Cara Jitu Menjinakkan Pak Senja!

Sailormoon_26
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 12.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - PROLOG

"Kamu?!"

"Bapak?!"

Seruan yang sama-sama keluar dari mulut Senja Alexandro dan Mentari Jingga itu membuat orang-orang di sekitar mereka saling tatap. Jangankan merasa malu dengan teriakan barusan yang sudah memancing perhatian dari para pengunjung restoran ini, memedulikan keberadaan mereka saja, Senja dan Mentari tidak . Yang menjadi fokus dan perhatian dari Senja dan Mentari adalah kekacauan yang baru saja dipaparkan langsung tepat di depan kedua mata mereka.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Bryan Alexandro, ayah dari Senja. Beliau adalah pengusaha kaya raya yang sangat terkenal dan sering wara-wiri di televisi maupun majalah bisnis. Meskipun sangat kaya, tapi Bryan dan keluarganya tidak pernah bersikap sombong. Mereka gemar berbagi dengan sesama dan selalu menyantuni anak yatim. Pokoknya, tipe keluarga idaman. Bahkan, pria yang rambutnya sudah memutih itu masih terlihat tampan dan gagah di usianya yang sudah memasuki kepala enam. Pun dengan istrinya yang masih terlihat cantik.

"Sepertinya begitu, Mas," sahut Lilian Alexandro, istri dari Bryan sekaligus ibunda dari Senja. Wanita cantik itu tersenyum manis ke arah seorang cewek berparas cantik dan memiliki rambut indah sepanjang punggung yang duduk di hadapannya. Walau terlihat sangat tidak nyaman, tapi Lilian bisa melihat Mentari Jingga berusaha sebaik mungkin untuk tetap terlihat anggun dan sopan. Di samping Mentari Jingga, nampak ayahnya yang juga seusia ayah dari Senja Alexandro, meringis dan terlihat bingung seperti orang tua Senja Alexandro. "Bukan begitu, Mas Ryan?"

"Ah? Mm... saya juga berpikir seperti itu. Tapi, Mentari nggak pernah cerita apa pun soal dirinya yang sudah mengenal nak Senja." Ryan Kurniawan, pria yang juga memiliki sebuah perusahaan tapi tidak sebesar perusahaan Bryan Alexandro itu menatap anak semata wayangnya. "Kamu nggak pernah cerita sama Ayah kalau kamu udah kenal sama nak Senja. Dan, apa maksud kamu manggil nak Senja dengan sebutan bapak? Dia belum setua itu, Sayang. Dia hanya berbeda delapan tahun sama kamu. Dia masih dua puluh lima tahun."

Mentari Jingga yang sejak tadi hanya diam dengan wajah cemberut dan perasaan jengkel, kini mengerang di dalam hati. Sudah dress yang dia kenakan sangat membuatnya tidak nyaman, sekarang dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa orang yang akan dijodohkan dengannya, yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti, adalah cowok arogan berhati salju model Senja Alexandro! Musuh bebuyutannya! Tuhan, tidak adakah cowok di dunia ini yang bisa dipasangkan dengannya, selain Senja? Siapa kek, gitu. Langit, Matahari, Awan, Guntur atau cowok-cowok dengan nama alam lainnya. Mentari mungkin tidak menginginkan perjodohan dan pernikahan dini seperti ini, tapi demi ayahnya yang sudah tua dan memintanya dengan tulus karena katanya itu demi kebahagiaan Mentari sendiri agar ada yang menjaga dan melindunginya jika seandainya beliau pergi meninggalkan dunia ini, maka Mentari terpaksa mengiyakan. Terlebih, ayahnya sudah membawa-bawa masalah usia tuanya dan kematian segala. Mentari selalu sedih jika ayahnya sudah berbicara mengenai hal tersebut karena mereka memang hanya hidup berdua saja. Ibunda Mentari sudah meninggal dunia sejak cewek itu berusia sepuluh tahun.

"Ayah, Om, Tante," panggil Mentari dengan nada sopan. Dia berusaha tersenyum, tapi Mentari sadar jika senyumannya pasti tidak terlihat normal saat ini. Ya, mau bagaimana lagi? Dia kan sedang dongkol! "Pak Senja itu, yang lagi natap saya sambil melotot itu—tuh! Tuh! Liat kedua matanya yang udah mau keluar dari rongganya! Dia melototin saya dari tadi!—adalah guru BK merangkap guru bahasa Indonesia, sekaligus wali kelas saya tahun ini. Saya juga baru tau kalau pak Senja bakalan jadi wali kelas saya di kelas sebelas ini, seminggu yang lalu, karena memang baru seminggu yang lalu juga saya naik ke kelas sebelas. Ya, kalau musuhan sama pak Senja sih, udah dari awal masuk SMA, Yah, Om, Tante. Nggak tau kenapa, dia bawaannya sensi terus sama saya." Mentari menggeleng dan berdecak beberapa kali, memperlihatkan ekspresi bahwa dirinya sangat bingung dan tidak tahu kenapa hal tersebut bisa terjadi kepadanya.

Senja Alexandro yang sejak tadi juga hanya diam dan kini duduk sambil bersandar dan bersedekap, mendengus. Dia tahu itu perlakuan tidak sopan, mengingat kedua orang tuanya dan ayah dari Mentari ada di hadapannya, tapi Senja tidak bisa menahan diri setelah mendengar ocehan tak bermutu dari salah satu siswi di sekolahnya tersebut. Kemudian, cowok berusia dua puluh lima tahun itu menyeringai. Tentu saja hal itu membuat Mentari menaikkan satu alisnya. Mungkin ini adalah sifat asli dari seorang Senja Alexandro. Tidak seperti saat di sekolah, di mana cowok itu sangat berwibawa dan menakutkan. Err... sekarang juga sama menakutkannya, sih.

"Ya jelas saya sensi sama kamu dan selalu musuhin kamu. Kamu itu dari tahun lalu, dari saat masuk ke SMA sebagai siswi baru, hobinya buat onar terus. Sebentar-sebentar masuk ke ruang BK, sebentar-sebentar ketemu sama saya. Saya bosan lah! Saya itu kepenginnya semua siswa dan siswi di sekolah bisa terbebas dari ruang BK. Nggak perlu masuk ke sana. Iya, doa saya emang terkabul. Nggak pernah ada satu pun yang masuk ke ruang BK, kecuali kamu, Mentari."

Bryan, Lilian dan Ryan hanya bisa bergantian menatap kedua orang yang sudah dijodohkan dan dipasangkan tersebut. Perdebatan mereka bahkan tidak berhenti sampai di sana.

"Pak, saya itu cewek pembela kebenaran! Tentu aja saya harus melakukan perlawanan jika diserang oleh pihak lawan. Saya juga harus membela teman-teman saya yang diserang sama orang lain. Bapak aja yang nggak pernah tau, kan, kalau di sekolah kita itu, banyak banget penindasan dan lain sebagainya. Saya lah yang memberantas semua itu." Mentari mengangguk-anggukan kepalanya dengan bangga. "Kalau nggak ada saya, mungkin udah banyak korban-korban tidak berdosa yang berjatuhan."

"Kamu kan bisa melaporkan hal seperti itu kepada saya dan guru lainnya, Mentari," sahut Senja dengan nada dingin dan tajam. Nah, ini... inilah sifat Senja di sekolah yang paling dibenci oleh Mentari. Ya, memang tidak ada satu sifat baik pun di dalam diri cowok itu yang bisa dilihat oleh Mentari. "Bukannya malah main hakim sendiri."

"Tapi—"

"Sudah, sudah," lerai Lilian. Wanita itu tertawa dan mengusap lengan Senja yang ada di sampingnya, duduk di antara dirinya dan sang suami. Kemudian, Lilian menatap Mentari yang makin cemberut. "Nak Mentari, Tante minta maaf kalau kelakuan dan sikap anak Tante di sekolah bikin kamu nggak nyaman, ya."

"Ngapain minta maaf sih, Mah? Kan Senja hanya menjalankan tugas." Senja mengerutkan kening. Tidak terima ibunya meminta maaf atas dirinya, di saat dia tidak merasa melakukan kesalahan apa pun.

Namun, Lilian menggeleng dan tersenyum ke arah anaknya itu.

"Nah, kalau begitu, gimana kalau sekarang kita langsung ke acara intinya aja?" Bryan Alexandro tertawa renyah dan menggosokan kedua tangannya. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna merah dan menaruhnya di atas meja. Melihat kotak itu, seketika itu juga Mentari dan Senja merinding di tempat masing-masing. Wajah mereka memucat, sudah seperti melihat sesosok hantu yang sangat menakutkan. "Sekarang, kita langsung ke acara pertukaran cincin pertunangan, oke? Senja, kamu pakaikan cincin itu ke jari manis Mentari. Nah, nanti Mentari juga pakaikan cincin itu ke jari manis Senja."

Senja dan Mentari saling tatap. Keduanya tak bisa berkutik dan hanya bisa mengerang di hati masing-masing.