Chereads / DUNIA ANGEL / Chapter 6 - Gulali

Chapter 6 - Gulali

Waktu terasa membeku, aku masih di kamar Tunner. Kami mencoba melepas rindu bersama walaupun satu rumah, perubahan Tunner yang masuk SMA sudah membuat cemas adiknya. Tunner menggapai lenganku tapi tidak sanggup menangkap. "Kau terlalu licin! Oke, oke, cukup. Ayo, Angel. Waktunya cerita."

Aku berteriak, "Asyik," sekalipun aku merasa dipermainkan atas perubahan sikapnya itu. Tunner semestinya diberi pelajaran karena sudah menyelinap masuk ke kamarku dan mencuri buku serta, lebih parahnya lagi, mendengarku bercerita sendiri. Aku suka bercerita pada bonekaku di rumah kardus, tapi hanya kami yang tahu, Tunner tidak.

Tunner menarik buku itu kembali ke pangkuan. Judulnya 'Panah Menembus Dunia'. Bukunya tebal, persis seperti Bobo, sampulnya sedikit berwarna hitam karena sudah lama tidak pernah dijamah, yang hanya didiamkan di laci.

Tiap halamannya menampilkan versi kartun ramai dari sebuah kota atau negara asing sungguhan. Buku itu memang tidak pernah menjadi buku favoritku.

Aku menyambar buku tersebut, tapi Tunner menepis tanganku dengan kasar. "Sebelum kau melihat gambarku, kau harus mendengarkan ceritaku dulu."

"Ya sudah. Ceritakan!" Aku sudah tidak sabar, gelisah seperti cacing kepanasan.

"Ingatkah kau sewaktu kita berkunjung ke taman air bawah laut di Malaya musim panas lalu?"

Tentu saja aku ingat: pertama-tama kami mendatangi koleksi satwa tempat Tunner dan aku menempelkan wajah ke kaca tangki setinggi empat lantai berbentuk tabung sambil menanti penasaran ada hewan apa yang akan melintasi dan menakut-nakuti kami.

Aku juga teringat ketika Ibu dan Ayah tidak mau memberikanku gurita karet, wajahku merenggut dan beraksi rewel di toko cindera mata dengan menggoyang-goyangkan lengan dan tungkai tak henti-henti. Kemudian, kami jalan kaki ke Taman Prasmanan dan menyantap makan malam di restoran mewah dengan meja-mejanya bertaplak putih dan berserbet merah.

Dalam perjalanan kembali ke parkiran, kami menjumpai tempat yang konon menjual jajanan manis terbaik di kota. Ibu memesankan donat salju untuk kami, tapi aku tidak selera makan manis-manis. Kataku kepada Ibu, aku lebih manis dari pada jajanan pasar itu.

Tunner berkata, "Nah, pada zaman dahulu kala, kira-kira seratus tahun lalu di dekat Malaya, gulali terbesar disimpan dalam tangki-tangki logam raksasa setinggi lima belas meter dan selebar dua puluh tujuh meter, sebesar bangunan. Gulali dibawa ke sana menggunakan kereta yang sangat panjang, gerbong terakhir akan sampai ke pemberhentian di waktu malam."

Tunner berhenti sejenak untuk melihat apakah aku menyimak. Aku memang memperhatikan, kendati aku ingin bertanya untuk apa gulali sebanyak itu, apalagi aku tidak pernah melihat gulali di mana pun selain di buku Bobo. Di masa sekarang gulali memang sulit ditemukan, anak-anak lebih suka rambut nenek. Tapi, aku tidak bertanya.

"Saat itu pertengahan musim dingin dan, selama seminggu lebih sebulan seluruh dataran membeku, suhu udara amat sangat dingin, sakin dinginnya sampai-sampai embun dari napas orang-orang bukan cuma berembun, tapi membeku seketika di udara dan kemudian jatuh berkeping-keping ke tanah."

"Keren." Aku pura-pura menirukan gerakan mengembuskan napas es.

"Tapi sesudah didera udara sedingin itu, suhu di sekitarnya tiba-tiba menjadi hangat. Tahu, kan, terkadang suhu udara sekonyong-konyong menjadi hangat pada musim dingin. Nah, semua orang di sana lantas berkata, 'Wah, alangkah indahnya hari ini,' dan, 'Bukankah ini hari terindah dan paling sempurna yang pernah kita lihat?' Karena hari itu hangat dan cerah, macam-macam orang meninggalkan rumah hangat tanpa membawa mantel, topi serta sarung tangan. Ada seorang anak perempuan sepuluh tahun bernama Maya Intan Sari, yang hanya mengenakan sweater favoritnya yang berlubang di ketiak. Dia bermain perahu kertas di bekas aliran es mencair, sementara saudara lelakinya menjahilinya, tapi karena dia sudah terbiasa dijahili tiap hari, diabaikannya saja mereka."

"Tiba-tiba, berkumandang bunyi gemuruh yang membuat semua orang di kota membatu sejenak, namun mereka tidak mencari asal-usulnya dan melanjutkan menikmati suasananya. Paku-paku keling terlepas dari tangki gulali dan mendesign seperti peluru-peluru yang ditembakkan, sedangkan sisi-sisi logam tangki terkelupas seperti kertas pembungkus, sehingga gulali lengket tumpah ke mana-mana. Alhasil, gelombang raksasa mulai melanda seluruh kota."

"Waduh." Aku mengikik gugup. Gelombang gulali raksasa memang seru, tapi banyak sekali yang tidak beres dalam cerita tersebut.

Tunner menggunakan tempat dan waktu tertentu, sekaligus menggunakan orang-orang dalam bersamaan. Selain itu, cerita tersebut sudah kepanjangan dan tak akan muat kutulis di dalam buku. Di mana aku mesti membubuhkannya?

"Gelombang setinggi empat setengah meter melibas semua orang dan apa saja yang berada di jalurnya. Tekanan gelombang dapat membengkokkan gelagar baja yang menopang gedung, menggulingkan gerbong-gerbong kereta, merobohkan bangunan-bangunan dari fondasinya. Jalanan ditenggelamkan oleh gulali setinggi pinggang, kuda-kuda serta orang-orang terperangkap, dan semakin mereka meronta dan berjuang untuk membebaskan diri, semakin mereka tersangkut."

"Tunggu, tunggu—" Ku hentikan cerita anehnya Tunner. Cerita apa-apaan ini? Aku lazimnya diperkenankan memberi masukan, adakalanya juga menyuarakan ketidaksukaan atau menggelengkan kepala, kemudian Tunner akan mundur dan mengubah cerita sampai lebih sesuai dengan keinginanku.

Namun, alih-alih meminta Tunner untuk mulai lagi dari awal, aku bertanya, "Bagaimana dengan Maya dan saudaranya?"

Tunner memelankan suaranya hingga membisikkan, "Ketika tangki meledak, saudaranya Maya lari untuk menyelamatkan diri, mencoba kabur dari terkaman gulali dan meninggalkan Maya. Maya terlalu lambat menyadari kondisinya. Bayangkan gelombang mengenainya duluan, merambati sebelah belakang tungkainya, kemudian naik ke sepanjang sweater favoritnya, dan kemudian mencapai kepalanya, menghalangi matahari, menggelapkan hari yang konon paling indah. Kemudian, Maya ditelan dan dilibas oleh gelombang."

"Apa? Dia meninggal? Kenapa kau bilang begitu? Cerita jelek!" Aku melompat turun dari tempat tidur Tunner dan bergegas mengambil buku Bobo dari lantai.

"Aku tahu." Tunner kedengarannya setuju denganku, tapi dia justru kembali tersenyum dan membelalakkan mata. Dia kelihatan bangga, seperti baru menyampaikan cerita terhebat sepanjang masa.

Aku beringsut kembali ke kasur dan duduk berhadapan dengan Tunner. "Kenapa kau mengarang cerita seperti itu tadi? Aku tidak mau mengakui akan cerita tragis itu!"

"Aku tidak mengarang. Yang kuceritakan adalah kejadian sungguhan. Maya dan dua puluh orang lain meninggal dalam banjir gulali di kota itu."

"Bukan cerita sungguhan, ah."

"Sungguhan, kok."

"Bukan!"

"Sungguhan."

Kami mengulangi tarik-ulur ini sepanjang dua ronde lagi, baru kemudian aku mengalah.

"Ya sudah. Siapa yang menceritakan kisah ini padamu?"

"Tidak ada yang memberitahuku."

"Kau menemukan cerita itu lewat internet, kan? Tidak semua yang kita baca di internet itu benar, kau tahu. Kata guruku—"

"Cerita tentang banjir gulali tercantum di internet. Sungguh. Aku sudah mengecek. Sebagian besarnya, maksudku, tapi bukan dari situ aku mendengar cerita tersebut."

"Kalau begitu, dari mana?"

Tunner mengangkat bahu, kemudian cekikikan, lalu terdiam, dan kemudian mengangkat bahu lagi.

"Entahlah. Aku kemarin terbangun dan serta-merta mengetahui cerita itu, seakan-akan sudah lama tersimpan dalam benakku. Menurutku, sebuah cerita memang terkadang seperti itu. Seperti kita mengalaminya sungguhan. Aku tahu yang barusan memang mengenaskan, tragis, bukan cerita yang bagus, tapi aku—aku tidak bisa berhenti memikirkannya, kau tahu? Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya berada di sana, bagaimana andaikan aku adalah Maya, bisa melihat dan mencium serta mendengar dan merasakan berbagai macam yang dia rasakan sedetik menjelang gelombang itu menerpanya. Maafkan, aku kurang bisa menjelaskannya, tapi aku hanya ingin memberitahumu, Angel. Aku ingin berbagi cerita tadi denganmu. Oke?"

Suara Tunner menjadi parau, seperti ketika dia sedang mengerjakan PR dan membentak agar jangan mengganggunya.

"Kau tidak keberatan, kan, Nona Angel?"