Chereads / SKATER MAUT / Chapter 3 - Perjalanan ke Kota Air

Chapter 3 - Perjalanan ke Kota Air

"Aku belum pernah melihat mereka sebelumnya," ujar seorang laki-laki warga dusun itu kepada temannya.

Temannya menjawab, "Mungkin mereka itu saudara dari salah satu tetangga kita."

"Bisa jadi begitu." Tetapi jumlah warga dusun itu tidaklah banyak. Jika dua bocah kakak beradik itu kerabat dari salah satu warga, pasti yang lain segera tahu. Dan, mereka diketahui bukan kerabat dari warga dusun itu. Kehadiran dua anak itu menarik perhatian, sehingga ada yang melaporkan keberadaan mereka kepada tetua dusun. Sang tetua dusun segera mendatangi Pting dan Nimas, lalu mengajak mereka ke rumahnya. Warga dusun yang lain ikut ke rumah sang tetua dusun, penasaran.

"Kalian berasal dari mana?" tanya tetua dusun.

"Dari satu desa di daerah Sukasari, Kek. Tepatnya Desa Parisewu," jawab Pring. "Tapi desa kami telah hancur karena peperangan, kedua orangtua kami tewas."

Tetua dusun lalu menatap Nimas, lalu bertanya, "Apakah dia ini adikmu?"

"Ya. Kami di sini hanya menumpang berteduh untuk bermalam, adik saya kelelahan jika hari ini kami harus berjalan lagi. Kami akan pergi je Kota Air karena paman kami tinggal di sana." Kota Air adalah daerah setengah kota yang letaknya di Sekaran, juga berada di sepanjang hamparan Sungai Bengawan Solo tetapi lebih ke hilir.

Salah satu warga berkata, "Aduh, kota itu masih sangat jauh, masih harus berjalan kaki berhari-hari untuk sampai ke sana."

"Ya, kami akan menyusuri tepi sungai. Aku masih ingat letaknya di tepi sungai juga," kata Pring. Tetua dusun dan warga mengangguk-angguk. Beberapa orang merasa iba sehingga mereka mengambil makanan dari rumah untuk Pring dan Nimas. Ada laki-laki paling tua dan disegani oleh warga dusun, dia juga tampak ramah dan baik. Dia menawarkan agar Pring dan Nimas tinggal di rumahnya.

"Sepekan lagi saya dan beberapa orang lainnya akan pergi ke Kota Air. Nanti, kalian bisa berangkat bersama kami. Jika air bengawan bersahabat kami naik perahu, jika tidak maka kita naik pedati," kata orang itu. "Atau, bisa saja kalian menetap di dusun ini, tinggal di rumahku. Kalian bisa membantuku ke sawah atau menjemur ikan asin." Nimas menatap kakaknya. Pring tahu kalau Nimas hanya ingin menumpang istirahat, tapi itu tidak diutarakannya.

"Kalau diizinkan kami akan ikut menumpang perahu ke Kota Air karena adik saya sudah lelah berjalan," ujar Pring. Beberapa orang terdengar mendesah karena iba. Bagaimanapun, mereka juga merasakan imbas peperangan, banyak sanak saudaranya yang jadi korban.

Seseorang berkata, "Peperangan telah membuat kesengsaraan di mana-mana."

"Aku adalah Ki Anjo. Kalian bisa tinggal di rumahku," kata laki-laki tua itu. Pring menata adiknya, Nimas mengangguk. Selanjutnya, Pring dan Nimas diajak ke rumah Ki Anjo. Rumah yang sepi karena Ki Anjo hanya tinggal bersama istrinya yang sudah tua juga.

"Kami hanya tinggal berdua. Kedua anak lelaki kami harus menjadi prajurit dan ikut berperang. Entahlah, apakah mereka masih hidup atau sudah gugur, kami tidak tahu," bisik Nyi Anjo dengan mata basah. Pring dan Nimas diam, tidak tahu harus berkata apa. Nyi Anjo berkata, "Ayo kita makan dulu, sudah waktunya makan. Biasanya kami hanya makan berdua. Semoga Ki Anjo makin bersemangat makannya, biar tambah gemuk." Ki Anjo tertawa mendengar candaan istrinya.

Setelah selesai mereka makan, datang seorang laki-laki berkulit hitam. "Lho, kamu ada di sini?" katanya, sambil menjunuk Nimas.

"Paman!" Nimas juga terkejut. "Kakang Pring, Paman ini yang tadi memberi ubi."

Laki-laki itu tertawa,"Ya, sebagian ubimu masih tertinggal di ladang. Aku tidak tahu harus mengantar ke mana."

"Di antar ke sini saja Paman," canda Pring.

Ki Anjo tertawa dan selanjutnya berkata. "Dia bernama Icul, yang membantu kami menggarap sawah dan ladang. Sekarang, kalian boleh melihat orang-orang yang sedang mengolah ikan untuk diasinkan di rumah sebelah. Rumah kami juga, tetapi di rumah itu khusus untuk membuat ikan asin. Kami membeli ikan asin dari nelayan yang menjaring di bengawan dan mengeringkannya. Seminggu sekali kami pergi ke Kota Air untuk menjualnya."

"Apakah kita jadi ke Kota Air?" tanya Nimas.

Ki Anjo dan Nyi Anjo tertawa. "O, kamu sudah sangat rindu dengan pamanmu. Apakah pamanmu tahu kalau kalian akan ke sana?"

Pring menjawab, "Tidak Ki. Paman juga tidak tahu kejadian di desa kami. Paman juga belum tahu kalau kami sudah jadi anak yatim piatu."

"Kapan kalian terakhir bertemu pamanmu?" tanya Nyi Anjo.

"Kira-kira lima purnama yang lalu," jawab Pring. "Saat itu kami pergi ke Kota Air bersama orangtua."

"Kalau begitu kalian masih ingat letak rumahnya?" tanya Ki Anjo.

Nimas menjawab, "Masih Ki."

Karena terkenang dengan kedua anaknya maka sepasang suami istri itu memperlakukan Pring dan Nimas seperti anaknya sendiri. Tetapi kedua anak itu bukan anak yang manja, tanpa diminta mereka membantu pekerjaan induk semangnya. Pring membantu bekerja di sawah dan ladang, Nimas membantu menjemur ikan asin. "Dengan melihat orang membuat ikan asin, kamu akan tahu cara-cara membuatnya, sehingga jika nanti kamu ingin membuat ikan asin sudah tahu caranya," kata Nyi Anjo kepada Nimas.

Gadis cilik itu tersenyum. Senyumnya sangat cantik karena hatinya sudah mulai bahagia lagi karena ada orang yang mengasihinya. "Ya, Nyi. Tetapi sulit menangkap ikannya karena bersisik dan licin," jawab Nimas.

Nyi Anjo tertawa, "Yang menangkap ikan bukan kamu sendiri, tetapi nelayan. Mereka juga menangkap dengan jaring, bukan dengan tangan semata."

"Nimas mungkin belum pernah melihat orang menjaring ikan," kata Ki Anjo. "Betul?" Nimas mengangguk sambil tersenyum. Ki Anjo lalu memanggil Icul yang sedang membetulkan gagang cangkul. "Kamu ambil jaring, aku akan menjaring ikan di kolam." Nimas sangat senang. Pring juga ikut pergi ke kolam. Kolam itu agak jauh dari rumah Ki Anjo. Mereka berpapasan dengan beberapa warga dan terjadi tegur sapa yang ramah. Mereka sampai di kolam, "Ini kolam ikan kami. Mari kutunjukkan cara menjaring ikan." Ki Anjo melepas baju, menyingsingkan celananya, lalu turun ke kolam yang lumayan dalam.

"Biar aku saja Ki yang menjaring," kata Icul kepada juragannya.

Ki Anjo menjawab, "Ah, aku juga sudah rindu menjaring ikan. Sudajh lama sekali aku tidak mengambil ikan sendiri di kolam." Air kolam beriak dan beberapa ikan berlompatan menghindari jaring yang ditebar. Ki Anjo pelan-pelan menarik jaring dab banyak ikan yang terjebak.

"Wow, ikannya banyak sekali!" seru Nimas kegirangan. Ada ikan gurame, lela, gabus, nila, bahkan udang air tawar dan kepiting yang juga terangkut jaring. Icul mengambil kepis, tempat ikan berupa anyaman bambu. Jaring diangkat ke atas tanah. Pring dan Nimas memunguti ikan dengan gembira.

"Tampaknya sudah cukup banyak, kalau kepingin ikan, besok kita jaring lagi sehingga ikannya tetap segar sehingga tetap enak ketika digoreng dan disantap bersama sambal pete," kata Ki Anjo.

Icul berkata, "Sebagian nanti dibuat pepes. Nyi Anjo jago memasak pepes." Nimas sangat senang karena itu lauk kesukaannya. Pring mengambil napas panjang, bersyukur dia bertemu orang-orang yang baik, yang tulus menerima kehadiran mereka.

Pada satu saat Ki Anjo memanggil Pring dan mengajaknya berbicara. "Pring, bagaimana kalau nanti Nimas ditinggal di sini dulu. Hanya kamu yang ikut kami pergi ke Kota Air. Kita cari pamanmu dulu, jika sudah ada kepastian tentang pamanmu, nanti aku antar juga Nimas ke tempat pamanmu." Rupanya, Ki Anjo melihat keceriaan yang mulai muncul pada Nyi Anjo setelah kehadiran Pring dan Nimas di rumahnya.

Pring tidak segera menjawab. "Berapa hari untuk sampai ke sana, Ki?"

"Beberapa hari ini air sungai meluap, tidak bisa diarungi dengan perahu. Kita harus naik pedati untuk sampai ke sana. Dengan jalan darat maka lebih lama untuk sampai ke Kota Air."

"Aku akan berbicara dengan Nimas dulu, Ki. Aku takut Nimas tidak mau kutinggalkan. Tidak mau berpisah denganku."

"Aku tahu itu, maka bicarakanlah baik-baik. Toh, hanya berpisah beberapa hari saja. Tapi itu semua terserah kalian." Ketika ada kesempatan, Pring mengajak Nimas membicarakan hal itu.

"Jadi, kita harus berpisah Kakang?" ujar Nimas, bernada berat.