Aku masih berjalan perlahan sambil berjinjit menuju pintu kamarnya. Sebenarnya pintu itu akan mudah terlihat ketika sudah mencapai tangga terakhir, aku berhenti sejenak disana, mengamati benar-benar keberadaannya. Lorong rumah kami tidak terlalu lebar namun cukup untuk membuat dua saf barisan, dengan berlantai kayu.
Aku memberanikan untuk berdiri sambil tersengal-sengal di lorong, jaraknya tiga meter dari tangga. Pintu kamar Tunner sangat besar dan berat, corak ukiran di luar pintu megah karena ini adalah satu-satunya pintu peninggalan rumah lama yang asli.
Pintu kayu jati yang padat, warnanya sengaja digelapkan dan sedikit baris-baris merah yang muncul dari urat kayu, dan juga supaya serasi dengan lantai. Desainnya sangat tebal sehingga mampu menghalau serbuan pasukan barbar dan pelantak tubruk serta adik perempuan.
Lain sekali dengan pintu kamarku, yang terbuat dari triplek yang dilekatkan setebal sepuluh senti, ditambah serbuk gergaji pres murahan. Benar tidak ada menariknya pintu kamarku, sehingga aku meminta izin untuk mengolahnya; orangtuaku memberi izin untuk menghias dan dinodai sesuka hati.
Dinodai dalam arti harfiah. Aku tidak peduli mengenai kayu apa yang digunakan untuk pintu, mau jati kek, mau sendana, peduli amat.
Sekarang aku sudah tepat di depan kamar Tunner. Pintunya sangat tinggi, aku hanya sampai di gagang pintu. Aku kemudian membentuk corong di seputar mulutku, yang kutempelkan ke lubang kunci, dan berteriak, "Waktunya cerita! Kemarin kau sudah janji!"
Cekikikan Tunner yang melengking terdengar dari balik pintu, sepertinya dari awal dia sudah tahu kedatanganku, seolah-olah dia tidak percaya bisa berkelit.
"Apa yang lucu?" Mendadak dilanda kecewa, aku mengerutkan kening. Pintu ditahan karena dia bersandar dibalik pintu, bermaksud muncul dan tak akan mengarang cerita baru bersamaku. Aku berteriak sekali lagi, "Kau sudah janji!".
Tunner kemudian berkata dengan suara normal, yang tak semelengkin tawanya, "Oke, oke. Kau menang, boleh masuk, tapi jangan berteriak seperti anak kecil, Nona Angel K."
Aku berjoget kecil, menirukan tarian yang pernah kulihat di TV, tidak tahu kartun apa tetapi warnanya kuning. "Asyik! Hore!" Aku menggeser buku sehingga bagian atasnya tertahan di balik dagu dan dijepit sebagian oleh sikuku ke dada.
Aku tidak mau menjatuhkan buku ke lantai, sebab kasihan buku itu, tapi aku membutuhkan kedua tangan untuk memutar kenop pintu. Akhirnya berhasil memaksa diriku masuk sambil melenguh dan menghempaskan pundak ke pintu kokoh monolitik.
Melihat kamarnya Tunner aku terpaku pada gambaran masadepan, aku yakin ketika sudah besar juga akan sepertinya. Kakiku memasuki kamarnya perlahan, melempar pandangan ke penjuru arah. Di kamarnya sama seperti menemukan harta karun masa depanku, sebuah peta bergambar tata letak yang senantiasa berubah.
Kamarnya sedikit berantakan, dia tidak habis-habisnya menata ulang kasur, lemari, meja, rak-rak buku, menempel stiker, memindahkan keranjang-keranjang berisi aksesoris terkini dalam hidupnya.
Dia bahkan memindahkan-memindahkan poster, kalender, dan dekorasi astronomi di tembok kamarnya supaya aku tidak bisa mengambilnya.
Dia masih saja disibukkan mengubah tata letak kamarnya, dan aku juga sibuk mendekorasi ulang interior rumahan kardusku supaya sama dengan kamarnya. Tentunya dengan tambahan dekorasi dari Tunner. Tapi aku tidak pernah memberitahukan aktivitasku itu kepada Tunner, dia bisa marah besar dan mulai cerewet mengenai hemat, barang berharga, belinya susah pokoknya super cerewet.
Sabtu ini, tempat tidur Tunner dirapatkan ke pojokan tepat di bawah jendela satu-satunya di kamar itu. Gorden sudah dilepas yang tertinggal hanya vitrase renda tipis.
Poster-poster terpampang rapi, bersusun papan catur, dan di seberang tempat tidur terdapat cermin besar sedikit menghadap ke luar jendela.
Bagian lain dinding kosong melompong. Meja makeup ditempatkan ke sisi lain, sedangkan rak-rak buku, meja kecil, dan keranjang-keranjangnya berjejalan di dua pojokan lain, alhasil bagian tengah kamar terbuka lapang.
Aku berjingat masuk pelan-pelan, berhati-hati supaya tidak menyandung kawat jebakan tak kasatmata yang bisa-bisa meletupkan amarah Tunner. Aku harus waspada, sebab akhir-akhir ini Tunner mudah marah tanpa sebab.
Kelancangan apa pun yang kulakukan bisa-bisa memicu pertengkaran yang diakhiri oleh tangis dan pelarianku ke rumah-rumah kardus. Aku berdiri di tengah-tengah kamar Tunner dengan jantung berdegup kencang bagaikan genderang yang ditabuh. Kunikmati tiap detiknya.
Tunner tampak berkeringat dingin, melempar tubuhnya dan bersila di kasur, di depan jendela sehingga dia tampak sebagai siluet berlatangbelakang cahaya meredup.
Dia mengenakan kaus putih dan celana training baru, yang merupakan seragam latihan tim bulutangkisnya. Celana itu berwarna hitam baret putih pada bagian samping, terdapat tambahan bahan stensil merah yang menyamping di sebelah kaki. Rambut hitam kemerah-merahan bila terkena cahaya matahari dikuncir kuda erat-erat.
Dia memangku sebuah buku besar. Besar yang dimaksud di sini bukan tebal seperti kamus. Buku itu selebar kedua kakinya yang bersila. Halaman-halaman buku itu berwarna-warni, sedangkan ukurannya panjang dan lebar, kira-kira sama dengan halaman buku Bobo yang masih kudekap laksanan tameng.
Kataku, "Kau mengambil itu dari mana?"
Aku sesungguhnya tak perlu bertanya. Sudah jelas buku di pangkuan Tunner adalah buku anak-anak, yang berarti itu adalah bukuku.
Tunner menangkap gerakan roda-roda gigi di dalam kepalaku dan buru-buru berbicara secepat tiga bilas ribu mil perjam. "Tolong, tolong, jangan marah padaku, Angel. Aku sekonyong-konyong mendapat gagasan bagus untuk cerita dan aku tahu cerita itu bakalan pas di bukumu ini. Betul, kita memang sudah membuat cerita gulaliku di bukumu, tapi, eh, ketahuan. Jadi, ceritaku yang ini lagi-lagi tentang gulaliku, namun berbeda sekali dengan yang lama. Nanti akan aku perlihatkan, Angel. Pokoknya, seingatku buku Bobo sudah padat dan kupikir memang waktunya kita memulai buku baru. Jadi, aku masuk saja ke kamarmu dan tahu tidak, Angel, aku menemukan buku yang sempurnya! Aku fahum ini tidak adil. Aku mendatangi kamarmu tanpa izin dan bakalan membuatmu marah besar. Maafkan aku ya, Angel mungil, tapi tunggu sampai kamu mendengar ceritaku dan melihat gambarku."
Wajah Tunner menyerupai senyum raksasa; garis bibir melengkung bulan sabit, gigi putih cemerlang tampak dari dalam dan mata besar membelalak.
"Kapan kau masuk ke kamarku?" Aku tidak ingin menyulut pertengkaran, tapi aku harus tahu kapan dia menyelinap masuk. Sudah menjadi urusanku untuk memantau lokasi Tunner tiap saat selagi dia berada di rumah, dan aku selalu memasang kuping ke arah kamarnya seperti antena parabola, mendengarkan kalau-kalau pintu berderit terbuka.
"Aku menyelinap masuk sewaktu kau bermain di dalam rumahmu."
"Tidak, ah. Kalau betul, aku pasti mendengar."
Senyum Tunner membesar menjadi cengiran. "Merry. Masuk ke kamarmu gampang, kok."
Aku terkesiap dengan gaya dilebih-lebihkan seperti aktor cadangan kikuk, menjatuhkan bukuku, dan mengepalkan tinju. "Enak saja!"
"Aku mendengar kau bicara sendiri kepada boneka-boneka binatangmu. Jadi, aku langsung saja mengendap-endap ke dalam sambil menahan napas supaya badanku lebih enteng, tentu saja. Aku telusurkan jari ke rak bukumu sampai mendapatkan buku yang tepat. Sesudah itu, aku bahkan sempat mengintip ke dalam rumahmu lewat cerobong asap. Kau masih bicara sendiri, dan aku si raksasa besar sangar, sempat mempertimbangkan apakah hendak meremukkan gubukmu atau tidak. Tapi tidak jadi, soalnya aku raksasa baik. Grao!"
Tunner melompat dari tempat tidurnya dan menjejak ke sana kemari sambil mengatakan, "Hwahahahaha, aku mencium gadis cilik berkaki bau bernama Angel."
Aku berteriak, "Kakimu yang bau!" dan lantas tertawa, balas mengaum-aum sambil membusungkan dada, sedikit menggeliang-geliut keliling kamar supaya tidak tertangkap oleh tangan raksasanya yang kelewat lamban sambil sesekali menyodok samping pahanya dan menampar pantatnya.
Tunner akhirnya menggendongku dan menjatuhkan diri ke kasur. Aku bergegas-gegas menyingkir ke belakang Tunner dan membelitkan kedua lenganku ke lehernya.