Nakula menatap proposal yang Erlangga ajukan. Dia begitu tertawa dengan kepolosan yang dimiliki anak seusia Erlangga.
Memang harus Nakula akui, jika Erlangga begitu pintar. Tapi memang belum bisa profesional. Ini saja dia yakin, hanya dapat tipis dari orang yang ditanyai.
"Namanya juga masih remaja," gumam Nakula.
Dia hanya meletakkan lagi. Menunggu nanti untuk bertemu dengan anak tersebut.
"Biarkan saja dulu ya. Namanya juga masih remaja. Aku bimbing Felix saja harusnya. Karena dia yang akan sebentar lagi memasuki dunia kerja," sahut Nakula lagi.
Menyampingkan perihal Erlangga, Nakula memutuskan fokus pada pekerjaannya saja. Sampai dia membuka laci dan muncul rambut Felix.
Seketika Nakula, menjadi bimbang. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dengan pelan dan hati-hati, Nakula mengambil sampel yang terbungkus rapat.
"Aku harus melakukan sesuatu pada sampel ini."
***