Selesai acara tanda tangan dan lainnya. Mitha segera mendekati mereka yang tengah menunggu dalam sebuah Cafe di Plaza. Ia segera duduk di bangku yang kosong.
"Ayah!" panggil bocah itu.
Mitha langsung melihat ke arah mereka. Mantan suaminya menatap hangat pada bocah di depannya.
"Janji ya ayah?"
"Iya ayah janji." Pria itu mencolet hidung sang bocah. "Gimana kabar kamu?"
"Baik. Kalian sendiri?" tanya Mitha. "Hei! Siapa namanya?"
"Andrew, Tan!" jawab bocah itu ramah. "Tante teman ayah dan bunda?"
"Iya," jawab Mitha cepat.
"Oh iya, Mith! Lu mau pesen apa?" tanya perempuan itu.
"Eh ... Jus ...."
"Mami!" teriak Eryl sambil berlari mendekat. Sang mantan langsung melihat gadis kecil yang ditatap oleh Mitha. Perempuan itu dengan sigap menoleh.
"Eryl? Kenapa di sini? Kamu sama siapa ke mari?"
"Sama Daddy," jawab gadis itu lugu.
"Aku nelpon kamu lebih dari satu kali loh! Kenapa nggak diangkat?" tanya pria itu.
"Iya kah?" Mitha langsung mengecek ponsel yang ternyata mode silent. Membuatnya memasang cengir kuda.
"Kebiasaan!"
"Kalian ngapain ke mari?"
"Jemput Mami! Kita kan dah janji mau jalan-jalan!" oceh gadis kecil itu.
"Kalian mau jalan-jalan?" tanya perempuan yang sempat terlupakan.
"Oh iya! Kenalin teman mami. tante Rachel dan om Andika."
"Halo, Om, Tan! Namaku Eryl!" Eryl membungkuk hormat ala tuan putri.
"Jimmy!" ucap pria yang biasa disebut Daddy oleh Eryl.
"Rachel!"
"Andika!"
"Yang di tengahnya itu ... Andrew. Anak mereka."
"Hi, Eryl!" Eryl mengulurkan tangannya.
"Andrew!" Andrew menyambut tangan Eryl.
Eryl segera melepas jabatan tangan mereka. Ia beralih ke Mitha.
"Mami! Ayo! Kemarin kan dah janji mau jalan BERTIGA!"
"Iya, Sayang!" Mitha mengelus puncak kepala putrinya. "Maaf ya! Aku harus pergi sekarang. Sampai ketemu di lain waktu."
"Tunggu!" teriak Andika. "Kamu mengganti nomormu, Mith?"
"Iya." Mitha segera pergi menjauh.
Andika duduk termenung. Sesekali ia mencoba tersenyum menatap Andrew dan Rachel. Ibu dan anak itu tengah membahas acara mereka selanjutnya setelah dari Cafe.
"Menurutmu gimana, Dik?"
"Sore, Ra! Gua ada urusan. Maaf Andrew. Ayah akan nemenin kamu lain kali." Andika bergegas pergi. Berusaha mengejar Mitha hingga ke parkiran, ternyata tak ada. Ia benar-benar kehilangan jejak.
Andika berjalan gontai ke mobilnya. Ia ingin segera pergi dari sana. Mengeluarkan isi hati dan pikirannya.
#-----#
Di kamar mandi yang berbeda dengan cara yang berbeda. Keduanya menangis.
Mitha menghidup keran wastafel dan menangis dalam posisi duduk di lantai. Sedangkan Andika menangis dalam guyuran shower dengan pakaian lengkap. Bahkan sepatunya tak dilepas.
Lalu di sebuah cafe yang tak jauh dari gedung apartemen Mitha. Eryl dan Jimmy tengah duduk berdua di cafe.
"Karena Eryl mama jadi sedih ... hiks!" Eryl menangis. "Ini semua karena Eryl!"
Jimmy mengelap air mata gadis itu. Sesekali membantu mengelap ingusnya.
"Daddy yang harusnya minta maaf. Kalau Daddy nggak maksa kalian untuk kembali ke Indonesia. Kalian nggak akan terluka begini."
"Daddy nggak salah ... hiks! Niat Daddy kan baik. Biar Eryl bisa ngeliat papi Eryl sendiri. Eryl nggak tau, kalau papi sudah punya anak lain dan istri lain ... hiks! Mami pasti sedih. Eryl jahat dah bikin mami sedih."
"Eryl nggak jahat sayang! Eryl nggak jahat!" Jimmy memeluk Eryl dan mengusap surai hitam gadis itu.
Jimmy tau, selain Mitha. Eryl pasti terluka. Papi yang diimpikannya ternyata sudah punya keluarga baru.
Andai Jimmy tau akan jadi begini. Ia tak akan memaksa Mitha untuk memeriahkan acara akhir tahun plaza miliknya.
#--------#
Malam harinya di kamar. Mitha mengusap pelan surai panjang Eryl. Gadis kecil itu tertidur.
"Maafin mami, Sayang. Kamu pasti terluka melihat papi kamu tampak akrab dengan keluarga barunya." Mitha memeluk erat Eryl.
Mitha tau betul Eryl mendambakan ayah kandungnya. Gadis itu selalu menggambar tentang dirinya, ibunya, sahabat ibunya yang menjadi ibu angkatnya, daddy-nya dan sang papi.
Mitha mengangkat tangan Eryl dan menciumnya. "Melihat mu begini. Mama jadi sedih," ujarnya sambil mengusap wajah anaknya yang sembab.
#-----#
Di sebuah cluster elite. Andika mencoba keluar kamar mandi perlahan. Tubuhnya sudah mau jatuh beberapa kali, tapi ia harus kuat. Akhirnya ia terjatuh dan pingsan, di depan pintu.
"Astaga, Tuan!" teriak salah seorang asisten rumah tangga yang tak sengaja lewat. Kebetulan pintu itu terbuka lebar. "Tolong! tolong!"
Tak lama penghuni rumah berdatangan. Andrew dan Rachel yang baru saja turun dari mobil lekas berlari. Semuanya terkejut dengan keadaan Andika.
Rachel segera menghubungi seseorang yang tertulis dengan nama 'sepupu gila' di ponselnya. Ia juga memeluk Andrew yang menangis tak tega melihat ayahnya.
"Wis! Andika pingsan di rumahnya!" ucapnya sambil melihat satpam, tukang kebun dan pak sopir mengangkat tubuh Andika.
"...."
"Langsung ke mobil aja, Pak! Kita ke rumah sakit!" Rachel segera berjongkok di depan putranya. "Andrew tunggu sini sama simbok ya? Bunda antar ayah dulu."
Andrew mengangguk lemah. Mereka pun bergegas pergi. Dengan pak sopir yang menyetir dan kepala Andika yang berada dalam pangkuan Rachel.
"Mit! Mitha!" Andika terus menyebutkan nama Mitha. Membuat Rachel yang tadinya mengusap kepala pria itu terhenti.
Tak menunggu lama dengan kecepatan mobil cukup tinggi. Mereka akhirnya sampai di rumah sakit. Seorang dokter dengan badge name Wisnu sudah menunggu dengan beberapa perawat dan sebuah bangkar kosong di depan sana.
Dengan hati-hati, mereka memindahkan Andika. Pria itu langsung dibawa lari ke dalam. Untuk mendapatkan pemeriksaan dan perawatan. Rachel mengejar hingga depan pintu ruangan. Gadis itu menunduk dengan air mata yang mengalir hingga Wisnu keluar.
"Gimana, Wis?"
"Dia hanya butuh istirahat. Darahnya rendah, asam lambungnya sedikit naik dan masuk angin, karena kedinginan. Sebenarnya ada apa?"
"Dok!" panggil salah satu suster.
"Tolong bawa dia ke ruang rawat inap yang kosong! Administrasinya aku yang urus!"
"Kami bertemu Mitha," jawabnya lesu. "Kenapa perempuan sialan itu harus kembali?! Kenapa?!" Rachel setengah histeris.
"Rachel!" bentak Wisnu sambil mengguncang tubuh sepupunya. "Lu sepertinya belum sadar juga ya?! Sejak awal memang tempat Mitha di sana! Lo yang statusnya merebut di sini!"
"Nggak! Bukan gua yang ngerebut! Sejak awal kalian tau kan, kalau Andika cuma cinta gua!! Gua!!"
"Tapi lu yang mencampakkan Andika dan memilih menikah dengan pria lain. Lu yang jahat di sini! Lu yang mengambil kebahagiaan dan memecah rumah tangga mereka yang mulai harmonis."
"Tidak! Tidak!! Itu salah wanita sialan itu! Dia yang merebut cinta Andika dari gua!! Dia yang munafik dengan berkedok perjodohan!! Lu pikir gua nggak tau! Mitha sudah suka Andika sejak SMP!"
"Maaf, Dok!" seorang perawat mendekat dengan takut-takut.
"Iya?" tanya Wisnu.
"Rumah sakit, Dok." Suster itu mengingatkan.
"Baiklah. Terima kasih." Wisnu mengusap wajahnya dengan kasar. "Jangan lupa minum obat dan temui psikiater lu!"
"Gua nggak gila Wisnu!!" teriaknya sambil menatap punggung Wisnu yang menjauh.
#------#
Di ruangan dokter Wisnu. Pria itu duduk bersandar di kursi kebanggaannya. Ia memandang sebuah scarf baru dalam kotak yang atasnya bening.
"Kenapa? Masih keinget sama cinta pertama lu?" tanya perempuan yang merupakan psikiater Andika.
"Nggak. Gua cuma merasa bersalah dan kepikiran aja. Gara-gara sepupu gua. Mereka pisah. Lagian kenapa Andika nggak masukin tuh perempuan ke Rumah Sakit Jiwa aja!"
"Emang lu tega sama Andrew? Entar kalau dia dihujat sama mereka yang tau mamanya nggak waras, gimana?"
Wisnu langsung menunduk lemas. Dokter psikiater itu segera mendekat dan memijat pundak pria itu.
"Love You, Mai!" ucap Wisnu.
"Mee too," jawab Mai.