Mita melihat mantan suaminya dari jok belakang mobil taksi. Begitu pula sang suami yang menatap dirinya dari kursi pengemudi. Mobil pria itu tengah diam menunggu lampu hijau.
Layaknya gerakan slow motion atau memang waktu tengah melambat. Mereka bertatapan hingga taksi yang berlawanan arah dengan mobil suaminya itu melintas. Mitha langsung menghadap ke depan.
"Kenapa, Pak?" tanya Mitha ketika mobil tiba-tiba berhenti.
"Kayaknya ada kecelakaan di depan, Neng."
Mitha mengangguk. Ia segera menyandarkan tubuhnya. Memijat pangkal hidungnya.
"Maaf, Non. Sepertinya bakal lama," ucap sang supir sambil melirik ke belakang melalui spion samping. Terlihat banyak sekali kendaraan di belakang yang mengantri.
"Eh? Nggak papa, Pak." Mitha bersandar dan memejamkan mata.
Baru saja ia hendak masuk ke alam mimpi. Seseorang mengetuk jendela sampingnya. Mitha membuka matanya dan melihat seseorang berdiri dengan peluh keringat. Ia tak tau siapa. Pria itu mengenakan masker.
Mitha membuka kaca jendelanya. Menatap pria yang sedikit terkejut dengan kehadirannya. Tak lama ia tersenyum.
"Mit, boleh pinjam scarf nya?"
"Eh?"
"Orang di depan lengannya patah. Kami lagi nyari sesuatu untuk mengikatnya."
Mitha langsung membuka scarf yang mengikat lehernya. Pria itu sempat terkejut. Namun akhirnya, ia tersadar dan bergegas berlari ke depan.
Ada bekas jahitan oleh luka sayatan di leher Mitha. Ia yang tersadar dengan bekas itu segera membuka scarf yang terikat di tasnya. Lalu memasang ke lehernya.
Tak lama, mobil kembali jalan. Mitha melihat pemandangan sekitar dan baru tersadar. Jika pria itu menyebut namanya. Namun, ia sama sekali tak tau siapa orang itu. Entahlah. Mungkin dia saja yang lupa.
Mobil terus menyusuri jalan hingga sampai di sebuah gedung apartemen. Mitha turun dan memberikan dua lembar uang merah ke sopir.
"Ambil aja, Pak. Makasih."
"Makasih, Mbak."
Mitha segera pergi dan masuk ke dalam gedung. Ia segera naik ke lantai atas. Menuju penthouse milik sahabatnya selama di Singapura. Perempuan cantik yang memiliki hati bagai malaikat.
Sesampai di dalamnya dengan menggunakan card access. Mitha langsung mencari kamar utama dan merebahkan tubuhnya. Ia kelelahan.
Mitha merogoh handbag yang masih dipegangnya. Perempuan itu mencari ponselnya. Ia ingin segera menghubungi seseorang.
"Halo!" sapanya pada seseorang di sebrang telpon.
"....."
"Mana anak gua?"
"....."
"Ya udah. Kalau sudah bangun, antar dia ke tempat gua! Nanti gua share lokasi."
"....."
"Nggak! Di Jepang! Ya iyalah gua di Indo, dasar bego!"
"....."
"Ya! Gua terima!"
Mitha mematikan ponselnya. Ia membanting tangannya merentang ke atas kasur. Tak lama, matamya terpejam sambil menikmati dinginnya AC.
#--------#
Sore harinya. Mitha membuka kedua matanya. Ia mendengar suara bel yang ditekan berkali-kali.
"Iya sebentar!" teriaknya. Seolah ruangan ini tak kedap suara.
Mitha mengintip dari lubang pintu. Seorang pria tengah menggendong gadis kecil berdiri di sana.
Mitha membuka pintunya dan melihat gadis kecil yang langsung loncat memeluk kakinya. Ia tersenyum dan mengelus puncak kepala sang anak. Matanya begitu hangat.
"Eryl kangen mami!"
Mitha melepaskan tangan putrinya. Ia berjongkok dan memeluk Eryl. Gadis kecil itu berusaha mencari kenyamanan di sana.
"Miss you too, Baby!" Mitha melonggarkan pelukan mereka, "sekarang masuk ke kamar dulu ya?"
"Kamar?"
"Ya. Yang di sana!" Mitha menunjuk kamar utama.
Mitha berdiri. Matanya yang hangat kini menghunus tajam. Aura kebencian dan keinginan untuk membunuh, membuat pria itu memasang cengir kuda.
"Lain kali jangan asal membawa anak gadis orang!" Mitha langsung menutup pintu rumahnya. Tak dibiarkan pria itu masuk. Ia benar-benar marah.
Meski pria itu duda ditinggal mati oleh putri dan istrinya. Tapi tetap saja ia was-was dengan pria yang tiba-tiba menculik dan membawa putrinya ke Indonesia. Tak peduli teman atau bukan.
Mitha masuk ke kamar dan mendapati Eryl merengut. Kedua tangannya bersidekap, kesal. Matanya menatap tajam sang mama.
"Kenapa Mami usir Daddy?!"
Mitha memijat pelipisnya. "Bukannya mami yang harusnya marah?"
"Eh?! I ... itu, karena Eryl mau bertemu papi. Dady bilang, papi di Indonesia. I miss him so much." Eryl menatap penuh permohonan. Matanya mulai berair.
"Maafin mami, Sayang. Mami janji akan cari waktu yang tepat untuk mempertemukan kalian." Mitha memeluk putrinya erat.
#--------#
Di ruangan praktik salah seorang dokter psikiater. Tampak seorang dokter perempuan dan pasien laki-lakinya tengah mengobrol. Pria itu bersandar di kursi santai dengan mata terpejam.
"Sudah lama halusinasiku berkurang. Kemarin, entah kenapa aku melihatnya duduk di kursi penumpang dalam mobil taksi. Lalu, setiap wanita yang kulihat, terlihat seperti dia." Pria itu tertunduk lemah. "Semalam aku juga tak bisa tidur. Meski, obat sudah kuminum. Aku selalu terbangun di saat ia meninggalkanku."
"Kamu masih mencintainya. Kenapa kamu tak mencarinya?"
"Aku tak tau bagaimana mencarinya. Aku memang pengusaha. Tapi, aku tak punya uang sebanyak itu untuk mencarinya di negeri paman Sam yang luas itu. Dan ... bisa saja ia sudah tak lagi di sana. Karena yang kudengar, Mitha sudah pindah lagi setelah sebulan tinggal di sana dan tak sengaja bertemu dengan sepupu jauhku. Sekarang, aku tak tau mau cari ke mana."
Dokter itu mengangguk paham. Pasiennya ini sakit karena cinta. Sayangnya, ia tak sadar, jika sudah mencintai mantan istrinya sangat dalam hingga Mitha pergi. Meninggalkannya sendiri. Penyesalannya itu membuat pria itu tak bisa membedakan yang namanya perempuan. Semuanya tampak sama dengan istrinya.
Dulu waktu awal-awal diterapi. Pria itu setengah gila. Karena, setiap perempuan yang dilihat akan langsung dipeluk. Laki-laki itu akan menangis dan berteriak meminta maaf.
"Apa kamu punya obat yang lebih tinggi dosisnya?" tanyanya dengan nada frustasi.
"Maaf. Aku nggak bisa kasih. Obat yang kamu pakai sekarang sudah lumayan tinggi. Takutnya hati dan ginjal kamu yang akan rusak."
"Baiklah. Kalau gitu, aku akan pulang."
"Tunggu! Kudengar kamu terlalu diporsir bekerja. Aku tau kamu berusaha mengalihkan pikiran. Tapi itu bisa jadi memperparah emosimu. Saranku jam istirahat gunakan untuk beristirahat. Cobalah untuk mengambil hari libur untuk refresh."
"Aku tau. Makasih." Pria itu pergi meninggalkan dokter yang tampak seperti sang mantan di matanya saat ini.
#------#
Esok harinya di Royal Plaza. Mitha baru saja menjadi tokoh utama sebuah acara sebagai penulis Indonesia dengan nama pena Norailee. Yang mana salah satu karyanya diangkat menjadi film Hollywood.
Dan sekarang ia tengah menandatangani sebuah buku milik cinta pertama mantan suaminya. Bahkan mereka datang bertiga dengan seorang bocah laki-laki yang usianya tak jauh dari Eryl. Mitha pun memaksakan senyumnya.
"Wah! Nggak nyangka gua! Norailee yang gua suka ternyata elu! Sumpah! Mimpi apa gua!" oceh perempuan itu.
"Maaf, Mbak. Bisa minggir dulu! Kami juga mau minta tanda tangan." Seorang perempuan yang mengantri di belakangnya merasa kesal.
"Iya, Mbak!" sahut yang lain.
"Ck! Ya udah! Gua tunggu situ ya, Mit?"
Mitha mengangguk dan tetap memaksakan senyumnya. Ia berusaha tak menatap mantan suaminya yang terus melihat ke arahnya.
"Yuk, kita tunggu Mitha di sana!" perempuan itu memeluk lengan pria itu dan menariknya pelan.