Jam 3 sore. Tinta diatas akte pernikahan sudah lama mengering di dalam tas tanganku. Mengesampingkan pembicaraan terakhir kali, aku memutuskan untuk melanjutkan rencananya. Empat jam pemikiran menentukan bahwa keuntungan melebihi kerugiannya.
Diluar dari emosi di tatapannya yang terlalu membara untukku., hampir tidak ada masalah dengan Cassius. Sebenarnya apa yang ia temukan dalam diriku, aku tidak tahu. Aku mencium bau konspirasi.
Bahkan keluargaku, bahkan teman dekatku tidak mencintaiku.
Aku ingin percaya bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Tetapi realita tidak segampang itu.
Jika aku berharap, jika aku mengulurkan tanganku kepadanya, hanya kekecewaan yang akan menunggu.
Aku memakai Cassius untuk menyingkirkan kedua lalat yang mengejarku dan pergi saat ia lelah dengan jati diri asliku.
"kamu hanya memancarkan sinar di lautan matamu. Kuharap kamu tidak melupakan itu."
Untungnya, sedekat apapun Cassius denganku, pada akhirnya kita hanya akan menjadi lukisan kepada masing - masing. Memang benar apa yang berada di permukaan laut adalah kenyataan untuknya. Satu - satunya kenyataan yang rela kuberi.
Kuabaikan sebagian dari diriku yang ingin menariknya kedalam.
Dan, apakah ia akan tetap bahagia menikahiku- seorang wanita ia tidak tahu sifatnya. Siapa yang menyuruhnya berasumsi sendiri ?
Menahan diri dari menjadi sinis, aku turun ke bawah menuju Lobby hotel. Sebagai bagian dari perjanjian pernikahan kami, Cassius mengajak tinggal bersama. Dalam pesannya ia berkata bahwa seseorang akan menjemputku.
'10 menit lagi'
Angin AC menampar bahuku, gaun halter yang kupakai tidak memberikan perlindungan dari hawa dingin di ruangan. Sesekali mobil lewat untuk menurunkan orang. Kumenghabiskan waktu menebak orang seperti apa didalamnya sebelum mereka keluar.
Contohnya, di menit pertama aku sampai disitu, terdapt mobil Honda putih dengan atap tinggi. Orang yang mengendarai mobil seperti ini biasanya keluarga. Tebakanku dibuktikan benar saat sebuah pasangan muda beserta anak 5 tahun turun.
Di menit ke enam, sebuah Bentley hitam terburu - buru berhenti seakan sibuk, dan aku mengetahui pengendaranya seorang pengusaha. Sekali lagi aku dibuktikan benar, saat perempuan berpakaian jaz turun sambil menelepon seseorang.
Ketika di menit ke sepuluh, diluar ekspektasi aku, sebuah La Ferrari datang dalam kecepatan 50 km/ jam. Kontradiksi yang lucu melihat itu adalah mobil balap. Orang yang mengendarai mobil seperti ini biasanya anak hedonis atau bos besar. Aku mengantisipasi sosok seperti apa akan keluar.
Hanya untuk berpikir ada sesuatu yang salah dengan penglihatanku di detik berikutnya.
Tunggu sebentar-
Rambut kastanye tua yang tidak menghiraukan usaha matahari untuk meneranginya. Tubuh kekar yang tersembunyikan oleh atasan cashmere lengan panjang. Tinggi yang menekan udara. Seperti patung yang berjalan. Tidak manusiawi. Untuk sesaat aku lupa bahwa darah yang sama mengalir di tubuhnya. Seperti ia berasal dari dunia lain.
Kedua kalinya aku meragukan mataku- sejak kapan Cassius memiliki aura seperti itu. Apakah aku akhirnya bertemu dopplegangernya. Tapi sesaat lainnya, ia memanggil namaku, dengan nada lembut itu, menggenggam hatiku "Elina, maaf aku membuatmu menunggu."
Pikiran masih berkelana. Mencari kepastian bahwa dia Cassius dari cinta di matanya. Kupikir ku akan terlalu gugup untuk menyapanya. Akan tetapi, mulutku bergerak secara otomatis seperti aku program yang sudah tertulis.
"Tidak apa - apa, aku melakukannya dengan senang hati."
Seakan memperhatikan bahwa aku kedinginan, Cassius memakaikan jacket berwarna biru tua yang ia pegang ke atas pundakku. Kehangatan segera meresap ke tubuhku. Sebelum aku tahu, tangannya merangkulku, dan kami berdiri seperti itu, diantara bisikan penonton.
Butuh bujukan dariku, sebelum Cassius setuju untuk melepaskan aku. Sampai kami masuk ke dalam mobil, ku bisa mendengar orang - orang membicarakan kemesraan kami.
Awalnya, aku takut percakapan diantara kami akan canggung. Tetapi, itu hanyalah ketakutan tak berdasar. Setiap kali kesunyian mencoba untuk memunculkan dirinya, Cassius mengalahkannya dengan pertanyaan menarik.
Tanpa sadar, aku mulai menceritakan tentang diriku, kebanyakan mengenai tahun - tahun terakhir ini. Sebagian karena pertanyaanya bukan tentang masa lalu , ini membuatku nyaman karena aku tidak ingin membicarakannya.
"- Terus aku menjadi juara dari lomba minum dari perusahaan."
"Dari bagaimana kamu terakhir kali, aku tidak kaget."
Karena perjalanan sudah lama, hampir sejam, aku tak bisa menahan diri dari menguap. Keletihan mulai mengambil alih ekspersiku. Mengetahui bahwa aku sudah dekat batas, Cassius meyakinkanku, "kita sudah dekat, sebentar lagi."
Begitu kata - kata itu terdengar, aku melihat keluar jendela. Aku terlalu tertarik berbicara untuk menyadari sekeliling kami. Dari lampu - lampu yang dipasang di pinggiran jalan dan lahan hijau yang sepi. Sepertinya kami baru masuk kompleks perumahan.
Tapi meskipun sudah berjalan 7 menit, kami hanya melintasi dua rumah yang sangat luas. Arsitektur kedua rumahnya sangat memukaukan, satu terlihat seperti rumah eropa jaman dulu, yang satu lagi sangat modern. Dan aku penasaran rumah model apa yang akan ku tinggali.
"Kamu sudah tinggal disini sejak kapan ?"
"Baru beberapa hari yang lalu, aku biasa tidak tinggal di kota ini."
Untuk sementara, keraguan bahwa Cassius itu sebenarnya sangat kaya menghampiriku.
Sebenarnya pria seperti apa yang aku nikahi?
Seharusnya, aku minta kopi kedua dokumen informasi Cassius waktu itu. Aku merasa seakan masuk ke lapangan tanpa mengetahui bawahnya ledakan atau bibit. Apakah aku akan terbawa kembali ke lingkungan yang aku kabur dari ?
Penghinaan terselubung. Udara menyesakkan. Tempat dimana kamu berubah menjadi barang transaksi. Bunga besi yang diukir agar pembuatnya di komplimen orang. Dan uang menjadi aksesoris terbaik.
Tiba - tiba mobil berhenti, dan aku tersentak keluar dari ingatan masa kecilku . Berpikir aku masih setengah tidur, Cassius membukakan sabuk pengaman aku.
Saat aku keluar, mataku terpukau oleh pemandangan di depanku. Halaman depan yang luas. Kolam berenang rektanguler. Tembok kaca yang berpaduan dengan dinding putih.
Rumah orang kaya.
Berbeda dari ekspektasi aku, interior rumah sangat hangat. Dengan dominan warna putih, krem dan oranye. Untuk sebentar, aku berpikir bahwa orang dibalik design semua ini bukanlah dia.
"Aku mendekornya sesuai dengan apa yang kurasa kamu suka."
Cassius menjelaskan, dan aku bingung bagaimana ia dapat merombak interior rumah dalam periode waktu sependek itu. Sampai, tidak ada satu pun kekurangan, diluar fakta bahwa aku lebih suka warna ungu daripada oranye.
"Kurasa keceriaan ruangan ini tidak dapat menyaingi kamu."
Sekali lagi kata - kata seperti ia berbicara mengenai orang lain, mencekik aku.
Berjalan ke dapur, Cassius mengeluarkan sebuah botol wine dengan merek Masseto, membuka tutup dengan gerakan mengalir dan menuangnya ke dalam dua gelas kristal.
Berencana mengambil gelas itu, aku maju dua langkah.
"Ah, terimakasih."
Tetapi, gelas itu ditarik kebelakang, kedipan kenakalan melanda matanya. Kekesalan kembali kepadaku, maju mundur - maju mundur sebenarnya kenapa dia suka menjahili aku . Memangnya kita sedang naik jungkat - jangkit.
"Berikan aku pelukan dulu."
"Kenapa aku harus menurutimu ?"
"Karena aku akan lebih mencintaimu- dan itu berguna untukmu." Lebih dari setengah dari diriku diyakinkan,
"dan kurasa kamu tidak takut kontak fisik."
'Hanya denganmu'
Aku bahkan tidak sering berpegangan tangan dengan Jason.
….
Selain Cassius dulu ada satu orang lagi, sebelum Kerumitan menjerat.
Tapi mendengar keyakinan di suaranya, aku terbujuk melupakan hal itu.
Ia mengulurkan tangannya dan aku memeluknya.
Seakan - akan aku bukan sebuah bunga besi dan dia bukan adalah pemahat lainnya.