Rumah ini memiliki kenangan yang indah bagi kami. Kami lebih sering bermain, belajar, bersantai di dalam rumah. Bisa dibilang introvert, tapi percayalah tidak ada tempat yang nyaman selain rumah sendiri, kecuali rumah iblis.
Benar, rumah itu benar adanya tepat di sini di dalam buku yang kami garap. Sebentar lagi akan aku tunjukkan.
Aku mempunyai rumah-rumahan kardus untuk sarana bermainku yang diletakkan di tengah kamar tidurku. Ukurannya lumayan besar sehingga cukup untuk dua orang gadis seusiaku.
Warnanya hitam dengan bagian tepi merah sebagai penanda atap genting, yang sengaja digambari bunga cerah di bawah jendela berkerai.
Pada bagian atapnya terdapat cerobong asap bulat pendek untuk sirkulasi udara. Tak jarang, aku masuk melalui cerobong asap, mempraktikkan gaya para kurcaci di malam natal. Meskipun aku pura-pura percaya akan hal demikian.
Rumahan kardus, itu semestinya diwarnai putih seluruhnya dari dalam ke luar, tapi nyatanya tidak. Aku lebih suka warna hitam dan diserasikan warna kamar tidur putih kelabu perak bertema vintage.
Alih-alih ingin mempercantik dengan mendekorasi bagian luarnya, bagian dalam rumah kardus aku isi dengan selimut dan boneka-boneka kapuk.
Aku lebih suka ditemani boneka, mereka tidak akan mengeluh pada permainan rumah-rumahan, mereka akan senantiasa mendengarkan, merea suka minum teh dan biskuit sebagai pelengkapnya, dan mereka tidak banyak bicara.
Sebagai pelengkap isian rumah kardus, aku menghiasi dinding bagian dalam dengan gambar diriku dan keluargaku dalam berbagai adegan dan pose. Tunner kerap kali kugambar sebagai pendekar putri.
Bagian atapnya hanya sehelai kain selimut yang ditopang gagang jemuran, sehingga tampak menjulang.
Aku sering duduk di dalam rumah kardus, kerai-kerai dan pintunya ditutup rapat, sambil memegang senter lipat kecil di tangan dan memangku buku yang kubuka.
Aku tidak pernah peduli pada keluarga Rapunzel dengan petualangannya yang konyol. Aku tidak tertarik pada mobil eskrim tolol, mobil tahu bulat, maupun pedagang cilok.
Teman kelasku sering menceritakan petualang hebat Ben 10 yang mengalahkan alien yang tak henti-henti justru membuat kesal.
Hampir didapati aku tidak memiliki teman selain Tunner dan Bobo. Aku sering mencurahkan pengalamanku di dunia luar kepada si bandel Bobo, meskipun sudah lama aku menemukan dan mengingat-ingat di mana dia berada di tiap halaman.
Dia tercantum di sampul, sedang menaiki helikopter biru, dan di halaman-halaman lebih belakang dia menumpang truk kambing dan duduk di kursi penumpang Tuan kelinci yang membawa mobil penuh uang, berterbangan di udara di ujung rantai mobil derek.
Biasanya, dia hanyalah kepala yang keluar memandangku dari balik jendela mobil.
Ayah memberitahuku bahwa sewaktu aku masih sangat kecil, aku mengharu-biru apabila tidak bisa menemukan Bobo. Aku mempercayai Ayah, sekalipun aku tidak tahu apa itu "mengharu-biru".
Umurku delapan tahun, sudah ketuaan untuk membaca Malory Towers Enid Blyton, sebagaimana yang berkali-kali diingatkan oleh orangtuaku. Sebelum kejadian yang menimpa Tunner, bahan bacaanku merupakan perkara besar yang menjadi sumber kekhawatiran keluarga Sumanto.
Meski dokter sudah menenangkan mereka agar tidak usah cemas, orangtuaku tetap saja resah kalau-kalau mata kiriku tidak bertambah tajam, tidak menyusul ketertinggalan dari saudarinya di sebelah kanan, dan menuding itulah sebabnya aku tidak berprestasi di sekolah serta tidak tertarik membaca buku-buku yang lebih cocok untuk anak seusiaku.
Aku bisa membaca dengan lancar dan mau-mau saja membaca, tapi aku lebih tertarik pada kisah-kisah yang kukarang bersama kakak perempuanku. Aku menenangkan Ibu dan Ayah dengan cara membawa-bawa beragam "buku berseri", meminjam istilah Bu Salsa guru kelas duaku, yang pura-pura sedang kubaca.
Aku lazimnya berpura-pura membaca buku petualangan berseri yang norak bukan main, masing-masing memiliki plot teramat sederhana, bahkan semuanya sudah terangkum dalam judul. Aku selalu membawanya untuk menjawab pertanyaan buku itu tentang apa dari orangtuaku tidaklah sulit.
Nah, kegemaran ku adalah mencari Bobo diam-diam, merupakan ritual rutinku sebelum menulis cerita baru di buku bersama Tunner.
Cerita baru yang kami tambahkan berjumlah lusinan. Hampir semua tokoh sampingan dari duni Bobo mendapatkan cerita tersendiri, sedangkan masing-masing kami tulis langsung di halaman buku tersebut. Tidak semua cerita aku ingat, tapi salah satunya adalah mengenai seekor kucing yang terperangkap di genangan gulali.
Cairan gula cokelat lengket itu bocor dari truk yang tangkinya bertuliskan huruf-huruf hitam besar berbunyi GULALIKU. Di wajah kucing itu, aku menggambar sepasang kacamata kotak, bagaimana menyebutnya, itu lebih seperti topeng yang dikenakan super hero Robin berbingkai hitam. Tapi aku lebih suka menggambarnya kotak, dan juga di semua tokoh yang kami buatkan cerita. Aku menorehkan gambar kacamata yang sama persis.
Pada ruang kosong di seputar kucing dan di sela-sela gulali, kuterakan cerita berikut dengan hati-hati , aku belum terlalu mengerti kalimat pasif dan aktif, sehingga ditulis kecil-kecil;
"Tono si Kucing terlambat masuk kerja di toko sepeda karena tersangkut di gulali lengket. Saking marahnya, tas Tono terhempas dari punggungnya! Dia tersangkut siang malam. Dia tersangkut di tengah jalan berhari-hari sampai kawanan semut baik hati datang dan memakan gulali sampai habis. Tono si Kucing bersorak dan mengajak semut-semut pulang bersamanya. Dia membangun peternakan semut besar untuk tempat tinggal mereka. Tono si Kucing suka mengobrol dengan mereka, memberi mereka nama yang dimulai dengan huruf A, dan dia selalu memberikan makanan kesukaan mereka. Gulali!"
Cerita di buku kami pendek dan aneh-aneh, serta memiliki akhir menghibur atau bahagia tapi janggal. Tunner adalah si penggagas utama cerita, imajinasinya adalah berkah, sedangkan semua tokoh binatang dia namai dari mengarangnya.
Tentu saja sedikit mengherankan karena selama ini dia hanya belajar di rumah jarak jauh, terus dari mana dia mengetahui nama datangnya imajinasi itu?
Setelah menemukan Bobo di gambar terakhir, aku meraup buku dalam pelukanku, merangsek ke luar rumahan kardus dan masuk ke kamarku, dan kemudian lari menyusuri koridor panjang untuk menuju kamar Tunner.
Aku lari sambil bertelanjang kaki dengan langkah-langkah berat, tumitku sengaja menghantam lantai kayu keras-keras agar Tunner dapat mendengar kedatanganku. Sudah sepatutnya aku memberi dia peringatan.
Pada musim gugur itu, Tunner menetapkan protokol privasi anyar. Tunner menjadi sering menutup pintu kamar tidurnya, yang bertulis "Angel K, dan siapa pun tidak boleh masuk! Awas kalau berani!"
Biasanya pintu terbuka dan tertutup ketika Tunner mengerjakan PR, dan pada pagi hari sewaktu berganti baju sebelum berangkat sekolah. Tunner berumur empat belas tahun dan baru menginjak kelas sembilan, tahun pertamanya di SMA.
Sang siswa baru SMA ternyata menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersiap-siap pada pagi hari ketimbang dirinya semasa muda belia di SMP.
Dia memonopoli kamar mandi lantai atas, kemudian mengurung diri dalam kamar tidur, sampai Ibu berdiri menanti di ruang depan berteriak ke tangga, bahwa kita bakalan terlambat ke sekolah dan/atau konsultasi yang tidak disebutkan secara spesifik gara-gara Tunner. Sekarang Tunner bersikap sangat songong dan/atau egois.
Ibu mengomeli bahwa dia songong selalu membuatku cekikikan, karena Ibu senantiasa berbicara terlalu cepat sampai keseleo lidah. Sehingga beliau kedengarannya mengumumkan bahwa Tunner sangat sotong.
Aku diam-diam kecewa ketika Tunner menuruni tangga sambil bergedebuk-gedebuk namun bertangan normal.
Karena hari itu Sabtu dan sudah siang, aku tidak menyangka pintu kamar tidurnya bakalan tertutup. Aku menghormati kebijakan pintu tertutup Tunner layaknya adik perempuan mana saja, tapi Tunner pasti sudah mendengar derap kakiku di koridor.