Chereads / Semua TentangMu / Chapter 11 - Rasa Penasaranku

Chapter 11 - Rasa Penasaranku

Reisa termenung, otakku masih me-loding ucapan sammy, berada disisiku? Maksudnya dekat? Belum sempat bertanya lebih jauh, Sammy menyambung kata-katanya lagi.

"eehmm... maksutku..., bibirnya agak bingung menjelaskan. tanpa pikir panjang reisa menjawab "Baik…, aku sanggup" jawabku tanpa berbelit. Sammy langsung kikuk tak membalas perkataan reisa.

Kukesampingkan kalimatnya itu dan menyetujui yang dikatakan Sammy, demi impianku menjadi seorang penulis, apapun akan aku perjuangkan.

Genderang pertaruhan antara dia dan aku melintas digaris awal, berada disisi orang tanpa ekspresi semacam dia pasti bukanlah sesuatu yang gampang. Entah apa yang salah, sikapnya mendadak aneh, harusnya kusadari saat itu juga.

Satu hari, dua hari sampai bahkan hari ke tujuh kami bersama tetap saja tak bisa kupahami pemikirannya. Hari-hari yang sangat melelahkan, dia selalu menindasku untuk melayaninya melakukan sesuatu, semacam membawakan buku-bukunya, mencatat semua jadwal hariannya, udah setara kayak sekretarisnya, belum lagi peraturan yang dia berikan tak ada yang masuk diakal, tak ada kata terlambat untuk pertemuan bila kulanggar aku harus nulis satu buku penyesalan untuk melegakan hatinya, kuanggap menunggu adalah salah satu hal yang paling dibencinya. Kerja Rodi (kerja paksa jaman belanda) atau romusa, kalimat yang cocok untuk menceritakan situasinya, belum lagi sikap yang seenaknya, Hayati lelah! Sesuatu keinginan memang harus ada perjuangan, kuanggap ini semua adalah perjuanganku menuju kesuksesan. Semangat reisa!

Kucatat segala aktifitasku didalam buku bersampul kuning, kutulis detail agar tak melupakan segala hal yang diajarkannya padaku.

Tak setengah-setengah dalam mendidikku dalam merangkai sebuah tulisan bagus dan bernilai. Dia tambah banyak bicara, tidak seperti awal kita bertemu meskipun tak begitu banyak perubahan ekspresi yang ditunjukkannya. Suatu hari mungkin aku bisa mulai memahaminya.

Berada didekat sammy masih membuatku agak canggung, apa aku terlalu kaku berteman dengan seorang laki-laki atau sikap dinginnya membuat semua jadi tak biasa.

"Kenapa melamun?"

Badannya tiba-tiba membungkuk dihadapanku sedang duduk, wajah sammy tepat berada dimataku meski tak begitu dekat, dirinya hanya berdiri sibuk memainkan sesuatu ditangannya, permainan yang hanya dimainkan para ahlinya saja, berbentuk kotak beragam warna-warni melekat disetiap sisinya, bisa berputar dari arah mana saja. Sungguh dikejutkan sampai membuatku salting, "ah…gak kok", sangkalku.

"Gimana sudah dapat inspirasinya?"

"Belum…", jawabku lemas. Memory otakku serasa full dengan berbagai macam arahan tak masuk akal darinya, orang jenius memang berbeda, kapasitas otakku tak sebanyak sammy. Ibarat data dia sudah gigabyte lah aku nya masih megabyte, terpaut jauh.

Bola matanya masih mengawasiku.

" Maaf…", ucapku padanya. Sammy merengutkan kening.

"Coba berikan saran", timpalku lagi, kutambahi senyum merayu, tatapannya masih terpaut dimataku hingga mulutku agak segan untuk terus berbicara. Gaya caranya berpikir terbilang unik daripada orang umumnya, mungkin sebab itu juga dia disebut istimewa dari lainnya.

"Jika kau kesusahan untuk menulis sebuah karakter, ibaratkan saja orang itu adalah dirimu sendiri", tuturnya. "Pahami kau ingin jadi seperti apa dikatakter itu, sesuatu yang simple bukan?"

Pendapat yang sangat enteng keluar dari mulutnya, mencoba kusaring. Karakter berdasarkan diriku? Aku ingin sesuatu hal yang menakjubkan bisa kutulis, apa mungkin menarik bila perumpamaannya adalah diriku.

Sosok yang terpampang di depan mataku sekarang jelas lebih powerful untuk dijadikan sebuah karakter utama. Penampilannya, auranya, gaya bicaranya, definisi dari proposional. Mirip actor Dennis Joseph O'neil yang masuk ras ras kulit kuning langsat tipe orang Indonesia banget dengan aksen lidah fleksibel ketika bicara bahasa asing.

Apa Sammy tak punya kelemahan? Pikirku dalam hati.

"Kenapa kau menatapku?", tanya sammy merasa terintimidasi.

"Ah…gak kok, siapa yang ngelihatin", sangkal reisa memalingkan wajah dari Sammy.

Tersadar terpikirkan olehku. Reisa menggeleng-gelengkan kepala. Tak seberani itu melakukan apa yang ada dibenaknya. Pena yang dipegang reisa diketuk-ketuk diatas meja ingin mencatat sesuatu.

"Apa kau bosan?", tanya Sammy menyelidik.

Tangan reisa menggaruk kepalanya sambil berkata "sedikit"

"Boleh aku tanya sesuatu?", reisa mengallihkan pembicaraan. "Boleh…", santai Sammy.

"Buku apa yang paling kau suka?", pertanyaan pertama.

"Sains"

Bisa ketebak. Reisa memahami bagaimana rumitnya Sammy, "apa itu buku yang sering kau baca?" tambah reisa. Sammy menggeleng kepala. "Lalu… Buku apa yang selalu kau baca?"

"Buku tentang petualangan"

"Misalnya?", tanya reisa penasaran. "Apa ada pertanyaan anarkis lainnya?"

"Tentu saja", jawab reisa bersemangat selagi Sammy masih mood berbicara.

"Apa kau suka musik?"

Sammy merenung beberapa detik menjawab "Ehm…, aku gak bisa hidup tanpa musik"

Reisa tak heran mendapati kebiasaan Sammy membawa earphone selalu menempel ditelinganya. "Apa ada alat musik yang kau suka?"

"Ada", jawabnya singkat. "Kau bisa memainkan alat musik itu?"

"Apa ini akan Panjang?", protes Sammy.

"Tunggu…, satu pertanyaan terakhir" reisa mengangkat jari telunjuknya.

"Apa makanan kesukaanmu?"

"Soto Betawi", jawab Sammy tanpa ragu.

Reisa tak mempercayai jawaban pemuda itu, "sungguh? Aku suka sekali membuatnya", ucap reisa setengah terguga. Sulit dipercaya tak serupa dengan penampilannya yang high class. Sammy berdehem sedari tadi monda-mandir sambil memegang mainan rubik mencoba duduk disamping reisa, pelahan bertender dikursi menaruh kepala disandaran lalu menutup mata. "Sambil menunggumu merenung, aku ingin tidur sebentar", gumam bibirnya dalam mata tertutup.

"Ah…baiklah", reisa menyetujuinya tanpa membantah. Apa ini sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan atau hobbynya? Aku lebih suka saat dia memejamkan mata. Reisa lancang menelusuri wajah sammy dari dekat, bentuk rahang yang tegas, mata bulat agak sipit dengan alis hitam lebat, leher jenjang, hidung mancung kembang kempis, rambut dengan sedikit poni yang terurai didepan, bibirnya sedikit tipis terbilang pandai berbicara.

Jika saja tersenyum pasti akan sangat menawan bagi setiap gadis yang ingin dipikatnya.

Kujelajahi setiap partikel garis mukanya sampai tergiur menyentuhnya, aku bisa menikmatinya saat ia tak mengenakan kacamata baca yang biasa dikenakan.

"Jangan terlalu lama menatapku, kau bisa jatuh cinta", gumam sammy beberapa detik hingga membuyarkan anganku. Sammy terbangun!

perasaanku kalang kabut, mata yang tadinya tertutup membuka secara pelahan, mata kami saling beradu pandang lama. kesedot kedalam lembah tak berdasar, jantungku berpacu tak karuan. Pancaran matanya tak bisa membuatku berkutik.

Mainan rubik yang dibawa nya menggetok jidatku. "Jangan terlalu banyak melamun, kau bisa bodoh", oloknya. "Hey…sakit…" kepalaku kuelus-elus pelan. Tangan sammy menyodorkan permainan itu padaku, tanpa menolak tanganku kutadahkan menerimanya.

" Untukmu…" Reisa terbengong dikasih Sammy rubik miliknya. "Aku…tak bisa memainkannya", ungkapku.

"Kau bisa memainkannya daripada melamun", tutur Sammy sembari meninggalkan reisa.

"Mau pergi kemana?"

Dengan gaya cueknya tak menjawab pertanyaanku. Dia tak seburuk itu, reisa memegang memandangi rubik milik Sammy ditangannya, ketika kelakuan menyebalkan mulai datang kekesalanku tak terkendali untuk mengatakan hal-hal buruk padanya.

Bertemu, berbicara, berdiskusi sampai berdebat mengucapkan salam perpisahan. Apa dia menganggapku ini membosankan? Atau dia tak suka ada didekatku? Begitu banyak pertanyaan yang ditanyakan oleh hati ini, disisinya membuat otakku dipenuhi teka-teki. Bagaimana caranya aku bisa membuatnya tersenyum, tertawa tapi jangan sampai menangis karena aku tak menyukai hal itu terjadi. Ketika dalam raut muka tersenyum, itulah pandangan paling sempurna yang bisa dia tunjukkan, ekspresinya yang marah terkesan sangat lucu, kadang saat berbicara dengan nada gugup ingin sekali tertawa karena begitu polos dan lugu kepribadiaannya, memandang matanya yang menatapku saat bicara, ingin sekali aku memiliki mata itu hanya tertuju kearahku mengabaikan yang lain, saat tersadar dirinya merasa tegang didekatku ingin sekali ku mengusap kepalanya dengan berkata "santai aja".