Chereads / Percikan Juni Ternyata Mimpi Belaka / Chapter 2 - Chapter 2- bintang setelah metropolis

Chapter 2 - Chapter 2- bintang setelah metropolis

Cahaya berbinar metropolis, Serangan cahaya mobil, Persistensi iklan berulang, semua lampu artifisial ini menghapus terang bintang-bintang diatas kepalaku. Kakiku menyerah setelah berjalan selama satu jam. Mobilku tertinggal dekat apartemen Jason. Ku terdampar di jalan yang tidak kukenali. Tapi satu- satunya hal yang dapat kupikirkan pada saat itu adalah bagaimana ingatanku dipenuhi oleh kenangan palsu yang dibuat-buat oleh mata hatiku.

Apa yang membuat kita beda dari lampu led ini. Kilauan fana. Hidup sementara. Delusi yang akan menghilang begitu orang yang terlibat tidak mau lagi bayar untuk menjaga elektrisitas cinta. Dalam kesedihanku, aku berlari menuju vending machine yang berwarna merah seperti berlumuran darah di depan untuk membeli bir Budwe*ser, membeli semua kaleng hingga stocknya habis.

Dengan tangan penuh, seperti anggota circus, aku berjalan ke ujung taman tanpa memperhatikan tatapan menusuk orang disekitarku dan duduk di bawah pohon Maple yang masih bertebaran ke mana - mana. 'Cus,' kubuka bir yang pertama, meminumnya dalam satu teguk seperti itu air, tetapi kehampaan dalam hatiku masih belum hilang.

Angin menyapu keseluruhan taman itu, seakan - akan mengaum, menculik daun - daun dari rumahnya. Ah alangkah indahnya jika ada yang menarikku keluar dari kepedihan ini. Senyuman sinis merambat ke mukaku. Kuhabiskan lagi satu kaleng bir, dan satu lagi - dan satu lagi. Sebelum kuketahui terdapat barisan kaleng kosong hadapanku.

Harusnya aku menghubungi temanku.

Harusnya aku segera pergi ke rumah daripada menangis di tengah jalan seperti ini-

Di mana aku aman dan tidak pernah akan diduakan.

Namun, ternyata cintaku terhadapnya terlalu dalam.

Sampai meskipun, aku sudah tidak dapat berpikir jernih. Perasaan sengsara dan kehampaan menghukum itu tetap mencengkeram aku. Saat tanganku bergerak mengambil kaleng selanjutnya, kudengar suara merdu bersamaan dengan genggaman kuat seseorang. "Sudah cukup, jangan menyiksa dirimu lagi."

Pada saat itu, indera pendengaranku sudah dikacaukan oleh banyaknya alkohol yang aku minum. Ku menoleh ke kiri dan kanan hanya untuk ditemukan oleh lahan kosong. Apakah aku delusi karena kesepian ? Ku mencoba mengambil bir itu sekali lagi Tetapi tangan yang menahan aku tidak bergerak, bahkan bertambah kokoh walaupun tidak sampai sakit.

"Sudah kubilang jangan minum lagi. Ini udah yang ke 7 nanti kamu sakit. " Entah kenapa ada sebuah desperasi di cara ia mengutarakanya, seakan - akan kami bukan dua orang asing dan aku berharga di matanya.

Melihat aku masih kebingungan mencari dia, pria misterius itu tertawa. Ringan seperti bulu angsa. Rendah seperti Selo. Menggelitik hatiku. Sudah berapa lama ku merasa seperti ini. Jason jarang tertawa di depanku. Tanpa kusadari satu tetes air turun ke pipiku.

Tidak menyadari perubahan itu, pria itu berkata, "aku di belakangmu, meskipun mungkin sekarang kamu tidak mengerti perkataanku."

Sebagian dari diriku merasa terhina. Sejak dulu aku terkenal sebagai peminum yang kuat. Bahkan bisa minum 4 kaleng tanpa blackout. Tetapi, kali ini aku melewati batas dan lumayan mabuk. Karena aku tidak bisa keluar dari genggamannya, aku berputar ke dalam pelukannya, jarak diantara muka kami sebatas lima sentimeter.

Pria itu memiliki kesan yang jauh berbeda dari Jason. Jauh lebih dingin dan hangat di saat yang bersamaan. Akan tetapi untuk sebuah alasan mukanya tumpang tindih dengannya. Dan Kata - kata yang terpendam di dalam hatiku berduyun - duyun keluar.

"Mengapa kamu meninggalkan aku ?"

"Apakah Sussana memperlakukanmu lebih baik daripada aku?"

"Aku akan menjadi lebih baik, aku akan menuruti keinginan kamu. Jangan tinggalkan aku.."

Tanganku membelai mukanya secara perlahan, semua rasa cintaku terpendam di dalamnya. Berjinjit sedikit untuk bisa mencapainya karena perbedaan tinggi kita. Ia pun menoleh kepadaku dan di saat itu kumerasa bahwa ia terlihat familier. Tapi kepalaku tidak bisa mencernanya dalam kemabukan itu. Mata kita berpapasan dalam situasi aneh itu.

Dia tahu aku tidak melihat dia. Dan aku merasa ia pun tidak melihat aku. Kelembutan itu. Rasa sakit itu. Apakah aku boleh mengelabui diriku bahwa itu ditujukan untuk aku. Untuk sebentar kuberpikir apabila ia pun memiliki sentimen yang sama.

Keabadian berlalu seperti itu. Anehnya dia terus mendengarkanku berbicara tanpa pamrih. Ku terus berbicara sampai tenggorokanku kering. Tapi meskipun begitu, kata - kata yang ingin kukatakan bertambah banyak.

"Jika kamu meninggalkan aku, lebih baik aku-"

Sebelum aku bisa mengutarakannya, kurasakan sesuatu menutupi mulutku. Permukaan yang sedikit kasar tetapi nyaman. Tatapan yang mengatakan 'sudah cukup'. Ku tidak memikirkan bagaimana mata ia bergetar saat bibirku menyentuh tangannya.

"Jangan pernah berbicara seperti itu lagi." Selagi berbicara ia menyandarkan kepalaku ke dadanya. Seperti ia takut aku akan hilang. Dengan lemah lembut ia berbisik, "tidurlah. Kamu akan menemui seseorang yang mencintaimu."

Kuingin memberontak, tetapi dalam seketika, kelopak mataku menurut dan tertutup. Pada saat itu, dengan keadaan setengah tidur, ku hanya mendengar helaan nafasnya tetapi itu adalah musik terbaik.

Di setengah jalan, ku mulai berbicara dalam tidur.

"Cintai aku."

"… Kalau itu kehendak kamu."

"Jangan selingkuh lagi."

"Tidak pernah akan."

"Bilang aku cukup untukmu."

"Lebih dari cukup."

Dan dengan begitu, aku kembali ke tidur. Serasa mengalami mimpi indah. Dimana padang rumput berwarna hijau. Bunga bertebaran. Dan ku berjalan bersama seseorang.

___________

Pada pagi itu, aku terbangun di ruangan asing. Harum lavender di ruangan itu. Kehangatan sempurna di dalam selimut. Plafon putih dengan dekorasi hitam bergaris. 'Sebentar ini bukan kamar aku ?' Dalam sekejap aku mencoba untuk bangun. Hanya untuk diserang rasa pusing yang berdenyut.

Untungnya tidak ada siapapun di sebelahku. Aku menoleh ke bawah untuk melihat aku masih pakai baju kemarin. Perlahan demi perlahan aku mulai mengingat kejadian kemarin. Wajah yang buram, suara yang menenangkan. Dengan setiap ingatan yang kembali, rasa malu yang kurasakan meningkat.

Setelah memproses apa yang kejadian aku menghela nafas. Setidaknya orang itu tidak terlihat jahat, jadi aku seharusnya aman. Secara hati - hati aku berkeliling ruangan itu, dan melihat hangover sup di meja dengan catatan.

'Maaf aku membawamu kesini. Kami terlalu mabuk untuk memberitahukan tempat kediamanmu. Ini bagus untuk keadaan kamu. Jangan khawatir aku taruh racun di dalamnya. Lain kali bawa seseorang saat minum.'

Tanpa ragu, aku membuka plastik yang menyelubunginya sup putih itu. Memastikan untuk memindahkannya di depan kursi yang aku duduki, sebelum menyendoknya ke mulutku. Rasanya hangat. Sama seperti rumah kedua yang aku tinggalkan untuk menemui Jason karena ia pindah untuk kerjanya.

Setelah itu, aku meninggalkan apartemen itu. Meninggalkan nomor telefon aku di belakang kertas yang berisi ucapan dia dengan pena yang ku temukan di dalam laci meja. Awalnya, aku berencana untuk kembali ke Los Angeles setelah menjenguk Jason. Tetapi sekarang beda, aku akan menunjukan Jason balas dendam dan membalas kebaikan pria misterius itu.