Pertanyaan Amel membuat Bpk Dika mematung, entah dia heran atau perpesona akan kecantikannya. Jujur sejak perjalanan pertama Amel memang wangi. Bukannya aku tidak, tapi wanginya Amel bisa membuat orang di sekitarnya merasa nyaman dan tenang. Berbeda jauh dengan parfumku yang hanya sekedar harus tapi tidak tahan lama, sehingga perlu disemprotkan berulang kali.
Bapak Dika sepertinya mengerti dan ingin merespon pertanyaannya Amel, "Be-beg-begini, Nona." Dia tidak diberi ruang berbicara. Aku segera memegang pundak Amel sebagai isyarat untuk menghentikan terpaan pertanyaan itu.
"Sekitar seminggu yang lalu ada sekumpulan remaja, mereka mengaku dari stasiun TV ternana di kota. Mereka bertujuan ingin melakukan shoteng di rumah ini sebagai pembuktian bahwa apakah benar angker atau tidaknya," Bapak Dika duduk di tangga teras, "Aku sempat memberi tahu mereka akan cerita yang pernah terjadi di rumah ini, betapa mengerikannya peristiwa itu, dan bangunannya sudah tidak aman." Mengambil napas.
"Hingga malam itu terjadi. Saya dan beberapa warga sengaja ingin berkunjung ke lokasi kegiatan mereka, membawakan sekitik makanan sehabis hajatan tetangga. Awalnya kami berjalan santai, tidak terburu-buru karena memang kondisi jalan setapaknya sudah buruk. Dari pohon bantu besar berderet itu kami melihat seperti ada kobaran api, bola api yang mengarah ke lokasi, sontak hal itu membuat kami ketakukan dan cemas pada mereka. Sesampainya di lokasi, kami tidak menemukan siapa-siapa, padahal itu masih habis magrib, hari belum berlalu gelap, kami mencari di sekitar rumah barang kali mereka sedang mengumpulkan kayu, tetap saja nihil." Aku mengambilkan roti selai nanas kepada Bapak Dika. Dia sedikit terlihat kelelahan dan berkeringat dingin.
"Kami hanya bisa menemukan tendanya saja. Semua barang untuk kegiatan masih ada di tenda, makanan, minuman, dan hanpone masih dalam kondisi baik tidak ada yang mencurigakan. Hanya orangnya saja tidak ada ditempat. Akhirnya saya menelpon Bapak RT untuk datang ke lokasi bersama tetua adat," dia memakan roti yang aku berikan tapi gigitan kecil, "Kami mengadakan doa bersama di depan tenda, itu bekasnya masih ada," Bapak Dika menunjuk lokasi pasak tenda.
"Tetua adat terus memimpin doa bersama. Sekitar satu jam setengah tidak ada tanda-tanda kedatang mereka. Kami semakin cemas, hampir berpikiran negatif. Tiba-tiba ada suara teriakan dari belakang rumah, suara wanita, melengking, dan terkikih-kikih. Saya dan beberapa warga mencoba menelusurinya, berjalan mengiari rumah dari arah kanan ke belakang. Saya yang memegang senter terus menyorot ke depan, samping, atas, dan bawah api tidak menemukan sumber suara.
"Apa yang sebenarnya terjadi, K? Apakah rumahmu ada ruang rahasia?" Amel bertanya dengan menatapku.
"Aku sendiri tidak begitu ingat, yang tampak dari lorong hanya ruang bawah tanah, di sana kami menyimpan perapian dengan pipi yang menjalur ke penjuru rumah untuk memberi kehangatan."
Bapak Dika melihatku denga saksama, dia seperti mencoba mengingat-ingat kenangan lama.
"Nona ini sepertinya tahu betul setiap ruang rumah ini?"
Aku terdiam sejenak, menguasai diri supaya tidak mencurigakan. "Benar, Bapak Dika. Saya baru saja melihatnya hari ini," kusampaikan dengan lembut, "Kami sudah memeriksa rumah ini, tadi. Jadi sedikit tahu peta ruma.
"Oalah.. Iya, ya."
"Terus, apa yang terjadi selanjutnya dari cerita Bapak tadi? Saya harap bisa mendaptkan data penuh, tidak usah dipersingkat, Bapak Dika boelh menceritakan detailnya kepada saya. Saya bisa menjaga rahasia." Amel kembali bersemangat mewawancarai. Terkadang tingkahnya ini membuatku malu, tapi sekaligus senang karena dia lebih cerewet dari pada aku.
Waktu memang tidak bisa dihentikan, kami larut dalam ceritanya Bapak Dika tanpa sadar sudah semakin gelap. Kami ditawari beliau untuk menginap di rumahnya, karena memang jaraknya tidak jauh, sepuluh menit sudah sampai. Aku dan Amel saling menatap, memberi isyarat untuk menerima ajakan beliau, karena memang aku ingin membantu Amel dalam mengumpulkan data wawancaranya. Meskipun aku narasumber utama, tapi tidak salah untuk menambah narasumber lain, kata Amel.
Kami berjalan menuju rumah beliau, Amel berjalan disampingnya sambil berbincang-bincang. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan tapi terlihat sangat serius. Sore itu suasana sedikt berbeda di desa, setiap kami berjalan tidak ada warga yang terlihat di luar rumah. Aku menjadi penasaran dan bertanya ada apa di desa ini kepada Bapak Dani.
"Permisa, Pak Dani. Setahu saya desa ini memiliki daya tarik wisata berupa air terjun di kaki gugung. Tetapi semenjak kedatangan kami di siang tadi, kami sama sekali tidak melihat warga yang beraktivitas di luar lumah, atau wisatawan yang sedang menuju air terjun. Hanya, Pak Dani saja yang seharian ini kami temui?"
Pak Dani menoleh kebelakang sejenak, "Ohh, iya ya. Saya belum menjelaskannya. Di desa itu berbeda dengan kota, Nona. Kami hidup hanya untuk keberja dan selebihnya istirahat di rumah, kegiatan desa tetap kami jalankan, hanya saja karena seharian sibuk bekerja kami lebih mengurung diri di rumah." Dani tersenyum.
Tidak terasa sudah sampai di depan rumah beliau. Rumahnya besar, gaya panggung, teranya memiliki empat anak tanga. Sesampainya di sana muncul sosok wanita dewasa dengan mengendong anak usia tiga tahun bersamanya, senyum ramah menyambut kami. Pak Dani izin undur diri untuk bersolek. Aku dan Amel sudah berada di ruang tahu, ruangannya sangat lebar dan panjang. Di sudut ruangan terdapat kayu penyangga atap, di setiap penyangga terdapat lampu hias. Rumah ini selebihnya mirip, rumah adat Jawa.
Istri Pak Dani sangat samar kepada kami, beliau menyuguhkan teh hangat beserta ubi rebus. Menu andalan di rumah ini. Istri Pak Dani tidak banyak berbicara, beliau masih belibet mengurus anaknya. Sehingga hanya kami berdua yang ditinggalkan di ruang tamu besar ini.
"Amel, kamu pernah berkunjung ke rumah seperti ini?" tanyaku sambil menyeruput teh hangat.
"Pernah. Emm, sekitar satu tahun lalu. Saat itu ada project wawancara ke sesepuh di kota sebrang, kami menghabiskan waktu di rumah beliau, hampir persih seperti rumah Pak Dani, hanya saja kurang di bagian tengah ruangan tidak ada lampu gantung besarnya." Amel juga menyeruput tehnya.
Kami mengasyikan diri di rumah ini. Rumah dengan lingkungan sepi membuat lebih rileks, dibanding hirup-pikup perkotaan dan hotel mewahnya. Di desa, kita lebih bisa merasakan nuansa lama, seperti anak rantau yang sudah lama tidak pulang. Tidak terasa lamanya kami menunggu Pak Dani kembali, ubi rebus dan teh sudah habis, mungkin sedang kelaparan tapi tidak dirasa. Amel asyik melihat kembali hasil remakan sebelumnya, terdapat dua kali rekaman, karena aku sengaja merekam sendiri supaya tidak membuang waktu.
Waktu menunjukkan pukul sembilan belas setempat, suara burung malam mulai saling sapa. Pepohonan tertium angin menambah nuansa merinding, meskipun rumah Pak Dani tepat berada di tengah desa, tapi sepi menguasainya. Aku beranjak dari kursi, berdiri dan meregangkan setiap otot pergelanggan, suara letupan sendi mengisi ruangan. Aku berjalan ke teras depan untuk melihat situasi lingkungan, tetanga Pak Dani seperti sedang memiliki hajatan, terlihat beberapa orang sedang bersila dan merapal doa.
Para wanitanya terlihat sibuk di bagian belakang dengan menyiapkan makanan, tapi juga ada wanita yang ikut dalam lingkaran doa itu. Mereka sangat terlihat khusyuk, lantunan doa sayup-sayup ke telingaku, membuat bulu kudu berdiri bukan karena takun akan dosaku, namun seperti kerinduan bertemu kekasih. Kemudian dari arah darunya terlihat seorang wanita menghampiriku, seperti membawakan makanan.