"Bara ... aku hamil," ucap Liana yang kini tertunduk lesu.
Bara menaikkan sebelah alisnya mendengar pernyataan Liana. "Lalu?" tanya pria itu dengan raut wajah yang masih sama sejak awal pertemuan mereka, datar.
Sejenak Liana mendongakkan kepala, memberanikan diri menatap manik biru pria di hadapannya itu. "Aku ingin kau bertanggung jawab," tegas Liana setelah memendam cukup lama.
"Sorry?" Bara mengernyitkan kening seraya sedikit memiringkan kepalanya, menatap ke arah Liana. Sebenarnya bukan hal mengejutkan lagi bagi Bara saat mengetahui jika gadis di hadapannya tengah hamil dan ingin meminta pertanggung jawaban kepada dirinya, karena sebelum ini pun Liana sudah sering mengirim pesan kepada Bara bahkan sesekali menelepon pria itu ketika pesannya tidak pernah mendapat sebuah jawaban.
Hingga akhirnya Bara merasa jengah dan memutuskan untuk menemui Liana di sebuah cafe yang sudah ia tentukan sebelumnya.
"Ini karena malam itu ...." Liana memainkan jemarinya, menahan rasa gugup yang sedari tadi melanda.
"Malam yang mana? Lagi pula ... dari mana kau yakin bahwa apa yang ada di dalam perutmu itu adalah anakku?" potong Bara sembari melayangkan tatapan penuh cemooh kepada Liana.
Bara mengangkat sudut bibirnya sekilas saat melihat raut terkejut Liana. "Aku tidak yakin jika itu adalah anakku," tambah pria itu tanpa rasa bersalah.
"A-- apa maksudmu? Tentu saja ini anakmu! Aku bahkan---"
"Kau bahkan sudah tidak perawan malam itu." Bara sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan seraya berbisik ke telinga Liana. Lagi-lagi pria itu kembali memotong ucapan wanita di depannya, apalagi saat suara protes Liana naik beberapa oktaf dan mungkin bisa menarik perhatian beberapa pengunjung di cafe itu.
Dalam hati Bara menahan geram, seharusnya ia tadi menyewa area VVIP agar wanita di depannya itu bebas berteriak sepuasnya. 'Benar-benar merepotkan!' batin Bara dengan masih setia memasang wajah datar.
Sementara Liana yang mendengar penuturan Bara sontak membuka mulutnya lebar seraya membulatkan mata sempurna. "A-- apa?" serunya dengan perasaan seolah tidak percaya terhadap apa yang baru saja ia dengar. Liana sama sekali tidak menyangka jika Bara akan mengatakan hal se-menyakitkan itu kepada dirinya.
"Kenapa? Kau pikir aku ini bodoh?" Bara mengangkat sebelah alisnya.
"Tidak ... tidak mungkin! Kau orang pertama yang melakukan itu kepadaku, Bara! Jadi, mana mungkin aku tidak perawan sebelumnya?!" sanggah Liana dengan perasaan yang begitu menggebu, membuat beberapa pengunjung di cafe itu mulai mencuri pandang ke arah mereka.
Bara kembali menyandarkan tubuhnya pada tumpuan kursi, kemudian pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Bisa saja, buktinya tidak ada darah di sana," jawab pria itu dengan suara yang terdengar begitu santai.
"Aku selesai. Membicarakan hal ini hanya akan membuang waktuku saja," imbuh laki-laki bernetra biru itu, lalu melenggang pergi begitu saja bahkan tanpa menyentuh makanannya sama sekali. Bara benar-benar muak dengan sikap Liana yang sama sekali tidak bisa mengontrol suaranya. "Bikin malu saja!" rutuk Bara sembari berjalan menuju pintu keluar.
Sementara itu, air mata Liana seketika mengalir membasahi pipi kala mengingat tuduhan yang Bara layangkan kepada dirinya. Liana bahkan sama sekali tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya, hatinya benar-benar terasa sakit dan hancur. Bagaimana bisa Bara menganggapnya tidak perawan hanya karena tidak ada darah di kegiatan pertama mereka? Bahkan seorang guru pengampu di sekolahnya dulu pun pernah mengatakan bahwa ada atau tidaknya tetesan darah bukanlah penentu keperawanan seorang gadis.
Lagi pula, Liana masih ingat betul setiap detik yang terjadi pada malam itu. Ia bahkan hampir menjerit dan menangis ketika Bara melakukannya. Rasa sakit dan perih yang seolah membuat tubuhnya terkoyak, begitu jelas dalam ingatan Liana. Lalu sebuah penghalang itu ... Liana masih dapat mengingat jelas saat Bara begitu kesusahan memasuki dirinya, hingga perlu beberapa kali hentakan keras barulah akhirnya ia dan Bara berhasil menyatukan tubuh mereka.
Meskipun waktu itu Bara dalam keadaan tidak sadarkan diri karena terlalu banyak menenggak minum keras. Namun, mana mungkin pria itu benar-benar melupakan semua kegiatan yang telah mereka lakukan?
Liana memejamkan matanya, lalu tiba-tiba ia teringat saat Bara sudah berhasil mendapatkan pelepasannya dan kalimat apa yang terucap dari mulut pria itu.
Mengingat hal itu seketika Liana meremas rambutnya, ingin rasanya ia berteriak meluapkan seluruh amarah. Tetapi kewarasannya masih sanggup mengingatkan bahwa kini dirinya masih berada di tempat umum. Bagaimana pun juga, Liana tidak ingin dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya.
'Lalu, bagaimana sekarang? Apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Dan bagaimana caraku menjelaskan ini semua kepada mama?' air mata kembali mengalir keluar dari manik hitam gadis itu.
*****
"Deon? Ada apa? Tumben sekali kau menghubungiku?" sapa Liana setelah mendengar teleponnya berdering dan mendapati nama Deon tertera di sana.
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu," tutur Deon kepada Liana.
Sejenak kening Liana mengernyit. "Sesuatu apa?" tanya gadis yang kini sedang berbaring santai di kamarnya dengan perasaan begitu heran. Bagaimana tidak? Seorang Deon Branandjaya yang terkenal sebagai pria dingin dan cuek itu kini tiba-tiba menghubungi dirinya.
'Pasti ada sesuatu yang sedang dia butuhkan,' cibir Liana dalam hati. Pasalnya, tidak mungkin Deon menghubungi seseorang hanya karena ingin sekedar basa-basi.
"Bisa kita bertemu sekarang?" tanya Deon langsung pada intinya membuat Liana sedikit menarik ujung bibirnya ke atas, menyunggingkan senyuman. Tepat seperti apa yang dia tebak sebelumnya, pria itu pasti sedang butuh sesuatu. Dan jika Liana boleh menebak lagi, pasti sesuatu itu berkaitan dengan sahabatnya, Vella. Gadis cantik yang sudah cukup lama menjalin hubungan dengan Deon, namun beberapa hari yang lalu hubungan mereka telah kandas karena hadirnya Bara di antara keduanya.
Sebenarnya ingin sekali Liana menolak ajakan Deon, namun mengingat sekarang dirinya memiliki waktu yang terbilang cukup senggang, dan Liana sendiri sedang merasa bosan di rumah, apa salahnya menerima ajakan pria itu? Lagi pula, sepertinya hal itu cukup penting mengingat Deon --si pria angkuh yang jarang meminta pertolongan itu tiba-tiba menghubungi dirinya.
Liana mempersiapkan diri dengan begitu baik setelah Deon menutup panggilannya dan sempat memberikan gadis itu sebuah alamat di mana mereka akan bertemu nanti. Setelah selesai berdandan dan menyiapkan diri, Liana segera meraih kunci motornya, lalu menuju cafe yang sudah ditentukan oleh Deon sebelumnya.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan kepadaku?" tanya Liana setelah menutup kembali buku menu di hadapannya dan menyerahkan buku itu kepada pelayan restoran yang sedari tadi masih setia berdiri di samping meja mereka.
"Tentang Vella dan Bara," ujar Deon langsung to the point.
Liana yang mendengar penuturan Deon hanya mengangguk pelan karena bagaimana pun dia sudah dapat menebak apa yang akan menjadi topik pembicaraan pria yang kini duduk di bangku depannya tersebut. Pasti tidak akan jauh-jauh dari Vella, dan selalu seperti itu.