehingga tumbuh pesat, besar, dan kuat. Aha, bahagia sekali rasanya memiliki teman.
Di tempat lain di sebuah rumah tak jauh dari kota pantai, yang jauh dari pulau itu, seorang laki-laki tua yang bijaksana terbangun karena bermimpi disuruh pergi ke suatu tempat. "Ini mimpi yang ketiga kalinya. Aku disuruh menyeberangi laut, ke arah barat daya," gumam Kakek Bijak, pelan. "Pasti akan ada yang ditunjukkan Allah kepadaku."
Kakek Bijak keluar rumah dan mengambil selopnya. Bersama ombak yang menderu dia melangkahkan kaki ke pasir pantai yang putih. Malam masih kelam, dipandanginya sekeliling, tidak ada orang. Didekatinya pohon nyiur yang baru saja menjatuhkan pelepah daunnya yang kering, lalu dianyamnya cepat membentuk sebuah perahu kecil. Setelah itu dibuncahnya pelepah kelapa itu ke laut, lalu dinaikinya. Subbanallah, pelepah kelapa meluncur cepat di atas air ke arah barat daya!
Paginya Kakek Bijak tiba di pulau terpencil, ditemukannya anak laki-laki yang sedang menunggang angsa besar. "Maha Suci Dzat Maha Kuasa!" pekiknya. Diambilnya surbannya, lalu dibuatkan baju untuk bocah laki-laki kecil itu. Tentu saja anak laki-laki itu senang sekali, baru sekali bertemu makhluk yang sama dengannya.
Seminggu kemudian ada sebuah kapal, dengan pertanda api dipanggilnya kapal itu mendekat. Kakek Bijak, anak laki-laki, dan angsa berlayar meninggalkan pulau kecil. Dibawanya bocah dan angsa ke rumahnya. Dibimbingnya anak itu mengenal peradaban manusia. "Namamu Togo, si penunggang angsa!" Togo mengangguk dan mencium tangan Kakek Bijak. "Dan kau, wahai angsa, namamu Si Undan!"
"Kaakkkk….," teriak sang angsa, sambil mengepakkan sayap. Wow, angsa yang cerdas!
Atas kemurahan-Nya, Togo meneguk semua ilmu yang diberikan Kakek Bijak dengan cepat. Suatu hari Kakek Bijak berkata kepada Togo, "Cucuku, hariku sudah dekat. Padahal, masih ada tugas yang harus kuselesaikan. Bersediakah kamu menolongku?"
"Insya Allah, dengan senang hati saya mengemban amanat Kakek."
Kakek Bijak berkata, "Kakek dahulu menyusun kitab Syair Para Nabi, yang Kakek kumpulkan dari setiap sudut dunia. Tapi isi kitab itu hilang dibawa angin topan saat pulang berlayar. Tercerai berai, entah ke mana. Sudilah kiranya kamu mencari syair yang sama. Susurilah pulau-pulau dan negeri-negeri, bertanyalah kepada orang yang kamu temui. Insya Allah syair-syair itu akan kamu dapatkan."
"Jadi, saya harus berpisah dengan Kakek?" tanya Togo.
"Hati kita tidak terpisah, cucuku. Pergilah bersama Si Undan. Kamu bisa terbang ke mana pun," kata Kakek Bijak. Dipanggilnya Si Undan dan dibelailah sayapnya. "Antarkan Togo ke mana pergi. Jadilah kalian saudara yang saling menolong. Togo, karena kamu anak alam maka kamu bisa bercakap bahasa manusia di mana pun kamu berada," kata Kakek Bijak.
Togo bertanya, "Kapan kami diizinkan berangkat, Kek?"
Kakek Bijak menjawab, "Besok pagi, setelah Subuh."
"Bekal apa yang harus saya bawa, Kek?"
Kakek tertawa. "Bukankah kamu tahu, tak ada yang bisa Kakek berikan kepadamu kecuali doa. Percayalah pada Tuhan, rezeki ada di mana saja," jawab Kakek Bijak.
Malamnya Kakek Bijak dan Togo shalat tahajud bersama, memohon keselamatan. Paginya, bakda shalat Subuh, Togo mohon doa restu kepada Kakek Bijak. Si Undan sudah memanaskan sayapnya dengan kepak-kepak yang kuat. "Allah akan menolongmu. Bocah Penunggang Undan, berangkatlah. Ayo Undan Perkasa, bawalah saudaramu keliling dunia!" kata Kakek Bijak. "Bila sudah selesai tugasmu, pulanglah ke sini, indera Si Undan akan mengantarmu pulang."
Togo menyalami tangan Kakek Bijak, mencium, dan memeluknya. Ada air mata yang menetes dari matanya. Kakek Bijak mengusap air matanya dan berkata, "Berangkatlah." Togo naik ke punggung Si Undan, lalu angsa itu mulai mengepakkan sayapnya dan tinggal landas. Berputar-putar sebentar, memberi salam perpisahan. "Terbanglah ke arah matahari terbenam!" seru Kakek Bijak. Begitu Togo dan angsanya menjauh, Kakek Bijak mengusap matanya yang basah. "Ya Allah, lindungilah mereka."
Si Undan terbang tinggi. Ke manakah mereka pergi? Oh, mengejar arah matahari terbenam seperti perintah Kakek Bijak, Togo berpegangan erat sekali karena angin di langit sangat kuat. "Undan, jangan kencang-kencang terbangnya!" teriak Togo. Di kejauhan terlihat pusaran angin yang semakin mendekat mereka. "Memutar!" seru Togo, tapi terlambat. Pusaran angin telah menerpa, Si Undan tidak bisa mengendalikan arah terbangnya. "Wow…., kemana kita?" teriak Togo yang kepalanya mulai terasa pusing.
Mereka terbawa arus angin entah ke mana. Begitu angin kencang mereda, terlihat daratan luas dengan padang rumput terhampar hijau. Kelinci, binatang yang melompat dengan dua kaki belakang, serigala, dan masih banyak lagi. O, di manakah mereka? Si Undan yang kelelahan segera mendarat untuk beristirahat. "Berapa lamakah kita dibawa angin?" tanya Togo. Si Undan hanya memiringkan kepalanya, dan berkoak-koak.
Di balik kerimbunan semak, seorang pemburu mengamati tingkah mereka sambil mengacungkan benda berupa kayu melengkung. "Aaak!" teriak Si Undan memberi tahu Togo bila ada yang mengintai. Togo waspada, beberapa anak panah terbang menuju mereka. Tapi tak ada satu pun yang mengenai, tampaknya memang disengaja. Beberapa orang mengepung Togo dan Si Undan. Togo tidak tahu bahwa hal itu sangat berbahaya, tetapi dia tidak terlatih untuk itu. Hanya wajah polosnya saja yang mengisyaratkan kebingungan. Saat itu muncul seseorang dan yang lain mundur memberi jalan kepadanya. "Siapakah kamu?" tanya yang baru datang kepada Togo, tampaknya Kepala Suku.
"Kakek memberi saya nama Togo, Si Penunggang Angsa. Ini Si Undan saudara saya," jawab Togo.
"Kulihat kamu terbang dengan naik burung, apakah kami bisa minta tolong kepadamu?" tanya Kepala Suku.
"Minta tolong, menolong untuk apa?" Togo balik bertanya.