Chereads / DUNIA ANGEL / Chapter 10 - Luka

Chapter 10 - Luka

Wajah Ayah tampak tenang. Tangannya membolak-balikkan mie pangsit tetapi tidak segera memakannya. Sesekali dia memandang Ibu tapi mendapati balasan mata yang melotot.

"Lihai benar Ayah mengubah topik pembicaraan." Tunner menghentikan sebentar aksi menyendoknya.

Kata Ayah, "Apa? Ayah hanya bertanya." Padahal kita bisa melihat dia sedang tidak tenang.

"Aku harus berkonsultasi."

"Oh. Benar juga. Maaf." Dalam sekejap, Ayah tidak jadi marah. Malahan, beliau seakan menciut di kusrsinya.

"Bagaimana jalannya?"

"Asyik sekali." Tunner tidak mengubah postur ataupun posisinya, tapi suaranya menjadi pelan dan berjarak, seolah-olah dia hendak jatuh tertidur. Tapi, Tunner kemudian menoleh kepadaku dan berkata, "Ayah ingin kita mengucap syukur supaya kelak kita semua masuk surga."

Aku menepuk-nepuk surat Tunner lagi dan mencamkan dalam hati untuk memperketat pengamanan di kamarku. Barangkali aku bisa menaburkan bedak bayi ke lantai di sekitar pintu untuk melacak jejak kaki yang bukan jejakku.

Kata Ayah, "Sudahlah. Dengar, Ibu benar, kita bisa membicarakan ini nanti saja—"

"Makasih makanannya," Tunner berkata, kemudian meraup separuh pangsit dari piringnya ke dalam mulut sehingga pipinya meregang dan kocak karena kepenuhan pangsit, tapi tak seorang pun tertawa. Pangsit dan saus mengucur dari mulutnya, menetes-netes ke dagunya, sampai ke piring.

Ibu dan aku berkata, "Jangan, Tunner. Jijik," dan "Ih, amit-amit," secara bebarengan.

"Hei, dengar ya, Ayah selalu berusaha untuk menghormati kelian dan tidak memaksakan iman kepada kalian, jadi—"

"Misalkan dengan menyuruh kami mengucap syukur, ya?"

"Jadi, kau juga harus menghormati keimanan Ayah!"

Volume suara Ayah meninggi hingga lebih keras daripada tabuhan jemarinya tadi. Ayah memiliki pengeras suara yang tersembunyi di dalam dadanya, yang dapat menggoyang-goyangkan tembok dan mengguncangkan fondasi. Beliau menundukkan kepala dan menikmati pastanya.

Aku tidak bisa membaca ekspresi Ibu. Biasanya Ibu menegur Ayah apabila berteriak-teriak dan Ayah niscaya cepat-cepat meminta maaf kepada kami semua. Selagi kami semua membisu, Ibu duduk sambil bertopang dagu dan memperhatikan Tunner.

"Eh, Yah. Hari ini aku membicarakan surga. Waktu konsultasi." Tunner mengelap wajahnya dengan punggung tangan dan lantas berkedip kepadaku.

Ayah berhenti mengajakku ke tempat peribadatan saat umurku empat tahun. Kenanganku mengenai termpat itu semata-mata berkisar di seputar rasa bosan, bangku-bangju kayu, dan bukti kereta salju. Jadi, surga yang kuketahui merupakan konsep samar menggelisahkan yang hampir seperti main-main belaka, semacam gado-gado kultural membingungkan yang terdiri dari awal gemuk, harpa, malaikat bersayap, sinar mentari keemasan, tangan raksasa yang mungkin adalah milik pria raksasa berjanggut putih panjang lebat bernama Tuhan atau mungkin juga bukan.

Surga adalah tempat eksotis yang kadang-kadang dibicarakan oleh anak-anak di sekolahku, untuk menjawab pertanyaan mengenai di mana almarhum nenek-kakek atau binatang piaraan mereka yang sduah mati berada. Aku tidak paham surga itu apa, di mana letaknya, apa sebabnya ada surga, dan juga tidak ingin tahu.

Tunner menanyai Ayah. "Boleh aku menyampaikan pertanyaanku kepada Dokter Hamilton tadi kepada Ayah?"

"Silakan." Ayah menggeser-geser makanan di piringnya seperti anak kecil yang sedang merajuk karena habis diomeli.

"Ayah percaya ada surga, kan?"

"Ya, sangat percaya, Tunner, dan—"

"Tunggu sebentar. Bukan itu pertanyaanku. Nah, apa Ayah percaya bahwa di surga nanti, kita bisa bertemu hantu atau roh orang-orang terkasih, yang sudah menanti untuk berbagi keabadian bersama kita?"

"Ya, tapi—"

Tunner berkata, "Tunggu," dan kemudian cekikikan. "Aku belum menyampaikan pertanyaanku. Dari mana kita tahu pasti bahwa di surga nanti, hantu-hantu orang terkasih kita memang nyata?"

"Ayah kurang paham maksud pertanyaanmu/"

"Pertanyaanku, dari mana Ayah tahu bahwa Ayah betul-betul berbicara kepada hantu Kakek, misalkan, dan bukan setan yang Cuma menyaru sebagai Kakek? Bagaimana kalau setan itu mampu menyamar sebagai Kakek dengan sempurna? Seram, kan? Bayangkan saja; Ayah berada si surga bersama orang yang Ayah kira adalah Kakek. Rupanya hantu itu seperi Kakek, bicaranya seperti Kakek, tindak-tanduknya seperti Kakek, tapi bagaimana bisa Ayah mengetahui dengan pasti bahwa dia betul-betul Kakek? Lalu, semakin lama waktu berlalu, semakin Ayah tidak yakin. Ayah tidak pernah bisa meyakini, seratus persen, bahwa hantu-hantu di sekitar Ayah bukan setan yang menyamar. Jadi, roh Ayah yang melang dilanda keraguan selama-lamanya, takut kalau-kalau suary saat di keabadian mimik muka Kakek berubah secara mendadak, menjadi mengerikan, saat beliau memeluk Ayah."

Tunner bangkit sambil memegangi segelas air ke dadanya. Dagunya merah terkena saus pangsit.

Di seputar meja kecil bundar, aku memandangi Ibu dan Ayah saat keduanya saling pandang seoalh tidak mengenali siapa-siapa. Tak seorang pun berkata-kata.

Tunner keluar pelan-pelan dari dapur. Kami mendengarkan bunyi tapak kakinya, langkahnya menuju bagian rumah lebih dalam dan kemudian ke lantai atas ke kamarnya sendiri, lalu kami mendengar bunyi pintu yang ditutup.

Aku masih terpaku di tempat duduk, memandangi Ibu dan Ayah yang gusar, engathlah aku tidak bisa menterjemahkan ekspresi keduanya. Belakangan ini Tunner memang sedikit bertingkah aneh. Keanehannya tidak seperti anak remaja lainnya, yang seperti dimabuk cinta atau dijahili teman di sekolan. Tunner lebih sering mengurung diri di kamar, bukannya remaja SMA memiliki jam padat ekskul diluar dan pulang larut malam.

Sebenarnya Tunner sempat sekali aku pergoki keluar bersama teman kelasnya cowok. Aku tidak yakin mereka pergi urusan tugas sekolah atau hal lain, sehingga untuk mengobati rasa penasaran aku buntuti mereka berdua dari belakang. Ini kali pertamaku juga keluar rumah sendirian. Aku sebenarnya takun keluar sendirian, bukan karena penculik atau lainya, takut bila kutinggalkan rumah kardusku tanpa pengamanku, akan dibuang Ayah. Soalnya Ayah pernah berkata rumahan kardusku sanagt buluk dan hendak dibuangnya.

Mie pangsit tinggal sedikit di atas piring sajiku, niat hati ingin nambah tapi orangtuaku sedang terpatung karena pertanyaannya Tunner. Aku memutuskan segera menghabiskannya, lelehan keju yang tersisa kuhabiskan dengan lidahku meniru perilaku Tunner yang tadi aku teriaki menjijikan, tapi ini nikmat.

Segera kuhabiskan makananku, membereskan meja dari piring kotor, biasanya Tunner mambantuku. Aku sudah sejak kecil mengerjakan tugas ini supaya bisa mandiri. Aku sudah terlalu sebal apabila selalu dipangil anak kecil, usiaku sudah delan tahun, tapi mengapa semuanya masih menganggapku anak kecil. Tanganku masih sibuk mencuci setiap piring, wastafelnya sedikit tinggi jadi aku memerlukan kursi tambah supaya sampai. Asyik mencuci tiba-tiba air cucian werwarna merah, tapi aku yakin ini bukan saus karena sudah tahap pembilasan.

Semenit kemudian tanganku terasa perih berkedutan, tapi aku abaikan. Beberapa lama lagi tambah menjadi sehinga kuputuskan untuk mengentikan bilasan terakhir dan melihat seksama tangan kananku. Darah mengucur dari sela-sela jari, disana terdapat luka robek tidak cukup dalam namun cukup membuat darah mengalir deras.

Aku langsung terduduk ke meja makan melihati darah yang terus mengucur sedikit membasahi meja. Ibu yang tersadar akan keadaanku segera berteriak. Teriaknya histeris sekaligus kasihan, dia menarik ku keluar dapur dan menuju ruang tahu.

"Kamu harusnya sudah tahu kalau cuci piring pakai sarung tangan." Ibu membalutkan perban keseluruh luka dan memintaku menahas sakit.

"Aku tidak menyadarinya. Seingatku kita tidak ada yang memakai pisau saat makan. Bahkan aku masih ingat saat Ibu memasak sudah membereskan semua perkakasnya." Air mataku muali terbendung, rasanya sakit sekali saat luka diberikan obat merah untuk menghindari iritasi.

Ibu berkata, "Aku juga heran kenapa ada pisau diasana. Selagi memasak besar pun, tidak pernah membiarkan perkakas berantakan selalu kubereskan segera." Ibu masih mencoba mengikat tanganku dengan perban, "Ayah juga tidak pernah mengunakan perkakas masak, dia cuma hobi makan bukan menciptakannya."

Malam itu membuat aku sedikit was-was atas tersayatnya tanganku. Darahnya hampir memenuhi ruang dapur dan ruang tamu. Selepas selesai diperba aku disuruh Ibu untuk langsung pergi ke kamar dan lekas tidur, katanya dengan tidur lukaku akan lebih cepat sembuh. Sebenarnya aku mau menangkis semua kebohonganya itu, tapi tidak jadi, ku ambrukkan tubuh ke kasur dan tertidur.