Seharian aku berdiam diri di kamar, mematung untuk mengamati sekitar apakah benar Tunner berhasil masuk tapi tidak meninggalkan jejak sekalipun. Tetapi itu benar-benar aneh mendapati kamarku tidak berantakan, jebakan yang terpasang tetap pada tempatnya.
Pikiranku yang bergulat pada kemungkinan-kemungkinan yang Tunner lakukan membuatku capek sekali. Dan malam harinya kuputuskan ke dapur, kami menyantap makan malam, tidak pernah di ruang makan.
Meja makan kami, dilihat dari kondisinya, digunakan bukan untuk makan, melainkan untuk menampung tumpukan cucian bersih yang sudah dilipat dan seharusnya kami bawa naik ke kamar masing-masing untuk disimpan dengan rapi, tapi yang nyatanya kami biarkan begitu saja.
Tumpukan pakaian terlipat terus bertambah tinggi hingga tidak stabil, kemudian menciut menjadi gundukan-gundukan kecil berantakan yang terdiri dari kaus kaki dan baju dalam selepas kami memilah-milah pakain mana yang hendak kami kenakan.
Malam ini Ibu memasak mie pangsit dan sedikit mengerutu keras-keras, sepertinya ditujukan peda ayahku yang masih duduk di depan komputer dalam ruang keluarga, bedasarkan kelotak papan ketik yang kami semua dengar. Makan malam sudah siap lima menit lalu. Tunner dan aku duduk sambil menghadap sepiring penuh mie pangsit yang mengepul-ngepul.
Tunner suka mie yang dibumbui saus merah, seperti kolam merah. Berbeda dengan pangsitku yang tampak hambar dengan dilumuri mentega leleh, merica, dan keju parut nan melimpah. Rasanya sangat nikmat sekali terutama pada lelehan keju yang menyelimuti pangsit, di setiap gigitanya akan membawamu ke surga. Cuma perumpamaan, tapi asli nikmat sekali.
Ibu mengatakan kepada kami baru boleh makan setelah "beliau datang". Bahwa kami tidak boelh menyentuh makanan merupakan bentuk hukuman untuk Ayah, entah kenapa. Aku memegangi perutku, aroma pangsit sudah sangat mengoda, limbung di kursi, dan mengumumkan, "Aku bakal mati kalau tidak makan! Ayo, Yah!"
Tunner duduk terkulai dalam balutan sweter kucel kebesaran. Dia berbisik, "Diam, Monyet," kepadaku, rasanya cukup pelan sehingga hanya aku seorang yang mendengar, Ibu yang berdiri tepat di belakang Tunner, tidak mendampratnya.
Ayah berjingkat-jingkat ke dalam dapur dan menurunkan diri ke kursi. Aku selalu tercengang melihat betapa ayahku bisa bergerak dengan teramat luwes dan tenang, padahal beliau seorang pria berbadan besar.
"Maaf. Cuma harus mengecek surel. Tidak mendapatkan balasan dari tempat-tempat yang kuharapkan."
Ayah kehilangan pekerjaan lebih dari setahun lalu. Selulus SMA, beliau mulai bekerja di PT Garam Manis, perusahaan pembuat gula yang berbasis di Srengat. Pada penghujung masa kerjanya selama sembilan belas tahun, Ayah menjadi penanggung jawab ruang surat korporasi. PT Garam Manis sudah kembang kempis selama bertahun-tahun dan beberapa kali Ayah selamat dari PHK massal, tapi ketika perusahaan dijual, beliau tidak selamat dan akhirnya diberhentikan. Beiau belum juga mendapat pekerjaan.
Ibu berkata, "Aku yakin mengecek sural bisa ditunda sehabis makan malam." Beliau luar biasa resah malam ini. Pasti bawaan dari tadi, ketika beliau dan Tunner pulang entah dari mana. Tunner lari ke kamarnya di lantai atas sebelum pintu depan ditutup. Ibu melemparkan kunci-kunci ke meja dapur dan keluar ke belakang untuk merokok sebanyak dua batang. Ya, aku menghitungnya. Dua batang rokok menyiratkan bahwa ada yang tidak beres.
Meja dapur kami berbentuk bundar, memiliki warna cokelat muda yang tidak pernah menjadi tren, dan berkaki-kaki goyang goyah seperti anjing tua. Jadi, ketika Ayah menabuh telinga meja seperti drum dengan jari-jarinya, piring-piring dan gelas-gelas kami bertenturan disertai bunyi berdenting.
Kata Ayah, "Hei, mungkin malam ini sebaiknya kita mengucap syukur. Ini perkembangan baru." Kupandang Ibu. Beliau memurat-mutar bola mata, merapatkan kursinya semakin dekat ke meja, dan mencaplok roti sosis dengan gigitan besar.
Tunner berkata, "Serius, Yah? Mengucap syukur?"
Aku bertanya, "Syukur itu apa?"
Kata Ibu, "Silakan kau jelaskan."
Ayah tersenyum dan mengusap-usap janggut tipisnya yang berwarna gelap. "Kau tidak ingat? Sudah selama itukah?"
Aku mengangkat bahu.
"Saat Ayah masih kecil, keluarga kami rutin mengucap syukur di meja makan. Satu orang mewakili yang lainnya untuk menyampaikan terima kasih atas makanan yang terhidang di meja dan atas orang-orang yang berada dalam kehidupan kami. Intinya seperti berdoa."
Tunner tertawa kecil dan memutar-mutar garpu sehingga terbelit berlapis-lapis mie pangsit merah.
"Ini aslinya bukan meja makan, Yah. Ini cuma meja dapur," kataku, bangga karena dapat menemukan cela dalam penjelasan mengenai syukur. Aku pandai mencari-cari cela.
Ibu berkata, "Kenapa sekarang diungkit-ungkit?"
Ayah angkat tangan tanda menyerah dan menyampaikan dalih tak menyakinkan sambil gelagapan. "Tidak ada alasan khusus. Tapi, tidak ada salahnya, kan? Memupuk kebiasaan itu dalam keluarga kita pada waktu makan malam sepertinya bagus. Cuma itu."
Kata Ibu, "Ya sudah," dengan nada khas yang menunjukkan bahwa beliau tidak ingin menyudahi topik tersebut begitu saja. "Tapi, memulai tradisi makan malam yang baru adalah perkara besar. Kita mesti mendiskusikannya nanti, bersama-sama."
Kataku, "Iya, kita bisa mengadakan rapat keluarga mengenai syukur." Keputusan besar dan tugas-tugas dalam keluarga kami semestinya dibahas dalam rapat keluarga. Namun, kami secara umum hanya menggelar rapat keluarga untuk berbagi kabar buruk, misalkan ketika Kakek meninggal. Kalau bukan itu, kami mengadakan rapat untuk mengesahkan perkjaan rumah baru untuk Tunner dan aku.
Di dalam rapat keluarga untuk mengesahkan pekerjaan rumah, demokrasi adalah formalitas kosong. Sebab Tunner dan aku semata-mata mendapat kehormatan untuk memilih dari sederet opsi, padahal daftar tersebut tidak pernah memuat apa pun yang betul-betul kami ingin kerjakan, seperti duduk di sofa, nonton TV, membaca buku, mengarang cerita. Pokoknya, rapat tidak pernah berlangsung sesuai dengan keinginan kami.
Ayah berkata, "Idemu fantastis, Nona Angel." Beliau mengisap sehelai mie pangsit panjang dengan suara keras untuk menghiburku.
"Menurutku ide itu jelek." Wajah Tunner tersembunyi hampir seluruhnya di balik rambutnya yang terurai dan lengan sweternya yang kebesaran.
"Kau selalu mengatakan ideku jelek!" kataku, sengaja mencari—cari alasan untuk adu mulut. Aku menepuk-nepuk tungkaiku untuk memastikan bahwa surat pengakuan Tunnur masih tersimpan dalam saku depan celana jinsku.
Aku belum sempat menganalisis surat itu dengan laptop kardusku, tapi tidak jadi soal. Aku memiliki bukti tertulis bahwa Tunner masuk tanpa izin ke kamarku dan mencuri barang-barang. Aku sudah bertekad untuk menggunakannya sebagai dalih apabila Tunner terus-terusan menjahatiku.
Kata Ibu, "Tenang, Angel, yang Tunner masksud bukan kau."
"Jadi, yang manakah yang menurutmu adalah ide jelek, Tunner? Tolong jelaskan," ujar Ayah. Kami tahu beliau marah karena beliau kentara sekali berusaha untuk berlagak tidak marah.
"Semuanya."
Ibu dan Ayah bertukar pandang dari tempat duduk masing-masing yang bersebrangan di balik meja. Tunner telah berhasil menggerakkan kedua orangtua kami ke dalam satu kubu.
"Apa tadi siang ada latihan?"