Aku merebahkan diri ke kasur, mengingat kembali aktivitasku hari ini sambil menahan rasa perih di tangan. Padahal sudah diberi obat merah untuk mengentikan pendarahan, tetapi rasa perih tetap menjalar ke sekujur tanganku. Aku memandangi langit-langit kamar, cahaya dari luar jendela mengelayut malu mengintip dari balik korden.
Beberapa kali aku mendengar deruman mobil dari luar, engah sedang mogok atau memang begitu suaranya, sangat berisik. Beberapa menit kemudian keadaan di luar menjadi sunyi, mengalahkan kesunyian kamarku. Mataku masih kuat menatap langit kamar, kupingku dipenuhi suara sunyi sayut-sayut udara malam. Di bagian loteng terdengar suara merangkat pelan-pelan menuju ujung kamar, berhenti sejenak, merangkak lagi memutar arah.
Suara itu tetap saja ada sampai menit ke dua puluh berhenti, dan berganti suara tokek. Suaranya kencang, mengiasi setuap sudut rumah. Aku tidak tahu kalau di rumah ini ada toko, karena sepanjang umurku ini kali kedua setelah rumah Kakek aku mendengarnya.
"Tok-tokkek." Begitu terus. Aku mencoba melihat di sekitar kamar apakah dia ada disini. Semakin kuterusuri ternyata tidak ada, namun suara itu seperti tepat ada di balik pintu kamar, niat hati mau memerikasanya, tapi tidak jadi. Tanganku masih berkedut sakit dan tubuhku sudah mulai melekat pada kasur. Tanpa kusadari pandanganku tersa berat, seperti ada yang menutupnya perlahan, bayang-bayang hitam melintas dalam pikiranku.
Suara iklan distributor mobil lokal membangunkanku pada pukul 23.30. Seseorang meneriakkan: ingin harga murah? Datang pusat penjualan mobil kami, sekarang juga! Aku menyelipkan radio bekerku ke bawah bantal supaya orangtuaku tidak mendengarnya sewaktu berbunyi. Mataku masih terasa berat untuk di buka.
Terlihat lampu koridor dan kamar mandi sudah tidak menyala. Dengan kata lain, orangtuaku sudah mematikannya dan pergi tidur. Kamar mereka terletak di seberang kamar Tunner dan pintunya tertutup. Selepas kamar-kamar itu, di ujung koridor, terdapat teras dalam yang jendelanya bebercak-bercak berkat pancaran lampu jalanan.
Lantai koridor dingin di bawah kaki telanjangku, jadi aku berjalan sambil bertumpu ke tumit dan melengkungkan jari-jariku ke atas. Aku tidak repot-repot membawa serta buku Bobo. Pintu kamar Tunner terbuka secelah dan, dari dalam, tertumpahlah musik piano lirih dan cahaya lembut. Aku tidak mengetuk. Kudorong pintu megah itu pelan-pelan.
Kata Tunner. "Tutup pintu, tapi jangan ribut."
Aku menutup pintu sesuai perintah, memutar kenopnya sehati-hati mungkin seperti seorang pembobol brankas. Di kamarnya hanya ada lampu baca remang-remang yang terjaga, menyorot tempat tidur Tunner. Aku harus memicingkan mata dan berkecip-kedip sampai mataku menyesuaikan diri.
"Cepat, katakan padaku. Menurutmu, apakah kamarku sama seperti kali terakhir kau ke sini atau sudah berubah?"
Aku menengok ke sana kemari dengan hati-hati. Yang kumaksud dengan "hati-hati" adalah, aku tidak memelotot karena takut melihat terlalu lama, takut terlalu memperhatikan, takut menyaksikan formasi poster beserta anggota-anggota badan tumpang-tindih dan mulut serta gigi di tengah-tengah.
Kataku, "Masih sama."
"Mungkin memang masih sama. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin kamar ini berubah sewaktu kau pergi. Mungkin kemarin karpet dan tempat tiduku mencolok di langit-langit. Mungkin kamarku berubah terus-menerus, tapi kemudian berubah persis seperti kali terakhir kau ke sini tepat sebelum kau masuk barusan. Mungkin kamarmu seperti kamarku dan terus-menerus berubah juga, tapi diam-diam kau tidak memperhatikan."
"Hentikan. Aku kembali ke kamarku saja kalau bicaramu seperti ini terus."
Tunner duduk di kasurnya sambil memangku sebuah buku yang terbuka. Dia masih mengenakan sweter, sedangkan dagunya masih merah bekas saus pangsit. Rambutnya gelap, lepek, dan berat menjuntai, membebani kepalanya.
Kata Tunner, "Ayolah, aku hanya menggodamu. Duduklah di sebelahku, Angel. Aku sudah menyiapkan cerita baru untukmu."
Aku duduk dengan patuh di samping kakakku dan berkata, "Aku tidak suka suratmu, tahu." Membayangkan Tunner mengendap-endap ke dalam kamarku dan memencet hidungku selagi aku tidur. Kemudian aku membayangkan berbuat serupa pada Tunner dan justru berdebar-debar kegirangan karenanya.
"Kau tidak boleh lagi masuk tanpa izin ke kamarku. Kalau kau menyelinap ke kamarku lagi, akan kuberi tahu Ibu. Akan kutunjukkan suratmu." Aku merasa berani saat mengatakan semua itu dan keberanian itu membuat dadaku membusung sekaligus meringankan kepalaku.
"Maaf. Aku tidak bisa menjanjikan itu." Tunner mendadak menelengkan kepala dari kanan ke kiri, seperti sedang memasang kuping kalau-kalau orangtua kami keluar dari kamar dan melangkahkan kaki ke koridor.
"Tidak adil."
"Aku tahu. Tapi, aku punya cerita baru untukmu." Tunner membuka buku di pangkuannya. Itu bukuku, tentu saja, buku yang di curi dari kamarku; 'Panah Menembus Dunia'. Dia membuka buku ke halaman bergambar kartun Las Vegas. Bangunan-bangunannya berwarna hitam keabuan ada juga merah bata dan biru laut, bersesak-sesakan di halaman, saling sikut untuk memperebutkan ruang yang berharga. Jalan dan trotoar, orang-orang di jalan dan trotoar, telah tercoreng-moreng ditimpa benang hijau seperti yang dia gunakan sewaktu menulis surat untukku.
Kakakku berkata, "Las Vegas adalah kota terbesar di dunia, kan? Ketika yang tumbuh," Tunner terdiam sejenak dan menelusurkan tangan ke coretan hijau yang dia gambar di bukuku, "mulai tumbuh di sana, berarti mereka bisa tumbuh di mana saja. Mereka menguasai Central Park, menyembul keluar dari jalan setapak semen serta menyerap habis air mancur dan kolam-kolam di taman tersebut."
"Semua ini tumbuh membesar begitu saja, mendesak rumput-rumput dan pohon-pohon serta kotak-kotak bunga di birai jendela apartemen sampai semuanya mati, dan kemudian memenuhi jalanan. Ketika orang-orang mencoba memangkas yang tumbuh, pertumbuhannya justru makin cepat. Orang-orang tidak tahu bagaimana atau kenapa ini semua tumbuh. Di bawah jalan, di gorong-gorong, tidak terdapat tanah, kau tahu, tapi semua ini tetap saja tumbuh."
"Sulur-sulur rambat dan anak buluh menerobos jendela dan bangunan sampai rusak, lalu sejumlah orang mulai memanjati yang tumbuh supaya bisa membobol masuk ke apartemen dan mencuri makanan, uang, TV HD, tapi dalam waktu singkat, kota menjadi kepenuhan untuk ornag-orang, untuk segalanya, dan bangunan-bangunan menjadi keropos dan roboh."
"Yang tumbuh terus tumbuh dengan cepat di kota itu, bertambah panjang kira-kira tiga puluh sentimeter per jam. Di tampat-tempat lain juga sama." Tunner panjang lebar bercerita bahwa di daerah suburban, yang tumbuh mencaplok halaman-halaman apik dan taman-taman dan pelataran di rumah semua orang serta menggerogoti trotoar.
Di pedesaan serta di ladang, yang tumbuh menggasak lahan jagung, gandum, kedelai, dan semua tanaman budidaya lain. Yang tumbuh tidak bisa dihentikan pertumbuhannya, maka orang-orang lantas mengguyurkan dan menyemprot bergalon-galon herbisida, tapi yang tumbuh tetap saja tidak mati-mati. Orang-orang sengaja menjadi pusat asa dan lantas menuangkan berbotol-botol cairan pembersih toilet, soda api, dan pemutih. Tak satu pun ampuh membasmi yang tumbuh. Bahan-bahan kimia beracun tersebut justru merembes ke air tanah dan meracuni segalanya.