Dalam pengembaraan berikutnya, Togo dan Si Undan terjebak badai salju, dan tiba di Greenland. Sungguh, sangat dingin tanah baru itu. "Oh, dingin sekali. Berikan sayapmu, agar saya sedikit hangat," kata Togo kepada Undan. Tetapi angsa itu juga gemetar menahan dingin. Akhirnya, karena tidak kuat menahan dingin, Togo dan Si Undan jatuh pingsan. Ketika sadar didapatinya beberapa orang yang memakai baju yang terbuat dari bulu tebal mengelilinginya. "Kutemukan kamu dan angsamu tidak sadarkan diri, kalian hampir beku," kata salah satu dari mereka.
Tubuh mereka tak lagi gemetar, ternyata Togo dan Si Undan berada di dekat perapian. "Di manakah kami?" tanya Togo
Salah satu dari mereka menjawab, "Saat ini kalian berada di Kutub Utara."
"Sisi paling utara Bumi, di mana air membeku menjadi es," tambah yang lainnya. Orang Eskimo hidup di sekitar Kutub Utara, seperti di Greenland, Labrador, Teluk Hudson, dan Alaska. Karena daerah kutub tidak memungkinkan untuk bercocok tanam maka orang Eskimo hidup dari berburu dan memancing ikan. Ketika sedang dalam musim panas mereka tinggal di dalam tenda-tenda kulit. Pada musim dingin mereka pindah ke rumah-rumah yang dindingnya terbuat dari batu-bata. Tapi saat berburu mereka membuat gubuk salju yang disebut iglo sebagai tempat tinggal sementara. Iglo dibuat dari balok-balok es. Kendaraan orang Eskimo disebut huski dan ditarik oleh anjing. Sampan mereka disebut kayak. Orang Eskimo berasal dari Asia, mereka termasuk bangsa Kulit Kuning.
Togo mengangguk dan berkata lemah, "Angin yang telah mengantar kami ke sini, kami tak sanggup melawannya." Tangan dan kaki Togo masih susah digerakkan karena hawa dingin. Dilihatnya Si Undan tampak lemah. Bulu-bulu sayap Si Undan dilap oleh seorang anak dengan kain kering. Togo bersyukur, mereka telah ditolong oleh keluarga Eskimo yang baik hati. Keluarga itu memiliki beberapa anak, anak perempuan yang lebih besar dari pada Togo bernama Hedi, sedangkan adik laki-lakinya bernama Hug. Ketika Togo sudah sehat, Hug mengajaknya memancing di danau beku. "Mari kita memancing di laut!"
Togo heran dengan ajakan Hug, dan bertanya, "Di mana letak laut itu? Semua membeku.'
"Tempat luas yang tiada pohon itulah laut," jawab Hug, "Kalau musim panas, laut itu mencair." Hug mengambil dua buah pancing dan gergaji. Mereka berjalan ke arah es membentang luas. Togo sudah memakai baju tebal layaknya bocah Eskimo lainnya. Kemudian Hug membuat lubang dengan cara menggergaji es. Setelah itu mereka mengulurkan senar pancing ke dalam lubang, yang di dalamnya airnya tidak membeku. Beberapa kali terlihat kepala anjing laut dan singa laut keluar dari lubang buatan itu, mengintip-intip. Melihat itu mereka tertawa, karena kepala anjing laut atau singa laut yang melongok-longok tampak lucu sekali. Begitu melihat mereka berdua, binatang-binatang itu menyelam secepatnya. Hug mendapat ikan cukup banyak, ikan hering.
"Kalau laut mencair aku dan ayah mencari ikan dengan naik perahu kayak," ujar Hug sambil menunjuk beberapa sampan yang terjebak salju. "Kayak adalah nama perahu tradisional kami. Maukah kamu ikut kami menjaring ikan?" Togo mengangguk senang. Suatu ketika mata kailnya disambar ikan dan ketika ditarik ada seekor ikan hering besar yang tersangkut.
"Sangat menyenangkan, Si Undan pasti senang karena akan makan ikan segar!" seru Togo.
"Ya, ikan yang kupancing ini juga untuk Si Undan!" seru Hug.
Ketika tiba pergantian musim Togo diajak berburu rusa liar yang sedang bermigrasi. Meriah sekali perburuan itu. "Kalau terjadi pergantian musim, rusa-rusa itu berpindah tempat. Mencari rumput yang lebih segar. Ketika menyeberang sungai itulah mereka ditembak," kata Hug.
"Aduh, kasihan mereka," kata Togo.
Ayah Hug tertawa dan berkata, "Kami hanya menembak rusa jantan, itu juga kami sesuaikan dengan kebutuhan. Biar rusa bisa berbiak sehingga kami selalu ada persedian daging dan kulit," ujar Ayah Hug, sambil tertawa. Ibu Hug menyimpan daging rusa di dalam lubang-lubang salju agar awet. Dari tanduk dan tulangnya, kaum pria Eskimo membuat aneka macam peralatan, termasuk jarum untuk menjahit kulit rusa.
Pada suatu hari ada kegemparan. "Tolong! Ada beruang!" teriak beberapa orang, dengan sangat cemas.
"Beruang itu sudah beberapa musim berada di dalam goa dan mengintai kami," kata Ayah Hug.
Ibu Hug menimpali suaminya, "Itu bukan beruang sembarangan."
"Maksudnya?' tanya Togo.
Ayah Hug yang menjawab, "Beruang itu milik penguasa salju."
Tanpa sadar Togo mengulang kata-kata ayah Hug, " Penguasa salju?"
"Ya, beruang itu peliharaan penguasa salju," ujar Hedi. "Disebut begitu karena Ayah dan yang lainnya belum bisa mengusirnya. Binatang itu dilindungi pemerintah sehingga kami tidak boleh membunuhnya. Tapi justru kami yang ketakutan dengan kedatangan mereka," lanjut Hedi.
Ayah Hug dan beberapa lelaki tetangganya memburu beruang itu. Hug dan Togo ikut serta. Mereka menaiki huski, yaitu kereta yang ditarik beberapa ekor anjing. Mereka mengejar beruang itu sampai ke sebuah goa. "Kalau mereka sudah masuk goa kita tidak bisa berbuat apa-apa," kata salah satu dari pengejar.
"Goa itulah rumahnya, kami tidak berani masuk karena sangat berbahaya," kata Ayah Hug. Mereka menunggu beruang itu keluar lagi, tapi hanya dari kejauhan. Beberapa saat kemudian beruang itu keluar, kini dengan beberapa beruang muda. "Aduh, malah ada anak-anaknya," sungut Ayah Hug. "Semakin sulit kita mengusirnya dari sini."
"Bukan main, semakin banyak saja beruang yang dipelihara oleh penguasa salju," kata Hug.
Togo melihat kekhawatiran mereka. "Apakah pernah ada yang diserang oleh beruang-beruang itu?"tanya Togo.
"Belum pernah ada, tapi kalau beruang itu keluar goa kami tidak berani memancing ikan atau lainnya," jawab Ayah Hug.
Togo mendapat akal lalu berkata, "Bagaimana kelau beruang itu dipindahkan rumahnya, agar menjauh dari sini?"
"Caranya?" tanya salah satu tetangga Hug.
Togo menjawab, "Kita carikan beruang-beruang itu goa baru. Pasti mereka akan pindah." Para pemburu beruang mendengar usulan Togo.
"Memang ada beberapa goa yang jauh dari wilayah ini. Tapi beruang itu tampaknya sudah nyaman tinggal di goa yang ini," kata Ayah Hug.
"Jangan-jangan di dalam goa itu ada game atau play station, sehingga anak-anaknya betah," ujar Hug.
"Pikirmu, mereka seperti kamu," kata Ayah Hug sambil tertawa. Hug jadi malu ketika tetangganya ikut tertawa.
"Kita pancing beruang itu dengan makanan kesukaannya. Kita seret makanan menuju goa baru. Selanjutnya goa yang ditinggalkan itu kita tutup," kata Togo.
"Bukankah itu sangat berbahaya?" tanya Hug.
"Kita harus mencari akal," kata yang lainnya.
Mereka berunding, tapi hasilnya tidak jauh dari usulan Togo. "Kita memang harus memancing beruang-beruang itu agar meninggalkan goa. Setelah mereka pergi goanya kita tutup," kata Ayah Hug.
"Kudengar beruang sangat suka madu," kata Togo.
"Itu beruang yang berada di hutan. Beruang kutub tidak tahu madu, Teman Angsa," ujar tetangga Hug, "Di salju tidak ada lebah."
"Kita memancingnya dengan ikan," kata Ayah Hug. Lalu mereka menyiapkan beberapa kereta anjing. Dipilih anjing-najing yang kuat, karena bisa jadi beruang itu akan mengejar.
Hug mengusulkan sesuatu, "Pasang saja ikan-ikan itu dengan jarak tertentu menuju arah goa baru. Begitu beruang sudah jauh, ada yang menutup pintu goa lama."
"Ide itu bagus sekali, Hug," kata Togo.
"Tapi siapa yang akan memasang umpan?" tanya Ayah Hug.
"Saya dan Si Undan sanggup mengerjakannya. Tolong, siapkan ikan yang banyak," kata Togo.
"Penunggang Angsa," kata salah satu tetangga Hug, "sebaiknya memasang umpannya jangan dimulai dari depan goa beruang, tetapi dimulai dari goa kosong. Sehingga tidak terlalu berbahaya."
"Mengapa demikian?" tanya Hug.
"Bila umpan langsung diletakkan di depan goa yang berisi beruang, maka begitu tercium bau ikan beruang itu akan menyerbu," jawab orang itu.
"Sangat masuk akal," timpal Ayah Hug. Lalu mereka pun bersama-sama mencari ikan sebanyak-banyaknya untuk memancing beruang. Sebetulnya sayang dengan ikan-ikan itu, tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak rela berkorban maka hidup mereka tidak akan tenang.
Akhirnya, dengan menunggang Si Undan, Togo memasang umpan. Dimulainya dengan meletakkan ikan di dalam goa baru. Lalu berturut-turut, dengan jarak tertentu, ikan pancingan diletakkan ke arah goa beruang. Begitu pemasangan umpan di depan goa beruang semua orang yang melihat menahan napas. Takut kalau-kalau beruang itu keluar saat Togo meletakkan umpan dan menerkamnya. Togo sendiri dengan penuh kewaspadaan meletakkan umpan di depan goa beruang. Begitu ikan terakhir itu diletakkan maka segera ditepuknya punggung Si Undan agar segera membumbung terbang. Berhasilkah mereka memancing beruang itu?
Togo dan lainnya mengintai dari kejauhan dengan bertiarap di atas salju. Bukan main dinginnya. Tangan dan kaki Togo yang sudah terbungkus rapat pun ingin beku rasanya. Berjam-jam mereka menunggu, malah sudah ada yang tidak sabar. "Mungkin beruang itu tidur," bisik Hug. "Bisa berhari-hari kalau beruang itu tidur. Atau malah hitungan minggu atau bulan."
"Aduh, keburu tidak segar lagi ikan-ikannya," kata Togo sudah ketularan tidak sabar. Tapi saat mereka sedang dalam keraguan terdengar suara dari dalam goa. Seekor beruang betina besar keluar. Melihat ikan beruang besar itu mengendusnya, mencabiknya dengan kuku dan taringnya. Beruang itu menggeram kuat, tidak lama kemudian beberapa beruang muda ikut keluar goa. "Berapa jumlah beruangnya?" tanya Togo.
"Tampaknya mereka sudah keluar semua," jawab Ayah Hug. "Sudah tidak ada lagi yang berada di dalam goa."
"Tunggu sampai mereka jauh, baru tutup goanya," bisik tetangga Hug. Seperti rencana, beruang-beruang itu mencari dan memakan ikan-ikan berikutnya sehingga semakin menjauhi goa. Setelah jauh, Ayah Hug dan teman-temannya menuju arah goa dan mendorong batu besar beramai-ramai untuk menutup mulut goa. Dengan tertutupnya mulut goa maka beruang tidak akan tinggal di situ lagi.
O,o..., tapi beruang-beruang itu sudah kenyang, sehingga tidak mencari ikan berikutnya. Mereka kembali ke goa yang telah ditutup dan berusaha membongar batu tapi tidak berhasil. Togo, Hug, dan lainnya mengamati tingkah laku beruang itu dengan cemas. Takut rencana mereka gagal, tapi akhirya beruang-beruang itu pergi. Togo naik Si Undan mengamati kepergian keluarga beruang itu, mereka tidak menuju goa baru. Tapi pergi entah ke mana. Togo menceritakan perihal beruang-beruang itu.
"Syukurlah, mereka malah pindah ke tempat yang jauh. Mudah-mudahan tidak singgah ke daerah kami lagi," kata Ayah Hug.
"Kutub Utara sangat luas, mereka akan berburu anjing laut atau singa laut di tempat lain," ujar Hug.
"Terima kasih Togo, kamu telah menolong kami," kata Hedi.
"Kita bekerja sama dengan baik sekali, dan beruang itu juga tidak kita sakiti," kata Togo. Suatu hari Togo ingat akan tugas dari Kakek, sehingga menanyakan keberadaan seorang penyair pada Hug. "Hug, adakah seorang penyair di daerah sini?" tanya Togo.
"Penyair? Mungkin ayahku tahu," jawab Hug. Togo diajak Hug menemui ayahnya. "Ayah, adakah seorang penyair di daerah kutub ini?"
Ayah Hug tertawa. "Mengapa susah-susah mencarinya, di depanmu inilah seorang penyair. Itu kalau kamu menganggap ayahmu seorang penyair," jawab Ayah Hug. "Tapi aku murid dari seorang penyair yang tinggal lumayan jauh dari sini. Bila kalian bersedia maka kuantar ke sana. Sudah lama kami tidak bertemu."
"Kapan kita pergi?" tanya Hug tidak sabar.
"Lusa, karena besok Ayah ada urusan penting," jawab Ayah Hug. Lama sekali menunggu hari keberangkatan ke rumah penyair itu. Hug tampaknya sudah tak sabar, dia ingin jalan-jalan. Akhirnya, mereka pergi dengan naik kereta salju, menuju penyair guru Ayah Hug. Ternyata penyair itu sudah sangat tua dan menyambut mereka dengan ramah. Malah dia sudah meyapa Togo, "Bukankah ini Bocah Penunggang Burung?"
"Kenapa Kakek tahu?" tanya Hug. "Bukankah baru sekali ini dia ke sini?"
"Ah, orang-orang sudah bercerita tentang penunggang burung yang tinggal bersama kalian," kata guru Ayah Hug.
Ayah Hug berkata takzim, "Kami ke sini mengantarnya mencari seorang penyair. Maka kubawa ia ke sini"
"Bacakan syair untukku, Kek", pinta Togo.
"Syair apa yang kamu inginkan?"
"Syair para nabi," kata Togo.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik," kata Kakek Penyair. Togo mengangguk. "Syair ini juga sudah kutulis di beberapa kain. Aku sangat suka syairku yang satu ini. bila kamu berkenan maka bawalah satu salinannya. Dengarkanlah!" Sang penyair pun membaca puisinya:
...............
wahai penunggang angsa terbang
nabi ishak, anak ibrahim, menetap di kana'an
dia punya etsu dan yakub, anaknya
suatu hari etsu marah kepada adiknya
sehingga yakub meninggalkan kota
mengembara jauh dan berkeluarga
karena ketabahannya maka Allah berkenan
mengangkatnya sebagai utusan
disuruh-Nya yakub pulang ke negeri leluhur
maka diajaklah keluarganya menuju timur
tapi langkahnya terhalang terik gurun
maka mereka berjalan bila surya berlalu
yang dalam gulita bintang memandu
yakub berkata: "israel gelarku
karena berhijrah di gelap waktu"
...…..
tahun berganti tahun, yakub pun kian uzur
dua belas putranya berganti menuntun
yusup yang santun sangat dicintanya
tapi malapetaka tiba
karena hati sepuluh saudara tiada bersuka
saat menggembala domba
dibuanglah yusup di sumur tua
lalu diwartakan dimakan singa
yusup ditolong seorang musafir
lalu dijual kepada al aziz qithfir
seorang bangsawan di kota mesir
zulaikha, istrinya, sangatlah ayu
dirayulah yusup dengan suara mendayu
tapi dia mesti tersedu
karena yusup bukanlah benalu
lalu dibuatlah fitnah
maka yusup dipenjara bersama narapidana
karena suci yusup pandai meramal mimpi
suatu hari raja mencari peramal sakti
tentang mimpi tujuh sapi gemuk
yang dimakan tujuh sapi kurus
tiada yang tahu sampai yusup diberitahu
kata yusup kepada raja:
"tujuh tahun panen raya
tujuh tahun berikutnya bencana"
raja sangat bersuka cita
yusup pun diangkat jadi menterinya
tujuh tahun panen melimpah
selanjutnya, paceklik melanda benua
juga kana'an tempat yakub sekeluarga
lalu disuruhlah anak-anaknya
membeli gandum ke negeri tetangga
dilihat oleh yusup sepuluh saudaranya
yang datang ke mesir menghiba-hiba
dicarilah akal
dimasukanlah takaran di gandum mereka
setelah itu pengawal disuruh memeriksa
sepuluh saudara pun gemetar
yusup berkata: "kalian bebas bila menukar
dengan bunyamin saudaramu yang tertinggal"
dengan susah payah dijemputlah adiknya
yusup pun membuka rahasia
tiada dendam tiada prasangka
lalu dijemputlah ayahnya
mereka pun hidup bersama dalam bahagia.
...
Setelah mendapat salinan syair itu mereka kembali ke rumah Hug. Togo masih tinggal beberapa lama. "Kudengar kamu akan pergi meninggalkan kami, betulkah?" tanya Hug.
"Ya, masih banyak syair yang harus saya kumpulkan," jawab Togo.
"Tentu kami akan bersedih bila kamu pergi meninggalkan kami," kata Ibu Hug.
"Ya, kamu sudah kuanggap adik sendiri," kata Hedi sambil membelai rambut Togo. Mata Togo menjadi panas, ingin menangis karena terharu. Tapi ditahannya agar air matanya tidak tumpah.
"Tapi saya harus pergi," kata Togo.
Ayah Hug berkata, "Kalau begitu tunggulah agar cuaca lebih bersahabat."
"Berapa lama saya harus menunggu?" tanya Togo.
"Tidak lama lagi cuaca akan lebih hangat," kata Ibu Hug. Togo dan Si Undan menunggu waktu itu tiba. Ketika cuaca menjadi lebih hangat maka mereka kembali terbang. Hug, Hedi, dan orang tua mereka menatap kepergian Togo dengan senyum bangga. "Selamat berjuang Togo. Selamat membelah langit Si Undan. Kami berdoa untuk kalian," teriak Hug. Togo melambaikan tangan kepada mereka. (*)