Aku membantu Amel menstabilkan kondisinya dengan memberinya air minum. Kebetul sebelum perjalan ke rumah ini aku sudah membawa bekal air minum yang kubeli di depan desa. Aku tidak mengerti kenama Mr. Ben merasuki tubuh Amel kenapa tidak langsung padaku. Maksudku, ketika sebuah roh mau berkomunikasi lebih efisien langsun masuk ke tubuh orang yang dituju.
Seperti dulu, Mr. Ben pernah masuk kedalam tubuhku namun aku masih memiliki kesadaran penuh, bedanya aku bisa berbicara dengan Mr. Ben melalui batin. Ini memang pengalaman menyeramkan bagi sebagian orang, tapi coba ambil hal positifnya ketika kita dalam kondisi terdesar seperti menghadapi ujian dan menjadi gugup ada sosok yang menyemangati dari dalam.
Iya, Mr. Ben menyemangatiku dalam ujian lari. Karena kakiku pendek dan tidak bisa berlari kencang aku merasakan tekanan depresi yang kuat. Saat itu Mr. Ben membantuku agar tetap bisa mengotrol emosi dan lebih fokus pada ujiannya.
Dukungan dari Mr. Ben benar-benar membatuku dalam menangani depresi, dukungan itu sempat aku ceritakan kepada teman-temanku, tetapi mereka menyebutnya aneh. Dari kejadian itu aku selalu dikucilkan dan tidak pernah bermain bersama mereka, sehingga aku membuatku lebih senang berada di rumah-rumahan kardus.
Semenjak kejadian itu, aku sudah mulai terbiasa dengan penampakan roh di sekitar rumah. Mereka beraktifitas seperti biasanya, memasak, mencuci, permain, bekerja seperti manusia lain lakukan. Hanya saja yang membuat kita tidak bisa melihat mereka karena ada penghalang besar di depan mata manusia.
Penghalang ini seperti tembok tapi transparan, dia lembut seperti kabut namun selalu berada disana, tidak bisa hilang. Aku kembali memopong Amel ke ruang tamu supaya dapat udara segar. Amel masih sedikit sempoyongan, wajahnya pucat berkeringat dingin. Aku tidak engak membiarkannya seperti ini berkelanjutan.
"Amel, ayo kita kembali ke mobil dan lekas membawamu ke rumah sakit."
"Aku baik-baik saja, tunggu sepuluh menit lagi. Aku akan segera pulih." Jawabnya sunguh-sunguh.
"Baiklah, aku akan meninggalkanmu sendirian disini supaya suasana lebih tenang untukmu. Aku tidak akan sepenuhnya peningalkan, hanya saja aku akan berkeliling sekitar rumah untuk melepas rinduku."
Amel hanya mengangukkan kepala dan kembali terdiam. Kursi yang peyot ini membuatku kesal, setiap kali beranja pasti akan bersuara, saking kesalnya aku sedikit menendangnya bermaksud untuk memebetulkan sendinya yang lepas. Ternaya bisa, kursi itu menjadi seperti kokoh tapi tidak akan kupakai duduk kembali.
Aku melangkah perlahan menelusuri rumah, mendekat ke tembok untuk melihat bekas waktu yang masih tertingal. Berjalan sedikit menuju ruang bawah tanah tapi engan memasukinya, dari pintunya sudah tercium bahwa di bawah sana sudah teramat parah, kelembapan menusuk hidung, aroma tanaha basah, karat dari pipa pemanas tampak sudah mau roboh karena usia.
"Amel, aku kembali. Bagaimana kondisimu?"
"Aku sudah mendingan, K. Sebenarnya aku sedikit mengingat beberapa kejadian saat kau mengajakku ke dapur untuk berbicara, tapi anehnya aku tidak bisa mendengar ucapanmu hanya bisa menangkap gerak bibir. Dan pandanganku ke wajahmu seperti terhalang korden abu-abu yang memburamkan pandanganku." Amel memperagakan bagaimana dia berjalan menuju dapur dan menunjukkan posisi dia duduk.
"Iya, itu tadi kamu sedikit kurang enak badang. Sehingga membuat tubuhmu lemas dan pandangan menjadi kabur. Sepertinya perjalan kita cukup jauh, memang dua jam perjalanan dan dilanda kemaceman sangat menguras energi, apa lagi kita masih harus berhati-hati dengan rumah ini karena sudah sangat tua. Tapi tenang, untungnya mas properti kenalanmu sangat mengerti kebutuhan kita, dia meningalkan meja dan kursi yang sedikit kokkoh ini supaya kita bisa sejenak bersantai di rumah ini."
***
Teman-teman boneka binatang setia menjadi penjagaku, yang kutempatkan secara straregis di sepenjuru kamar. Aku memutar rumahan kardusku sehingga kotak surat menghadap ke pintu kamar tidur. Aku melewatkan sisa akhir pekan itu di dalam rumahan kardus sambil mengintip lewat celah kotak surat, yakni seyakin-yakinnya bahwa Tunner bakal kembali untuk minta maaf, atau membuktikan bahwa dia dapat menyelinap masuk kapan pun ingin, atau mencuri bukuku lagi, atau malah melakukan sesuatu yang melah lebih tercela, seperti memasuki rumah-rumahan kardusku untuk menata ulang gambar-gambarku sehingga bertumpuk-tumpuk butut seperti poster-posternya sendiri. Aku lihai membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih jelek.
Seiring menit demi menit yang berlalu tanpa kedatangan Tunner ke kamarku, aku semakin gelisah dan paranoid serta yakin dia pasti datang. Maka, kupasang aneka jebakan di dalam kamarku supaya bisa memergokinya. Rasakan, biar dia diomeli oleh Ibu dan Ayah. Mentang-mentang sudah remaja, dia pikir dia berhak marah-marah tiap kali aku mendekati kamarnya?
Kuambil sabuk dari korden kamar mandi berbulu yang tak pernah digunakan, dan kuikat ujungnya ke tiang tempat tidur dan kenop pintu. Sabuk itu kulonggarkan sedikit saja sehingga ketika pintu kamarku dibuka, hanya seseorang sekesil aku yang bisa lewat dengan aman dan itu pun sambil menggeliang.
Aku juga menyeimbangkan jeriken jus jeruk kosong di atas pintu yang terbuka sedikit sehingga menyandar ke kosen. Jika pintu dibuka melebihi bentangan sabuk, jeriken akan jatuh ke lantai atau, lebih bagus lagi, ke kepala si pembuka pintu. Tidak mungkin Tunner bisa menyelinap masuk tanpa tertahan atau membuat keributan sehingga ketahuan olehku.
Aku belum merasa aman seratus persen, jadi aku merakit kamera pengintai pendeteksi gerakan dan komputer laptop yang kututupi dengan kotak sereal. Minggu pagi aku habiskan dengan mengecek latar belakang Nona Tunner. Betapa temuanku membuatku mendecak-decak lidah.
Walaupun Tunnur sudah berjanji untuk memberiku cerita karangan sungguhan keesokan harinya, kali ini akan kubuat dia menunggu. Biar dia yang mendatangi aku. Jadi, aku diam saja di kamarku dan hanya keluar untuk makan dan ke kamar kecil.
Masih belum puas, aku membangun menara buku yang fondasinya terdiri dari 'Panah Menembus Dunia' dan Bobo. Mustahil mengambil salah satu buku itu tanpa merobohkan menara. Aku mencobanya dua kali dan memperoleh memar di paha karena tertimpa buku yang jatuh.
Ketika aku bangun pada Senin pagi, Tunner sudah di kamar mandi, sedangkan orangtuaku sedang tergopoh-gopoh dengan berisik dan menggerutu sana-sini di dalam rumah. Aku duduk tegak pelan-pelan dan, dari dadaku, jatuhlah sebuah kertas yang terlipat.
Aku menyibakkan selimut dan mengecek kalau-kalau pengamanan telah dibobol. Sabuk korden mandi masih terikat dan jeriken jus jeruk kosong masih ditempatnya. Boneka-boneka hewan masih berjaga. Kudamprat mereka karena ketiduran selagi berjaga.
Aku mengecek kamera-kamera dan laptopku. Tidak ada apa-apa. Menara bukuku masih utuh, tapi 'Panah Menembus Dunia' hilang dicuri dan diganti dengan 'Ayo kita berjalan bersama'.
Apa Tunner menarik buku tersebut begitu saja dan menjejalkan penggantinya tanpa merobohkan menara? Apa kakakku mengambili buku satu-satu dengan sabar dan kemudian membangunnya kembali?
Mungkin aku lupa mengembalikan buku tersebut selepas mengerjakan uji ketahanan struktural, tapi tidak, 'Panah menembus Dunia' memang tidak berada di kamarku.
Aku menerjang ke dalam rumah-rumahan kardus dan kemudian membuka kertas terlipat berisi pesan yang Tunner tinggalkan di dadaku. Betul, pesan itu dari Tunner dan bukan dari Ibu atau Ayah, meskipun Ayah kadang-kadang jail jika suasana hatinya sedang bagus.
Surat tersebut ditulis dengan krayon hijau.
Aku mengendap-endap ke dalam kamarku sewaktu kau tidur, Angel Monyet. Sudah berminggu-minggu ini aku melakukannya, sejak akhir musim panas. Kau cantik sekali saat tidur. Kemarin malam, aku memencet hidungmu sampai kau membuka mulut kecilmu dan megap-megap. Malam ini giliranmu. Menyelinaplah ke dalam kamarku, selepas jam tidurmu, dan akan kuhadiahi kau cerita karanganku yang baru. Lengkap dengan gambar-gambar. Pasti asyik! Jangan marah lagi padaku, ya. Pokoknya, turuti saja kaaku.
Salam sayang, Tunner.