Bau menyengat alkohol membuatku bertambah waspada. Sejak awal Ken memiliki temperamen liar seperti Coyote terkena rabies. Eksplosif, kacau, tidak ada yang dapat memprediksi tabiatnya dan betapa parahnya penyiksaan yang akan ia akibatkan.
Mencoba untuk mengubur ingatan semua orang yang jatuh di tangannya, aku menatapi dia dengan dingin, tanpa membiarkan kekhawatiran aku muncul. "Lepaskan aku. atau perlu kuingatkan alasan kenapa kamu tak bisa berjalan selama 3 bulan terakhir kali ?"
Daripada takut, senyuman di muka Ken bertambah lebar, bahkan matanya menyeringai seperti bulan sabit. Dia terlihat seperti predator yang menemukan cakar mangsanya lucu. Seperti sebuah singa yang sedang menggigit leherku.
"Eliana. Elian. ssstt. Kamu berbicara seakan kamu yang melakukan itu kepadaku." Cengkraman di wajahku mendorongku sehingga aku tidak dapat mengalihkan pandanganku darinya, "Kamu tidak bisa mengalahkan aku sendirian. Apalagi dengan semua bantuan yang ku bawa. Terakhir kali kamu hanya menang karena Aspen."
Bualanku terungkap. Dan aku menyesal tidak mendalami seni bela diri karena sibuk mempelajari bisnis dan spesialitas lainnya. Andaikan saja aku tidak kesini, andaikan saja aku terus bersembunyi di rumah temanku, Ini tidak akan terjadi.
Tetapi, tidak ada obat untuk penyesalan, tidak ada cara berganti kereta di tengah jalan. Ku hanya bisa mencari kesempatan keluar dari sini. Di belakangku ada 3 orang, di sisi kiriku berbaris 4 orang, di kanan aku 3 orang dan aku masih tertahan oleh Ken. Negosiasi bukanlah opsi, dia terlalu gila dan bersikeras untuk itu.
Mencoba beralasan dengan Ken sama saja mengharapkan batu bisa berbicara.
Jika aku tertangkap, rencana pernikahan ibu akan terlaksanakan. Dan hari-hariku akan dipenuhi oleh kesengsaraan. Suami yang tidak mencintaiku. Yang hobinya menyiksa orang. Yang selalu mengendalikan setiap pergerakanku. Ibu yang mendukung itu semua terjadi. Ayah yang tidak peka. Serta adikku malang yang kemungkinan akan terbunuh.
Demi diriku dan Aspen, kejadian itu tidak boleh terjadi.
Apapun yang kulakukan, takdirku sudah disegel, tujuan akhir ditentukan. Tapi ku percaya, pergi dengan ledakan lebih baik daripada membiarkan diri terbawa ombak. Maka, meskipun aku mengetahui hal itu percuma, ku tendang selangkangan Ken, berlari ke kiri meskipun sama seperti bunuh diri untuk mencapai mobilku.
"Uhuk, uhuk," Ken merintih, tubuhnya mencium aspal, dan aku melihat itu, menyerahkan kesempatan mengetawai dia untuk segera lari menuju mobil. Mengikuti gerakanku itu seperti mengantisipasinya, para pengawal menangkap aku, dua orang pengawal mengunci masing - masing tangan aku.
Tanpa terpengaruh oleh perlawananku, mereka sekali lagi membawaku kepada Ken yang sudah mulai bisa berdiri- sebuah badai bergelora di matanya.
'Tamatlah aku.'
"Eliana ! Nyalimu besar sekali!" Ia berteriak di depanku, akhirnya menunjukan sifat aslinya.
Melawan api dengan api bukan adalah hal yang baik. Tapi mengubah diri secara terpaksa untuk ditindas orang bukanlah gayaku. Maka dari itu, aku memastikan untuk memakai maja pokerku, mendengarkan ngauman di hatiku, "Benar ! Akan ku lakukan apapun untuk tidak hidup bersamamu"
Di saat itu, Ken menaikan tangan seperti hendak memukulku. Aku terus membuka mataku, tanpa menunjukan rasa takut. 3 detik. 2 detik. 1 detik. Kutunggu benturan menghajar pipiku, menatapinya dengan lebih dingin, seakan - akan itu dapat menguatkan kulitku.
Tetapi rasa sakit tidak pernah datang, hanya kebingungan diantara para penonton dan Ken, tangan yang setengah terangkat serta suara familier yang menenangkan hatiku.
"Apa yang kamu lakukan !?"
Tidak seperti biasanya, suaranya terasa tajam seperti dapat membelah orang dari biasanya yang lembut seperti sungai mengalir. Tetap saja aku dapat mengenalinya, ingatan yang membuatku serasa bagaikan gadis belia lagi. Pria misterius itu.
Dibandingkan terakhir kali, ia berpakaian lebih formal, memakai setelan blazer yang memeluk tubuh terlatihnya, kakinya yang panjang menunjukan kesan elegan meskipun berjalan dengan cepat. Entah bagaimana temperatur ruangan terasa turun 10 derajat. Dan hanya bertambah dingin saat dia muncul di hadapan aku.
"….." Pria misterius itu, mengirim peringatan sunyi kepada Ken, terus memandangi aku yang sekali lagi terlihat tak berdaya. Kenapa pertemuan kami selalu seperti ini. Kupikir ku berdelusi saat ku mendengar kata selanjutnya. "Lepaskan dia."
Andaikan saja itu bekerja tetapi pengawal semakin erat memegangku. Aku menggeleng kepalaku di hati, menyadari adegan yang akan terjadi. Dia akan dikeroyok. Melihat para pengawal tidak bergerak, ia memerintah sekali lagi, suaranya lebih menggelegar dengan otoritas raja.
Secara refleks pengawal di kiri - kananku melepaskan aku, dan di dalam periode pendek itu, ia menarikku ke dalam pelukannya yang nyaman. Semua keangkuhan sebelumnya menghilang dari tampilannya saat ia mengamati keadaanku dan berkata, "Apakah kamu baik - baik saja?"
Kuingin bilang iya tapi suara itu tertelan dan hanya bibirku yang terbuka. Di hadapan aku yang seperti itu, ia tidak marah dan hanya memandangku dengan mata bambunya- membuatku merasa seperti rusa yang menemukan jalan kembali ke hutan setelah diculik oleh pemburu.
"Jangan takut, aku disini."
Ia berbisik, setiap kata menghapus ketegangan yang aku tidak tahu kurasa. Tapi itu pun hanya bertahan sejenak.
"Kamu berani mengganggu kami? Apakah kamu tahu siapa aku!?" Urat di muka Ken menonjol seperti terdapat ulat yang berusaha keluar dari permukaan. kesengitan memenuhi irisnya. Akan tetapi pria misterius itu tidak tampak terpengaruh, bahkan bisa berbicara balik dengan nada mengolok.
"Orang gila yang sengaja memukuli gadis tak berdaya ? Kurasa ku tidak perlu tau lebih dari itu."
Pria misterius itu, berkata sambil mengetik sesuatu dengan jari - jari lentiknya- sebuah perbuatan yang hanya mengipasi amarah Ken. Drum perang berdentung secara gradual, tensi diantara mereka dapat meletus pada saat apapun.
Ganjillnya, para pengawal tidak mencegah pria itu dari mengambil aku, hanya mendengarkan perintah di earphone kupingnya, dalam celah tangan pria misterius itu, kuperhatikan ke sepuluh orang Ken serempak menyentuh kupingnya, mundur satu langkah seperti ingin kabur.
Daripada menanggapi Ken yang terlihat seperti ia siap berperang, pria misterius itu hanya memastikan aku baik - baik saja. Dan mengelus kepalaku dengan sentuhan perlahan seperti takut melukaiku. Sekali lagi, kuperhatikan kasih sayang yang berlimpah di tatapan sendunya. Kelembutan yang tidak mungkin ditujukan kepadaku.
Seakan - akan takut kakiku lunglai, ia meraih dan mendekapku. Tidak mengindahkan penolakan konstanku. Di situasi seperti itu, aku hanya dapat menyembunyikan wajahku di balik dadanya untuk menghindari tatapan orang di sekelilingku.
Tetapi, itu tidak menghalangi teriakan Ken, yang mengejar kami. Lucunya setiap kali ia mencoba menangkapku , pria misterius itu mampu mengelak. Untuk sementara waktu, aku aman di tanganya.
"Taukah dia tunanganku ? Kau tidak berhak atasnya.!"
Langkah - langkah yang diambil oleh pria misterius itu bertambah cepat. Seakan - akan teriakan Ken itu hanyalah suara statik yang tidak memiliki arti, ia bahkan tidak menoleh ke belakang. Hanya untuk sekejap, kumerasa tangannnya mendekapku lebih erat, tidak seperti genggaman pengawal yang menyerupai ular tetapi seperti selimut. Kepompongku yang hangat.
"Itu bukan sesuatu yang bisa kamu tentukan"
__________