Rumah kami masih terasa sunyi setelah kejadian yang menimpa Amel. Lorong-lorong semakin terlihat menyeramkan karena sinar matahari mulai kembali ke ufuk. Suara mendecit dan gemuruh di atas loteng semakin ribut. Menandakan mahluk nokturnal memulai harinya. Di seluruh lorong aku merasakan kelembaban, kesunyian, bau tanah, aroma besi yang berkarat, serta amoniak mungkin dari kotoran kelelawar.
Waktu masih menunjukkan pukul lima belas waktu indonesia barat. Dan Amel sudah kembali ke kondisinya yang bugar. Dia mencoba berdiri dari tempat pertapaannya di bangku berkutu itu, bajunya sedikit longgar untuk memberi ruang udara menyegarkan tubuhnya. Aku memberikannya lagi air mineral yang ke dua kali kepadanya, Amel tampak kehausan.
Dia teguk semua air sampai kulit botol keriput. Apakah dia sehaus itu atau sedang bercanda padaku. Pasalnya aku sendiri tidak merasakan haus sejak kaki pertama menapak di teras rumah. mungkin karena sudah terlalu sering tubuh ini merasakan kesulitan, hingga apa yang susah bagi orang lain, tampak kecil di hadapanku.
Aku membiarkan Amel untuk lebih rileks. Amel adalah orang urban yang berasal dari negara lain. Sudah dipastikan dia belum sepenuhnya mengerti konsep kerasukan. Meskipun mereka sudah memiliki pengetahuan akan hal tersebut, tidak menutup kemungkin adanya kekurangan lengkapnya pengetahuan ini.
Mereka yang mempelajari belum tentu sekaligus menjadi praktisi. Mereka yang sebagai praktisi belum tentu bisa menjabarkan ilmu secara utuh untuk dikonsumsi khalayak umum. Konsep kerasukan tertera apa hierarki diri manusianya atau pengenalan diri sebagai manusia.
Seorang yang pernah kerasukan, jiwa mereka akan tersisihkan. Jiwa yang lemah akan kalah dengan ruh jahat untuk menguasai tubuh manusia. Jiwa yang tersisih, tidak sebenarnya hilang, dia akan berada di tempat lain di dalam alam ruh tubuh manusia, yang dilindungi oleh sedulur papat. Dan pengambilalihan tubuh dikarenakan jiwa terlalu lemah, dipenuhi banyak kekhilafan, kesalahan, rapuh, goyah, sedih, malas, nestapa, tanpa pegangan kuat pada penciptanya. Sehingga membuat jiwa menjadi pudar dan mudah tersisihkan dari tubuhnya, diambil alih mahluk lain.
Sebenarnya manusia bisa memperkokoh jiwanya dengan cara mengenali diri sebagai manusia. Pengenalan diri sebagai manusia secara apa adanya dan seutuhnya menjadi dasar untuk bisa menjalani hidup selaras dengan rancangan pemilik semesta.
Ada beberapa cara untuk sampai pada pengenalan diri. Di antaranya, melalui perenungan atau kontemplasi terhadap fenomena-fenomena yang teramati di sekitar kita. Menjadikan diri kita peka terhadap keadaan sekitar, merespon segala kejadian-kejadian, menghayati setiap detak kehidupan. Sehingga menjadikan jiwa bisa merasakan energi alam secara lebih utuh, dan memahami bahwa manusia bagian dari itu semua.
Kedua, melalui meditasi atau laku—dalam pemahaman masyarakat Jawa—menyelami relung jiwa dan memahami keterhubungan dengan sang pencipta. Sehingga secara spontan muncul pengetahuan yang akurat tentang diri manusia.
Hingsun—dalam kosmologi pengetahuan Jawa—adalah emanasi atau pengejawantahan dari pemiliki alam semesta. Inilah realitas terdalam manusia yang diungkapkan dengan bahasa berbeda-beda dalam berbagai tradisi. Dalam khazanah spiritual di nusantara, realitas ini dijuluki hingsun/sukna sayekti. Tetapi ada juga yang mengenalnya dengan kata roh, yang diadopsi dari khazanah Timur Tengah. Bisa juga disebut spirit, yang diadopsi dari bahasa inggris. Dalam bahasa sanskerta, realitas ini dijuluki atman.
Hingsun sejatinya adalah daya hidup dan inteligensi tertinggi manusia. Roh manusia adalah pencipta semesta yang mengejawantahkan menjadi esensi cahaya manusia, atau pancer. Inilah manifestasi paling murni dari pancer dalam diri manusia. Oleh karena itulah, asal manusia bisa menjaga prilakunya dia akan terhindar dari bahaya, dia akan terlihat bercahaya dipandang makhluk lainnya.
Tiba-tiba Amel menghampiriku ke depan, berjalannya sudah tegar dan menggoreskan senyum manisnya. Aku tidak mau bergerak supaya tidak terlalu menghabiskan tenaga, biarkan Amel mendekat dengan sendirinya.
"Aku sudah baikan, K." Dia membungkuk di tepian teras rumah, membuang sampah minumannya.
"Baguslah, aku tidak akan bisa pulang kalau kamu masih melas. Maksudnya, aku tidak akan sanggup mengendong wanita dewasa seperti. Meski pun aku rajin berolahraga tapi tidak akan sanggup, karena aku berolahraga supaya tetap menjaga kebugaran tubuh bukan melatih otot!" aku menyingsingkan tangan baju, menunjukkan seberapa besar otot lengan yang kumiliki tidak akan mampu membawanya pergi.
"Hahahaha.. aku juga tidak ingin merepotkan tuan rumah."
Sambung Amel, "Kita bisa lanjutkan wawancaranya, K?"
"Bisa saja, tapi biarkan aku menghabiskan hisapan terakhir ini!"
Amel menuruti permintaanku, dia tampak sabar menemani perjalanan ini, dia juga tidak mengeluhkan sikapku dan kejadian yang menimpanya. Aku segera menghabiskan hisapan terakhir dan menyiapkannya ke udara. Tiba-tiba dari kejauhan sosok hitam berjalan perlahan di dalam hutan, mata kusipitkan supaya tampak lebih jelas rupa sosok tersebut. Tubuhnya tinggi seperti pria dewasa, tangan kanan seperti memegang cangkul dan lehernya bertengger topi jerami.
Aku segera menanyakan kepada Amel prihal sosok misterius ini. Amel sendiri juga tidak bisa mengenalinya dengan jelas, karena tertutup rapatnya pepohonan. Namun bisa dipastikan, sosok itu sedang mendekat ke rumah. Saking penasarannya kami tidak segera melarikan diri, malah menantang kedatangannya di teras rumah.
"Pe-permisi, Nona." Kata sosok pria paruh baya itu kepada kami. Dia tidak terlihat menyeramkan dari dekat, hanya saja celananya penuh lumpur, bajunya longgar yang memperlihatkan otot seorang petani setelah membajak sawah.
"Apa yang kalian lakukan di sekitar sini. Sebelumnya tidak ada orang yang berani beristirahat di sini berlama-lama?!"
Aku mendekatinya dengan ramah supaya kami tidak dicurigai sebagai pencuri. Tapi mencuri rumah sendiri adalah kasus yang lucu. "Maaf sebelumnya, dengan Bapak siapa ini?" aku berdiri tepat di depannya dengan menabur senyum.
"Dika, Nona. Saya warga di sekitar sini yang kebetulan sedang membajak sawah tepat belakang pekarangan rumah ini. Tadinya, saya mendengar sedikit kegaduhan seperi ada orang berteriak dari dalam rumah. Tapi, pikir saya aneh sekali di rumah kosong ada pengunjung sehingga segera saya kemari." Pria itu meletakkan cangkulnya dan sambil membersihkan sedikit lumpur di bajunya.
"Nona datang dari mana, dan ada keperluan apa di sini? Kalau Nona ingin menyewa rumah ini sebagai bagian produksi film, saya sarankan dibatalkan karena ada beberapa waktu lalu seorang membuat dokumentasi di rumah ini waktu malam hari. Tetapi tidak berjalan lancar, karena ada banyak gangguan mahluk halus."
Aku mencoba mengamati perkataan pria itu, karena keberadaannya sendiri sedikit aneh. Aku tahu betul lingkungan sekitar rumah, tidak ada yang namanya sawah atau lahan garap. Jangan-jangan orang ini sedang melakukan penggarapan lahan secara ilegal di pekarangan rumah kami. Aku yang masih terdiam memikirkan yang bukan-bukan, Amel mendatangi kami.
"Salam kenal, Bapak Dika. Saya Amel wartawan kota Srengat yang sedang meliput rumah ini. Kedatangan kami sudah jauh hari mendapatkan persetujuan dari pengelola properti dan kepala dusun." Wajah Amel terlihat tenang tapi tegas.
"Tadi, Bpk Dika bilang beberapa hari lalu ada orang yang mencoba melakukan uji nyali dengan camping di sini ya, Pak?", amel segera mengeluarkan alat perekamnya, "Kalau boleh tahu kejadian seperti apa saja yang mereka temui, berapa hari mereka menginap, kenapa mereka memilih tempat ini, apakah mereka tertarik dengan hal-hal mistis...." pertanyaan Amel sepertu hujan peluru perang dunia ke dua. Dia membuat Bpk Dika mematung sekejap.