Semakin malam warkop desa X lebih ramai didatangi pengunjung. Mereka berasal dari desa tetangga juga. Mereka memilih bersantai menghabiskan sisa waktunya sebelum tidur, hanya sekadar untuk bercerita tentang keseharian, pengalaman baru, dan politik.
Terlihat juga beberapa remaja turut meramaikan warkop itu. Mereka nongkrong untuk sekadar bermain gaplek dan menonton bola. Wajar saja, karena hanya di warkop yang memiliki televisi berukuran besar. Hanya warkop inilah yang bisa mereka menikmati sebagai hiburan, menikmati kebersamaan dan melepas penat bekerja di siang hari.
Pak Dika dan Sesepuh masih larut dalam perbincangan serius. Perbincangan itu terus membahas tentang rumah angker dan lahan kosong. Meski perbincangan itu aku yang pantik demi untuk mengetahui keseluruhan cerita yang sebenarnya dari rumahku.
Sesepuh sepertinya memiliki pengetahuan tentang ajaran leluhur. Setiap ucapannya memiliki makta yang mendalam. Sehingga tak wajar jika membuatnya sangat disegani oleh masyarakat desa. Terutama setiap tutur katanya sangat santun dan tidak menggurui.
"Sudah sudah saya bilang, bahwa ketakutan itu hanya akan membawa petaka dalam kehidupan. Kita tidak usah merasa takut kepada setiap ciptaan-Nya. Harusnya, takut pada kemurkaan-Nya, karena kita telah berpaling." Ujar sesepuh kepada Pak Dika yang asyik menyeruput kopi keduanya.
"Sampean harus bisa mengendalikan setiap emosi di dalam diri. Sampean sudah paham belum tentang penjernihan jiwa? Ini penting bagi setiap manusia supaya bisa terhindar dari segala kesesatan jiwa." lanjutnya.
Tampa menunggu tangapan Pak Dika. Sesepuh mulai menjelaskan tentang penjernihan jiwa. Setiap kalimatnya sangat ringan. Dan, jelasnya bahwa ilmu ini sudah ada sejak masa kejayaan majapahit, yang telah diturunkan ke anak cucu. Ujarnya, beliau adalah salah satu keturunan keluarga majapahit.
Sejatinya keberadaan Tuhan/Sang Suwung, Diri Sejati, dan Sang Aku/Ego/Jiwa merupakan kesatuan, tidak pernah terpisah. Tetapi Sang Aku/Ego/Jiwa mengalami keterpisahan dengan Diri Sejati dan Tuhan.
Beliau juga menjelaskan perbedaannya. Tuhan/Sang Suwuh adalah entitas pencipta alam semesta. Dia memiliki kehendak atas segala ciptaan. Dan, setiap ciptaannya, adalah penggejawantahan atas diri-Nya sebagai Diri Sejati, yang menjadi pengendali seluruh sedulur papat.
Keberadaan ketiga, yaitu Sang Aku/Ego/Jiwa. Keberadaan ini mencerminkan atas esensi dunia fisik. Dan, dia tidak bisa menangkap keberadaan serta pesan dari Diri Sejati. Sehingga untuk membantu menangkap pesan, diperlukannya perangkat lain yaitu, Rasa Sejati.
Rasa sejati merupakan perangkat untuk mengetahui realitas dan menyampaikan pesan ke otak. Perkara ketakutan pada manusia, muncul karena Sang Aku/Ego/Jiwa telah tertutup oleh noda dunia fisik. Sehingga manusia tidak bisa mengerti dan mengenali tentang Sang Diri Sejati sebagai sumber pemurni jiwa.
"Mengapa keadaan demikian bisa terjadi? Sampean perhatikan." Lanjut sesepuh. Aku hanya bisa mematung mendengarkan penjelasannya. Seperi ada yang merasuk ke otakku untuk mencoba lebih menyederhanakan ucapan sesepuh. Aku lanjut memerhatikan.
Lanjut beliau, terdapat lima faktor yang menghalangi Diri Sejati. Pertama, nalar terlanjur penuh dengan ilusi. Terlalu banyak konsep, dogma, atau doktrin yang membuat nalar bebal. Sehingga tak bisa terhubung dengan rasa sejati. Kedua, adanya fungsi otak belum berkembang secara optimal yang, membuatnya sulit menangkap dan menguraikan pesan dari rasa sejati.
Ketiga, munculnya perasaan atau emosi berlebih yang berdampak pada terbentuknya tabir antara otak dan rasa sejati. Tabir itu terdiri dari rasa benci, marah, kecewa, sesal, dendam, dan semacamnya.
Keempat, tubuh dimasuki entitas atau makhluk astral dimensi bawah. Inilah penghalang paling kuat bagi jiwa untuk terhubung dengan Diri Sejati. Dan kelima, tabir energi yang terbentuk akibat benih karma buruk dari tindakan disharmonis di masa lalu.
Jiwa perlu dijernihkan dari berbagai tabir tersebut. Dan, perangkat otak perlu ditingkatkan kemampuannya. Dengan demikian, kesadaran yang berpangkal pada otak akan selaras dengan kesadaran rasa sejati. Sehingga melahirkan kondisi kejumbuhan; seorang benar-benar bisa menangkap pesan dan tuntunan Diri Sejati, yang merefleksikan sepenuhnya pesan dan tuntunan Tuhan pemilik alam semesta.
"Tidak ada lagi tabir antara Hulun, Hingsun, dan Gusti." ucap sesepuh yang kemudian menghirup panjang lalu melepaskannya.
Aku mendengarkan secara khidmat penjabaran beliau tentang penjernihan jiwa. Setiap kalimatnya merasuk dalam jiwa, menjelma menjadi sosok manusia yang penuh dosa. Sekujur tubuhnya menghitam dan matanya hitam seperti arang.
Semakin menyelami penjabaran sesepuh ternyata aku sudah larut dalam dimensi yang berbeda. Aku melihat tempat luas, tetapi keseluruhan gelap hingga tidak bisa melihat tubuhku sendiri. Semua indra pengerak terasa mati, aku tidak bisa merasakan keberadaan tangan, kaki, kepala, bahkan tubuh. Semua seperti terpisah.
Aku masih bisa mendengarkan setiap tutur kata dari sesepuh bersama Pak Dika. Suara mereka mengema diruang dimensi ini, membutku menemukan sebercak cahaya perlahan mendekati, entah aku yang mendekat atau cahaya yang mendekat, semua tampak sama disini. Semakin dekat cahaya, aku tenggelam didalamnya dan menyadari diriku sedang melayang.
Ternyata benar, aku tidak bisa menemukan tubuhku, hanya ada kesadaran. Aku mencoba berbicara tetapi mulutku menolak, wajahku telah hilang. Aku hanya kesadaran. Aku sadar maka aku ada, pikirku. Di dimensi ini, rasanya terus terjaga tidak ada rasa lelah, kesal, marah seperti semua emosi yang melekat pada diri manusia telah sirna dan hampa. Dimana aku?
Aku melayang entah akan bermuara di mana. Aku hanyalah kesadaran dan tidak bisa berinteraksi seperti di dunia fisik. Ruangan ini sangat luas dan mengeluarkan aroma harum munga setaman. Setiap memandag hanya ada embun tipis merah jambu yang ditemani taburan kemerlip bintang. Tetapi mataku tidak ada, aku melihat maka aku ada.
Beberapa saat setelah terombang ambing, aku menyadari bahwa ruangan yang sekarang kutempati berlapis tiga. Aku berada dibagian tengah kehampaan. Lapisan atas seperti tempat suci, dari sana terpancarkan cahaya dan terasa hangat. Di dalamnya terlihat beberapa pulau mengapung, dengan berdirinya berbagai bangunan megah sebesar gunung diatasnya. Tempat itu terlihat sangat subur, setiap awan memiliki taman lengkap dengan air mancur susu, tanaman indah, pohon berbuah serta hewan yang tidak ada didunia.
Aku adalah aku, terombang ambing di alam kehampaan. Kesadaranku terus terjaga tanpa adanya lelah. Tiba-tiba suasana berganti mengerikan, seperti ada yang menusuk dari bawah. Itu adalah tempat lapis bawah. Di dalamnya penuh keburukan. Lantainya berlapih besi merah menyala, bahkan setiap kaki yang menginjak akan langsung meleleh.
Aku masih terombang ambing sambil mengamati tempat dibawa. Terlihat beberapa sosok seperti aku di dunia, jumlahnya tidak bisa kuhitung. Mereka berjalan berbaris membentuk ular menuju pintu gerbang. Dan, sudah dinanti oleh sosok tinggi besar berkulit merah lahar, tidak berkepala tetapi memiliki mahkota. Suaranya sangat mengelegar sampai dapat mengetarkan seisi lapisan.
Keberadaanku diketahuinya tetapi, dia tidak merespon dan lebih menunjukkan kengerian lantai bawah. Dia mendorong setiap tubuku disana untuk masuk ke dalam gerbang. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di balik gerbang. Tetapi suara teriakan siksa mengeliat didalamnya.
Aku baru menyadari bahwa setiap sosok tubuhku dibawah sana, telah terpasang plat besi berukuran setengah badan. Plat itu bertuliskan tinta merah dengan tulisan seperti marah, benci, iri, sombong, kikir danlain sebagainya yang melambangkan keburukan.
Aku tidak mengerti atas semua yang diperlihatkan ini, sesalku. Aku masih terapung di lapis tengah yang sekaligus menerima setiap luka dan kebahagian secara bersamaan. Sampai pada titik dimana keberadaanku ditemukan oleh sosok bercahaya.
Dia tampak sangat bercahaya tetapi tidak menyucuk, cahayanya lembut. Sosok ini seperti menyatu denganku sehingga aku mendapatkan kembali tubuh utuh. Namun terselimut cayaha. Seluruh bagian tubuh telah muncul dan aku kembali bisa berbicara menggunakan mulut, melihat dengan mata, merasakan dengan indara.
Kemudian seutas tali putih melambai menghampiri. Sepertinya dia meminta untuk dipegang. Tanganku menjulur memegangnya dan kemudia tersadar sudah berada di warkop. Duduk bersama sesepuh dan Pak Dika. Mereka masih tetap membicarakan mengenai rumah kosong dan wejangan sesepuh.
Apa yang sedang terjadi, dan tempat apa itu, semua pertanyaan berebut tempat di pikiranku. Bahkan sepertinya, semua orang warung tidak menyadari peristiwa yang menimpaku. Mungkin hanya beberapa detik aku melamun, tetapi di dimensi itu terasa sangat lama. Kemudian kuambil napas panjang dan menghembuska perlahan, berkali-kali sampai keadaanku stabil.