Nakula masuk ke ruangan kerja yang ada dalam laboratorium. Dia sengaja menepi agar rasa sebal di dadanya hilang.
Kalau dipikir dia begitu bodoh dengan meladeni guyonan dari Erlangga. Biar bagaimanapun, anak itu masih begitu kecil. Belum terpikir untuk ke arah sana. Tapi Nakula saja yang terlalu serius. Sampai menyulitkan diri.
"Sebal sekali hari ini," ujar Nakula.
Dia mendesah sebal. Kalau dipikir memang anak perempuan selalu dibutuhkan. Orang tuanya saja sampai membuat program untuk menghasilkan mereka.
Nakula bersandar di kursinya. Dia meletakkan tangan di depan dahi. Rasanya kepala begitu berat sekali.
"Mood jadi jelek karena ini. Aku begitu sebal. Gara-gara Erlangga, anak itu memang selalu bisa membalikkan situasi," ujarnya lagi.
Nakula membuka buku. Dia lebih memilih membaca saja. Terlebih ada jurnal yang memang belum sempat dia selesaikan.
"Ini laporan ayah yang terakhir."