Chereads / Penunggang Angsa / Chapter 3 - Pertarungan di Gurun Kalahari

Chapter 3 - Pertarungan di Gurun Kalahari

Si Undan terbang cepat, dikejarnya kapal terbang yang menderu di depan. Sayapnya yang letih menyuruhnya hinggap di lempeng tipis di sisi kiri burung besi itu. Beberapa penumpang mengintip dari jendela kaca, sesuatu yang sangat ganjil. "Lihat ada angsa besar dengan seorang anak laki-laki di sayap kapal terbang!" teriak salah satu penumpang.

"O, hantu langitkah mereka itu?" seru penumpang lainnya, tak kalah heran.

"Coba, diberi air minum. Kalau hantu pasti tidak mau!" seru penumpang kurus, penasaran.

"Eit, mana bisa jendela pesawat terbang dibuka, sangat berbahaya," kata penumpang yang gendut. "Kita potret saja untuk kenang-kenangan." Maka berlombalah penumpang memotret dengan kamera dan handycam. Kamera handphone tidak boleh digunakan, harus dimatikan saat mengudara karena bisa mengganggu hubungan komunikasi kru pesawat dengan bandara.

Angin sangat kencang menerpa. Dengan sayapnya Si Undan melindungi Togo dari gempuran sang bayu dan terik surya. Dilihatnya bawah, laut dan daratan silih berganti. Saat matahari sudah di ambang terbenam, kapal terbang merendah. Togo menepuk Si Undan yang segera berkemas terbang dengan sayap sendiri. Mereka berhenti di padang rumput sangat luas. Ada jerapah, gajah, singa, badak, dan lainnya.

"Di manakah kita?" tanya Togo.

Tiba-tiba, entah dari arah mana datangnya, Togo melihat seekor singa membawa lari bungkusan dengan gigi-giginya yang kuat. Tampaknya sebuah selimut yang berisi seorang bayi. Beberapa orang kerdil bersenjata tombak kayu mengejar singa itu tetapi sia-sia. Begitu melihat Togo dan Si Undan, mereka menghentikan langkahnya dan mengamati Togo dan Si Undan dengan penuh tanda tanya. Togo terkejut, apalagi ketika orang-orang kecil segera berkerumun mengelilinginya. Tapi, suara bayi yang diseret singa membelah keterpanaan mereka. Togo segera naik ke punggung Si Undan dan mengejar singa itu.

Singa menuju sebuah gubuk dan meletakkan bayi di depan pintunya. Tak lama kemudian seorang laki-laki seram keluar, ada anting besar menjuntai dari telinga kombornya. Tangan laki-laki seram itu hendak meraih bayi itu. Tapi sebelum menyentuh si bayi, Togo mendahuluinya dan membawa bayi itu terbang. Sempat dilihat oleh Togo sebuah belanga dengan air menggelegak, mendidih. Togo dan Si Undan terbang kembali ke arah orang-orang kerdil. Diberikannya bayi yang menangis kepada mereka. Mula-mula mereka ketakutan, tapi bayi yang selamat membuat mereka tidak curiga kepada Togo.

"Siapakah laki-laki seram itu?' tanya Togo.

"Dukun Tiqu," jawab salah satu dari mereka. "Dia hendak menjadikan bayi ini sebagai ramuan sihir."

"Kalian berjumlah banyak, mengapa tidak menyerbunya beramai-ramai?" tanya Togo.

Yang ditanya saling berpandangan, tampaknya enggan dan ketakutan. Tapi akhirnya ada yang menjawab pertanyaan Togo. "Tidak bisa, Dukun Tiqu sangat sakti. Pagar saktinya tidak bisa ditembus oleh manusia dan binatang, kecuali singanya."

"Mengapa bisa begitu?" tanya Togo. "Saya dan Si Undan berhasil mendekatinya."

"Kami takut disihir jadi katak atau monyet," jawab salah satu orang kerdil.

"Dia juga bisa menyihir kami jadi cacing," sambung temannya.

Yang lain menimpali beramai-ramai, "Bahkan dia bisa menyihir kami jadi kotoran ayam."

Togo tertawa dan berkata, "Kalian hanya dibohongi."

"Tidak, dia sangat sakti," jawab mereka.

"Lalu, apakah ada yang pernah disihir jadi tahi ayam?" tanya Togo.

Semua menggeleng. "Tapi kami tetap takut," kata mereka.

Togo hendak memulai agar mereka berani melawan dukun itu. "Lalu bagaimana cara mengalahkannya?" tanya Togo memancing.

Dengan bersemangat seorang dari mereka menjawab, "Dia berpantang wewangian. Masukkan ramuan getah pohon yang wangi di belanganya, maka dia tidak akan sakti lagi."

"Mengapa begitu?" tanya Togo.

"Karena ramuan sihirnya dibuat dari aneka jenis kotoran binatang di gurun ini," jawab salah satu dari mereka.

Mendengar penjelasan itu Togo menutup hidung. "Aduh, membayangkannya saja saya bisa muntah," kata Togo. "Baiklah, kumpulkan semua getah pohon yang berbau harum, bawa kepada saya. Biar saya dan saudaraku yang memasukkan wewangian itu ke belanganya."

Togo dan Si Undan diajak ke desa mereka, yang tak lebih dari perkumpulan gubuk-gubuk sederhana yang terbuat dari rumput dan batang-batang kayu. "Sudah banyak bayi kami dibawa lari singanya!" kata Kepala Desa. "Untuk mengalahkan Dukun Tiqu tidaklah mudah. Harus dilaksanakan pada saat bulan purnama. Padahal bulan purnama belum lama berlalu. Bisakah kalian menunggu waktu itu?"

Togo tertawa, "Baiklah kalau memang seperti itu. Tapi apakah Dukun Tiqu tidak segera beraksi mencuri bayi lagi?"

"Tidak, dia hanya butuh bayi setahun sekali," jawab Kepala Desa. Akhirnya Togo dan Si Undan harus menunggu bulan purnama berikutnya. Untuk itu Togo dan Si Undan harus hidup bersama mereka, di Gurun Kalahari. Kalahari adalah gurun di benua Afrika. Penduduknya disebut manusia hutan dan merekalah penduduk asli Afrika Selatan. Mereka mengembara dalam kelompok kecil. Mereka hidup dari berburu. Mereka berburu binatang dengan senjata beracun dan senjata primitif lainnya, mereka juga makan serangga. Manusia hutan sangat pendek, berkulit sawo matang, berkepala lonjong, dan bertulang pipi besar. Sungguh kehidupan yang sangat berat, mereka hanya mengandalkan alam untuk bertahan hidup. Togo diajak mencari anai-anai dan serangga lain untuk dimakan. Togo juga diajar mencari sarang burung untuk diambil telur dan anaknya. Telur dan anak burung dibakar dan dimakan.

Suatu hari Togo melihat sebatang anak panah menancap di pohon tua dan sehelai kulit yang berisi tulisan tergantung. Dengan penuh penasaran diambilnya kulit binatang bertulis itu dan bertanya, "Milik siapakah anak panah ini?"

"Tidak ada pemiliknya. Bahkan Dukun Tiqu sendiri tidak berani mengambilnya. Itu benda milik langit yang jatuh bersama angin," jawab Kepala Desa.

Togo mengamati kulit binatang itu lebih seksama. "Apakah di antara kalian ada yang bisa membacanya?"

Kepala Desa menjawab, "Tidak ada di antara kami yang bisa membaca, kami buta huruf. Tapi di desa sebelah ada yang pandai membaca dan menulis, mungkin dia bisa membacanya."

"Apakah ada yang bisa mengantar saya kepadanya?" tanya Togo.

"Saya akan mengantarmu ke orang itu," kata Kepala Desa. Dengan diantar Kepala Desa, Togo mendatangi desa tetangga. Ditemuinya orang yang bisa membaca itu. Orang itu dengan senang hati membaca untuk Togo. Ternyata bukan catatan syair seperti yang diharapkan, melainkan hanya sebuah catatan resep makanan.

Toh, Togo tidak terlalu kecewa karena orang yang ditemuinya ternyata seorang penyair. "Dengarkan syair ini, Nak," kata orang itu dan mulai membaca syair.

...............

sudahkah sampai kepadamu

wahai pengendara binatang berbulu

kisah zaman dahulu

tentang nuh nabi yang berperahu

yang mengingatkan kaum beribu-ribu

penyembah berhala batu

wadd, suwaa', yaghurt, n'asr si patung bisu

ditentangnya nuh, dianggap penipu

suatu hari turunlah wahyu

buatlah bahtera dari kayu

naikkan ummat taat dan binatang di sekitarmu

lalu air deras mengucur berpacu

melihat anaknya nuh pun berseru:

naiklah qan'an anakku

karena perahu akan segera melaju

saranmu tak kuhirau, ayahku

karena aku bisa naik ke puncak gunung itu

tetapi tak ada tempat untuk kabur

ketika air mengamuk semua pun terkubur

berayun-ayunlah bahtera nuh

surut air, kapan waktu itu?

gagak disuruh nuh mencari ranting kayu

tetapi pulang tanpa membawa sesuatu

lalu merpati disuruh terbang melaju

dan membawa ranting pulang ke perahu

air telah surut!

air telah surut!

alhamdu, alhamdu!

di bukit judi berlabuhlah bahtera itu

...…..

wahai pengendara binatang berbulu

terbanglah lebih ke hulu

pencerita lain telah menunggumu.

..............

Togo lalu meminta penyair itu memberikan catatan syair yang baru dibacanya. "Baiklah akan kutulis untukmu. Kembalilah kapan-kapan ke sini."

"Terima kasih," kata Togo.

Malam purnama sebentar lagi, dan Togo tiada pernah ingkar janji. Bersama Kepala Desa dan warganya, mereka menyiapkan diri untuk memusnahkan Dukun Tiqu beserta singanya. Telah dikumpulkan semua jenis getah pohon yang berbau harum, telah dimasukkan ke sebuah tabung yang dibuat dari kayu. "Kamu harus membawa semua getah ini dan memasukkannya ke dalam kuali ramuan Dukun Tiqu," ujar Kepala Desa.

"Tapi waspadalah! Singa miliknya bukan sembarang singa, melainkan singa jadi-jadian yang tidak pernah tidur. Singa itu selalu terjaga untuk memangsa siapa saja yang masuk ke kebun dukun itu."

Untuk tugas yang berat itu ditemani seorang anak bernama Qiuqia. Berdua mereka naik di punggung Si Undan. Malam telah tiba, gelap gulita dan mereka berdegup menunggu munculnya purnama. Ketika Bulan bulat besar muncul dari balik gurun, Si Undan terbang melayang ke arah kebun Dukun Tiqu. Dari ketinggian mereka mengintai.

"Manakah kuali ramuan si dukun?" tanya Togo kepada Quiqua.

"Aku belum pernah melihatnya, tapi kata nenekku kuali itu sangat besar," jawab Quiqua.

"O, sudah tahulah saya. Pasti kuali yang berair mendidih yang saya lihat dulu," kata Togo. Quiqua memberi isyarat kalau mereka sudah mendekati kebun Dukun Tiqu. Togo menepuk Si Undan, memberi isyarat agar terbang rendah. Si Undan pun merendah. Terdengar singa mengaum seram, pertanda telah mencium kehadiran mereka. Dilihatnya Dukun Tiqu menari melingkar-lingkar dengan suara aneh.

Sesuatu yang mengkhawairkan terjadi, Si Undan tampaknya terbebani oleh dua anak di punggungnya, mungkin karena dua penumpangnya tadi sore terlalu banyak makan sehingga beratnya naik. Begitu melintas di atas kebun si dukun, Si Undan hilang kendali, terbang rendah sekali. Sergapan singa sempat merontokkan bulu-bulunya, dan warna merah segera menetes ke bumi dari badannya. Si Undan terluka. Togo tanpa membuang-buang waktu segera melempar tabungnya, dan tepat masuk ke belanga yang terus mengeluarkan asap.

Tidak berapa lama terdengar ledakan keras dan belanga itu pecah. Ramuan segala kotoran binatang itu tampaknya tidak bisa menerima getah wewangian pohon. Dukun Tiqu meraung terkena percik ramuannya yang sudah tercampur getah wewangian. Anehnya, singa galaknya ikut bergulingan di tanah dan berubah menjadi asap dan hilang. Sementara Dukun Tiqu sendiri menjadi tengkorak dan rebah ke tanah dengan tulang yang berlepasan, sungguh mengerikan. Tamatlah penyihir itu.

Terbang Si Undan semakin payah. Begitu turun Togo sangat terkejut melihat luka itu. "Undan, kamu tidak apa-apa?" seru Togo, bingung dan sedih. Tapi darah sudah tidak menetes dari lukanya. Melihat itu Kepala Desa segera memerintahkan tabib untuk mengobati Si Undan. Tentu saja untuk melanjutkan perjalanan Togo harus menuggu Si Undan sembuh benar dari lukanya.

Togo ingat bahwa kain beryair belum di tangannya, maka Togo mendatangi rumah si penyair untuk meminta salinan syair yang sudah dijanjikannya. Orang itu tidak ingkar janji, malah memberi syair yang lain lagi dan membacakannya.

................

duhai bocah penunggang angsa

dengarlah kisah tentang sang utusan

yang lahir di tengah bangsa 'ad

hadhramaut itu nama kotanya

yang tidak jauh dari kota yaman

hud begitulah orang memanggilnya

hatinya sekeras baja

dia menyampaikan wahyu-Nya

kepada bangsa yang keras kepala

yang durhaka lagi penyembah berhala

baal adalah berhala terbesarnya

sang rasul pun ditentang

dianggapnya mengada-ada

wahyu-Nya dianggap hanya sandiwara

bangsa 'ad tetap ingkar

lalu dikirim Allah angin topan

binasalah mereka dan berhalanya

begitulah pengendara angsa

kisah yang pernah nyata

...................

Akhirnya, saat melanjutkan perjalanan pun tiba karena Si Undan sudah sehat dan kuat seperti sedia kala. Hanya saja bulunya lebih keabuan karena debu Gurun Kalahari. Togo mengucap salam perpisahan kepada semuanya. "Selamat jalan Pengembara Bersama Angsa! Tanpa kehadiran kalian, Dukun Tiqu pasti masih mengancam kami," kata Kepala Desa.

"Itu sudah kehendak Tuhan," kata Togo. Si Undan dan Togo membumbung ke angkasa. Sebelum jauh Togo melambai-lambaikan tangannya. Qiuqua mengusap air matanya yang menetes. Togo dan Si Undan semakin tinggi dan jauh.