Sesampainya di rumah Tante Nini melotot. "Mengapa badanmu rusak seperti itu?" tanyanya, cemas.
"Dicakar kucing," jawab Along, sekenannya. Tantenya mengerutkan alis. Along menjelaskan, "Saya habis melerai kucing yang melakukan smackdown. Mereka tidak terima dan saya dikeroyok, saya dicakar beramai-ramai." Bibi yang melihat luka-lukanya lalu mengambil air panas, kapas, dan obat merah. Along diobati.
Minggu pagi Along pergi ke tempat Dukun Bajaj. Orang itu sudah siap dengan pakaian rapi, pantasnya sebagai bos bajaj, bukan dukun bajaj. "Mengapa dinamakan Si Kodok?" tanya Along sambil mengamati bajaj yang tampak bersih.
Dijawab, "Karena aku geli dengan cicak, kadal, dan tokek. Tapi dengan kodok aku tidak takut. Selain itu, bajaj ini digerakkan oleh 3000 tenaga kodok, bukan tenaga kuda."
Along tertawa mendengar penjelasannya. "Berapa kali saya harus jadi sopir bajaj? Apakah seumur hidup?"
"Sampai punggungku sembuh!" jawab Dukun Bajaj, sambil masuk ke bagian belakang bajaj.
"Lho, katanya saya disuruh cari penumpang!" seru Along, heran.
"Mengapa susah-susah cari penumpang jika sudah ada yang duduk jadi penumpang?" kata Dukun Bajaj, seenaknya. Dia lalu mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan mendandani wajah Along. Ketika melihat kaca spion Along tampak dewasa. "Nih, kamu kalungan handuk juga agar seperti sopir bajaj asli!" Mau tak mau Along harus merelakan baret merahnya dilepas dan diganti topi butut. "Sip, ayo kita jalan!" kata Dukun Bajaj. Mereka berputar-putar kota Jakarta, sesuai arahan si Dukun Bajaj.
Ketika jam makan siang tiba, Dukun Bajaj mengajak berhenti di sebuah restoran di daerah Rawamangun. "Kita makan dulu," ujarnya. "Aku makan nasi tim, terserah kamu mau pesan apa." Begitu masuk restoran, Along heran. Beberapa tamu restoran sangat takzim kepada Dukun Bajaj, malahan ada yang tergopoh-gopoh menarik kursi untuknya. Aneh, pikir Along.
"Apakah dia ini sopir Si Kodok yang baru, Prof?" tanya tamu restoran itu sambil mengamati Along.
"Ya, sopir Si Kodok yang baru."
"Apakah Prof masih mengajar di Universitas Soborne?"
"Sudah tiga tahun ini saya pensiun, capek." O, dia merahasiakan dirinya, kata Along dalam hati. Along makan di depan Dukun Bajaj yang misterius. "Bagaimana, apa kamu sudah punya skateboard yang baru?" tanyanya ketika dalam perjalanan kembali ke pos bajaj.
Along menjawab, "Saya masih punya tiga belas."
"Tiga belas?" ulang Dukun Bajaj yang ternyata seorang profesor terkenal. "Eh, kamu harus mampir ke rumahku dulu." Rumah yang dimaksud sangat kecil. Along ragu, dia tidak kuat berlama-lama berada di bawah atap seng, bisa mandi keringat karena panas. Dukun Bajaj membuka pintu, ke ruang yang berukuran kecil, bahkan tidak ada satu kursi, hanya ada cermin menempel dinding. Setelah menggeser cermin ke samping Dukun Bajaj menekan tombol yang berada di belakang cermin. "Inilah rumahku. Dulu ini merupakan goa peninggalan tentara Jepang saat Perang Dunia Kedua. Sekarang kumanfaatkan sebagai laboratorium multimedia," kata Duku Bajaj. "Aku pernah mengajar di beberapa universitas terkenal seperti Universitas Harvard di AS dan Universitas Soborne di Perancis, dan beberapa perguruan tinggi di tanah air."
"Lalu, siapa nama Anda sebenarnya?"
"Alvin Sanjaya, tapi nama asliku Le Gio."
"Legiyo?"
Dukun Bajaj tertawa. "Boleh kamu ucapkan begitu. Along, rencananya, kamu akan kujadikan jerbil, yaitu tikus percobaan. Aku kagum dengan jiwa petualanganmu. Main skateboard di atas rel itu sudah membuatku kagum. Nah, kebetulan aku sedang melakukan ujicoba program komputer temuan terbaruku. Tetapi selama ini hanya diriku saja yang jadi kelinci percobaan. Aku menemukan rahasia hebat, dengan program baruku ini aku bisa seperti bisa terlempar di gedung bioskop dan melihat film yang diputar. Adegan-adegan cerita dan gambar muncul begitu saja tanpa bisa kurencanakan atau kuduga, menyenangkan sekaligus menegangkan. Ini proyek rahasia, dan hanya kamu yang tahu rahasia ini." Along diam saja. Terbengong mendengar kata-kata Profesor Le Gio. "apakah kamu bersedia menjadi tikus percobaanku?"
"Apakah itu akan membuatku kesakitan?"
"Tidak. Hanya ada suara berdesing sebentar ketika baru memulai, hanya beberapa detik saja. Bagaimana, kamu sanggup?" Along mengangguk. Profesor Legiyo lalu mengajaknya masuk ke ruang lain. Ternyata, goa Jepang sudah disulap jadi lab bawah tanah, dindingnya sudah disemen. "Slakan duduk di kursi malas ini, biar helmnya kupasang." Along pasrah saja. Helm itu layaknya helm yang dipakai astronot. "Siap?" tanya Profesor, sambil mengangkat jempolnya. Along mengangguk. Lalu Dukun Bajaj, eh Profesor, memejet kenop khusus. Seketika ruangan jadi lebih terang. Ada suara desingan tetapi hanya beberapa saat. Along memejamkan mata. Seperti berputar di tempat gelap, setelah itu berganti suasana. Di hadapannya terbentang layar bioskop dan mulai muncul gambar, ah sebuah film yang sedang diputar!
Di tepi Bengawan Solo, di sebuah gubuk beratap rumbia, seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun baru terbangun dari tidur lelapnya. Kain usang menutupi badanya yang kurus. Dia menguap lalu berguling ke sisi kanan, setelah itu ia duduk menatap sungai. Tidak lama kemudian dia berlari-lari kecil menuruni tebing sungai. Di sebuah batu cadas dia berhenti dan melepas bajunya lalu turun ke air, mandi. Beberapa kali ia menyelam untuk membasahi rambutnya. Lalu, dengan batu kali ia menggosok badannya, untuk menggerus daki yan menempel di kulitnya. Tapi daki itu tidak begitu kelihatan karena kulitnya cenderung hitam. Sebentar-sebentar ia melongok ke arah gubuk walau itu tidak membantu karena gubuk tertutup semak-semak.
"Kakak Pring!" teriak seorang anak perempuan.
Anak laki-laki itu melongok ke atas, mencari sumber suara dan membalas suara panggilan, "Ya Nimas!" Ia lalu naik dari sungai dan berjemur agar air di badannya mengering kena sinar matahari. "Adakah makanan untuk kita, Nimas?"
Nimas, adiknya, pagi-pagi sudah terbangun dan pergi meminta-minta, sekadar untuk makan pagi. Mereka sedang mengadakan perjalanan jauh meninggalkan desanya yang hancur karena perang saudara antara Majapahit dan Belambangan. Kedua orangtuanya tewas ketika desanya dikepung dan dibakar laskar Majapahit karena dianggao membantu prajurit Belambangan. Kedua bocah itu selamat karena pada saat itu mereka sedang berada di ladang, tidak di rumah.
"Ada makan pagi untuk kita, tapi kita harus membuat api unggun dulu karena saya hanyaa mendapat ubi mentah. Tadi ada petani panen ubi dan aku membantu membersihkannya, sebagai upah saya diberi ubi mentah. Masih ada lagi ubinya, tapi kutinggal karena aku tidak kuat mengangkatnya sekaligus," jawab Nimas.
"Biarlah aku nanti yang mengangkatnya. Apakah kamu sudah mandi?"
"Sudah, tadi ketika Kakang Pring belum terbangun. Setelah dari sini kita akan pergi ke mana Kakang?"
"Berjalan lagi," jawab Pring sambil menatap mata adiknya. "Apakah kamu masih lelah? Jika kamu masih lelah, kita beristrahat beberapa hari di sini. Tetapi aku akan mencari tumpangan untuk tidur pada seseorang. Agar kita bisa diizinkan tidur di lumbung atau lainnya agar kita tidak basah jika turun hujan." Nimas tidak menjawab, hanya diam tertunduk. Pring tahu apa yang dipikirkan adiknya. Pring menggendong adiknya sambil memutar-mutar adiknya. "Baiklah adikku, kita akan istirahat dulu di dusun ini." Yang digendong berteriak-teriak minta diturukan. Kelakuan kakak beradik itu menjadi perhatian beberapa warga Dususn Jaganono. ya, beberapa hari ini mereka heran atas kehadian dua anak asing di dusun mereka. Siapakah kedua anak itu?