Suasana sedikit menjadi tenang ketika kumengamati buku. Halaman ke halaman aku amati semua penuh dengan yang tumbuh. Sulur-sulur terus tumbuh dengan cepat menjalar ke berbagai jalanan, gedung-gedung, hingga kamar. Aku tidak bisa menterjemahkan akan peristiwa yang digambarkan Tunner.
Setiap gambarnya terihat menyeramkam, bahkan dia bisa mengambar orang dengan tubuh yang terlilit yang tumbuuh itu dengan baik, melilit sampai kepala, yang tumbuh masuk melalui mulut. Aku dibikin ngeri melihat gambar itu. Apakah ini gambaran siksa neraka, kataku dalam hati. Tunner sempat menyinggung tentang surga di meja makan kemarin sore.
Dia banyak mengeluarkan argumen tentang surga. Tentu saja ini tidak bisa diterima sama seluruh orang di rumah. Teru tama Ibu, beliau memang memiliki imannya sendiri, mengenai surga dan neraka, bukan perkara remeh yang harus ditampilkan ke permukaan. Ibu berpaham nasionalis, beliaus sangat menjungjung tinggi nilai-nilai luruh di dalam hidupnya. Seperti kebanyakan orang nasionalis, mereka tidak candu akan dogma ajaran tertentu. Tentu saja, hal ini bertentangan dengan Ayah, yang merupakan penganut ajaran surgawi.
Aku tidak mengerti kenapa mereka bisa menjalih hubungan ini hingga kami, Tunner dan aku terlahir. Bukankah seorang yang patuh pada ajarannya lebih memilih orang yang sama, yang mereka angap suci. Ibu juga demikian, apa karena bentuk nasionalis dan toleransinya dalam hidup, beliau menerima cinta Ayah pada pandangan pertama yang dibalut ketidak sengajaan.
Pikiranku dipenuhi hal-hal itu semua, membuatku sedikit pusing, apa lagi kamar Tunner hanya bercahayakan lampu belajar. Sehingga aku bisa lebih leluasa membayangkan yang tidak harusnya dibayangkan. Aku kembali mencoba memahami gambar Tunner yang aneh.
Aku merunut benang kusut hijau di halaman Las Vegas, kepalaku kembali sibuk membayangkan sulur-sulur yang mengular beserta daun-daun dan duri-duri, mereka tampak sehat dan ganas ketika sudah dewasa, tanaman itu seperti tahu keberadaan mahluk hidup. Sehingga ketika tubuhnya dewasa, dia segera menyerang apa pun yang hidup.
Beberapa menit ketika aku tersadar bahwa Tunner telah berhenti berbicara dan tengah menatapku. Dia menatap penuh keyakinan, matanya disipit-sipitkan, napasnya terasa hangat, wajahnya tampak mengodaku untuk berkata-kata.
"Masih ada kelanjutannya. Coba tanya aku."
Aku tahu Tunner bermaksud aku menanyakan sesuatau pada karyanya. Kusambar pancingannya. "Bagaimana dengan kita? Bagaimana supaya kita bisa mengalahkan yang tumbuh?"
Tunner menutup buku dan mematikan lampu baca di sandaran tempat tidurnya. Suasana teramat gelap gulita sehingga kami seakan-akan hanya berdua di dalam kamar. Tapi, mungkin juga tidak, sebab mata dan paru-paru serta pundakku terasa berat seperti terimpit sesuatu.
Tunner mendorong kepalaku ke pangkuannya. Kakinya sedikit berbau keringat dan dia mengusap-usap rambutku dengan kasar, jemarinya mengelus helai-helai rambutku dan tersangkut. Tunner semata-mata menjambak rambutku supaya jemarinya terlepas.
Katanya, "Menjelang akhir, yang tertinggal hanyalah dua anak perempuan yang menghuni rumah kecil di puncak gunung. Rumah itu persis seperti rumah-rumahan kardus di kamarmu. Kedua anak perempuan itu bernama Tunner dan Angel. Mereka tinggal bersama ayah mereka. Ibu mereka telah menghilang sewaktu pergi belanja berminggu-minggu sebelumnya, ketika yang tumbuh mulai menyerang kota mereka.
"Makanan yang mereka miliki sudah tidak cukup, sedangkan ayah mereka sudah tidak beres. Hari demi hari, sang ayah melewatkan waktu dengan mengunci diri di dalam kamar. Tunner yang malang juga tidak beres. Dia sakit. Kurang gizi. Dehidrasi. Dia mendengar suara berbisik-bisik yang menyuruhnya berbuat macam-macam. Supaya baikan, dia diam saja di kasur dan berusaha untuk tidur, tapi sia-sia saja. Cuma Angel kecil pemebrani yang masih sehat jasmani-rohani.
"Pada hari terakhir, ayah mereka meninggalkan rumah untuk mencari makanan. Sang ayah melarang Angel membukakakn pintu depan apa pun alasannya, juga melarang masuk ke ruang bawah tanah. Seiring jam demi jam yang berlalu, Angel tidak tahu mesti berbuat apa karena Tunner batuk-batuk terus dan mengerang-erang serta berkomat-kamit tidak jelas.
"Dia membutuhkan makanan, air, sesuatu. Oleh sebab itu, Angel turun ke ruang bawah tanah, siapa tahu di sana tersimpan persediaan makanan rahasia yang terlupa. Namun, dia justru mendapati bahwa pucuk yang tumbuh menyembul dari lantai tanah. Dia menyaksikan yang tumbuh bertumbuh, terus dan terus.
"Selagi yang tumbuh meliuk-liuk ke atas, sebuah bentuk besar meruyak dari tanah dan menggelendot dari sulur seperti boneka rusak. Ternyata itu adalah jasad Ibu mereka. Saat itulah Angel menyadari sebuah kebenaran mencekam, yakni bahwa ayah mereka telah meracuni dan mengubur ibu mereka di ruang bawah tanah, dan juga meracuni Tunner pelan-pelan. Itulah satu-satunya penjelasan mengapa Tunner sakit. Ayah mereka telah meracuni Tunner, sedangkan Angel akan menjadi korban berikutnya.
"Angel lari dari ruang bawah tanah dan menuju lantai atas untuk mendatangi Tunner dan merangkak naik ke kasur di sampingnya. Yang tumbuh kemudian merekah dari lantai dapur dan merajalela ke seisi rumah, menjadikan semuanya hijau. Rumah-rumah kardus kecil di gunung berderit-derit dan mendecit karena terdesak oleh yang tumbuh, yang meretakkan lantai dan tembok serta langit-langit. Kemudian. Terdengarlah ketukan keras di pintu depan rumah mereka."
Tunner terdiam dan mengetuk kepalaku dengan lembut namun berkali-kali. Tidak terlalu keras sehingga tidak sakit, tapi masih cukup kerasa sehingga aku merasa seolah-olah dia tengah mengetuk-ngetuk bagian dalam kepalaku.
"Angel berusaha mengabaikan ketukan di pintu. Dia justru mengajukan dua pertanyaan kepada Tunner; 'Apa yang harus kita lakukan kalau bukan Ayah yang berada di depan pintu? Tapi kalau ya, apa yang harus kita lakukan?"
Aku duduk tegak dan berguling meninggalkan pangkuan Tunner, menjatuhkan diri ke lantai hingga lututku terbentur. Benturan itu keras sampai-sampai gigiku bergemeletuk. Aku berdiri terhuyung-huyung, mataku yang berkaca-kaca terasa perih.
Aku hendak meneriakkan kau 'kakak yang jahat dan aku benci kau!'
Tapi, Tunner lantas berkata, "Aku sedang tidak sehat, Angel. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu. Maafkan aku," dengan suara tersendat. Ditutupinya wajah dengan tangan.
Aku berkata, "Tidak apa-apa. Tapi, kalau kau sakit, lama-lama kau pasti sembuh, kan? Kemudian kita bisa membuat cerita yang biasa, seperti dulu. Pasti asyik deh."
"Ya, tapi kau harus mengingat cerita tentang dua kakak-beradik barusan. Kau harus mengingat semua ceritaku, karena—karena cerita-ceritaku seperti hantu yang memenuhi kepala dan aku sedang berusaha mengeluarkannya, tapi kau terutama harus mengingat-ingat cerita tentang dua kakak-beradik itu, ya? Harus. Tolong katakan, 'Ya'."
Tunner hanya berupa bayangan di tempat tidurnya. Aku bisa saja salah dikira sebagai gundukan selimut yang terbelit-belit dan dicampakkan. Aku tidak bisa melihat mata kakakku ataupun dagunya yang bernoda saus pangsit.
Ketika aku tidak menjawab, Tunner menjerit seperti mendapat serangan; saking nyaringnya, aku terlompat dari lantai dan terempas ke belakanng.
"Bilang. 'Ya', Angel! Ayo, katakan!"
Aku diam seribu bahasa. Lalu, aku kabur dari kamarnya.