Chereads / Ketika malam pertama tak berdarah / Chapter 7 - BANGUN DARI MIMPI

Chapter 7 - BANGUN DARI MIMPI

Cahaya matahari mulai menyelinap masuk melalui celah-celah bagian gorden yang sedikit terbuka, juga melalui beberapa lubang ventilasi pada kamar itu yang seakan memaksa Liana untuk membuka mata, karena terpaan cahaya di wajah yang membuatnya begitu merasa silau.

Wanita cantik bersurai hitam itu mulai membuka perlahan kelopak matanya dan menampakkan manik yang tak kalah pekat dari warna rambutnya. Liana kembali mengerjap, lalu wanita itu sedikit mengusap kelopak matanya menggunakan punggung tangan untuk bisa memfokuskan pandangan.

Wanita? Ya, mungkin kata itulah yang tepat untuk menyebut dirinya saat ini, setelah Liana memilih untuk menyerahkan seluruh tubuhnya kepada pria yang selama ini selalu dia kagumi.

Liana mengedarkan pandangan ke sekitar kamar. Hanya ada dia dan beberapa benda mati di sekelilingnya. "Di mana Bara?" Liana mengernyit, lalu sesaat kemudian wanita itu mulai mengembangkan senyum pilunya.

Memang apa yang dia harapkan? Bara ada di sampingnya, lalu menyambut dia yang baru saja terbangun dari tidur sembari mengecup kening dan mengucapkan 'Selamat pagi' seperti dalam buku-buku cerita yang biasa dia baca?

"Hah ...." Liana semakin menarik sudut bibirnya ke samping, mencoba tersenyum. Meskipun pada akhirnya hanyalah guratan wajah pilu yang tercipta. Kemudian, sebuah butiran bening lagi-lagi terjatuh dari mata dan mulai membasahi pipinya.

Semalam, saat mendengar ucapan terakhir Bara sebelum pria itu benar-benar tertidur, yang bisa Liana lakukan hanyalah menangis dan merutuki dirinya sendiri dengan segala sumpah serapah yang ada.

Liana ingin berlalu pergi, namun keadaan dirinya yang begitu lemah, lemas dan rasa sakit yang masih terasa berdenyut nyeri terutama pada bagian paling sensitif miliknya benar-benar membuat Liana semakin tidak berdaya. Hingga akhirnya wanita itu tertidur karena terlalu lelah meratapi nasib dan juga kebodohannya.

Liana menyibakkan selimut yang masih menutupi dirinya ke samping, dia menatap tubuh polosnya. Lalu pandangannya berhenti pada dua gundukan yang dia miliki. Liana baru menyadari bahwa Bara meninggalkan banyak sekali bercak merah di tubuhnya. Lalu, sesaat kemudian wanita itu mulai menyentuh kulit lehernya, apakah Bara juga meninggalkan jejak di sana?

Liana mulai menggerakkan tubuhnya untuk turun dari ranjang. Dengan gerakan yang begitu pelan sembari beberapa kali harus meringis menahan sakit, akhirnya Liana berhasil turun dari ranjang itu dan perlahan berjalan memungut pakaiannya yang berserakan di lantai.

Sebenarnya Liana ingin membersihkan diri dahulu sebelum mengenakan pakaiannya kembali, namun mengingat jika tidak ada kamar mandi di dalam kamar itu membuat Liana mengurungkan niatnya.

Segera Liana mengenakan semua pakaian miliknya dan berjalan menuju pintu bercorak putih yang ada tidak jauh darinya.

Semakin dekat jarak Liana dengan pintu itu, semakin jelas pula dirinya mendengar suara hingar - bingar dari arah ruang tengah yang terletak tepat di depan kamarnya. Sejenak Liana mengerutkan kening, "Memangnya ini sudah jam berapa?" Liana kembali mengedarkan pandangan, berharap menemukan sesuatu benda yang dapat menjawab rasa penasarannya.

Namun nihil. Sepanjang Liana mengedarkan pandangan, dirinya sama sekali tidak melihat adanya jam di sana. Akhirnya Liana memutuskan untuk memutar knop pintu di depannya, lalu mulai menariknya dan kemudian melangkah keluar.

Liana terpaku menatap teman-temannya yang tengah asik bercanda ria di ruang tengah dengan berbagai macam camilan di atas pangkuan mereka, lalu beberapa teman lainnya sibuk membereskan piring kotor yang ada pada meja makan tidak jauh dari sana. Apakah mereka telah selesai sarapan? Liana kembali mengerutkan keningnya. Bahkan teman-temannya juga sudah tampak begitu rapi dan segar menandakan bahwa semuanya sudah membersihkan diri mereka.

Lalu, pandangan Liana jatuh pada pria yang tengah duduk menyendiri di bagian pojok ruangan seraya fokus memainkan ponsel di tangannya. Pria itu memakai pakaian yang begitu casual dengan kaos abu-abu polos dan juga celana jins pendek yang melekat di tubuhnya, tidak lupa dengan sepatu sneaker berwarna hitam dengan sedikit warna cokelat di bagian bawah dan tali berwarna orange yang dia kenakan, juga sebuah topi berwarna hitam yang menempel di kepalanya menambah kesan tampan pria tersebut.

Siapa lagi kalau bukan Baraditya Adyasta, pria yang sempat menghabiskan malam panas bersama Liana. Teringat dengan hal itu, lagi-lagi tanpa sadar Liana menampakkan semburat merah di pipinya.

"Eh, Liana? Kau baru bangun?" sapa salah satu teman Liana saat menyadari keberadaannya.

"Li, kenapa kau semalam pindah tidurnya? Apakah aku semalam sangat berisik sehingga membuat dirimu merasa terganggu?" tanya salah seorang yang lain, saat dirinya menoleh dan mendapati teman satu kamarnya ternyata keluar dari kamar yang berbeda.

"Tentu saja Liana pindah, kau terlalu berisik. Kau bahkan semalam mendengkur dengan begitu keras!" belum sempat Liana menjawab, temannya yang lain sudah membuka suara menjawab kegelisahan gadis di sampingnya tersebut.

Gadis yang sedari tadi membahas dengkurannya itu sontak membelalakkan mata mendengar penuturan dari temannya. "Oh, benarkah?" gadis itu menatap serius ke arah teman satu kamarnya itu.

"Hahaha ... Tidak, aku hanya bercanda!" sahut gadis dengan rambut dikuncir kuda tersebut menertawai wajah temannya yang langsung terlihat begitu panik karena ucapan yang dia tuduhkan. Padahal tadi dia hanya mengarang saja.

"Hih, seriuslah!" rajuk gadis dengan panjang rambut sebahu itu.

"Mana aku tau, aku kan juga tertidur," jawab gadis berkuncir kuda dengan santainya seraya mengangkat kedua bahu, lalu melenggang pergi begitu saja.

"Apa benar aku mendengkur begitu keras sehingga mengganggu tidurmu, Li?" Gadis dengan panjang rambut sebahu itu kembali mengalihkan pandangannya pada Liana.

"Oh, tidak, bukan begitu ...."

"Sudah lah, lebih baik kau segera membersihkan diri lalu sarapan, Li. Masih ada beberapa menu makanan di atas meja." potong gadis lainnya yang betugas membersihkan meja makan, lalu pergi begitu saja dengan membawa beberapa gelas kotor di tangannya.

"Ya, dan setelah itu kita bisa melanjutkan petualangan kita hari ini!" seru teman mereka yang lain.

"Benar, lagi pula sekarang sudah jam sembilan, kalau siang sedikit panas nanti," celoteh gadis lainnya. Sementara para pria justru begitu asik memandangi layar televisi besar yang terletak di depan mereka, dengan sebagian di antaranya memegangi stick game di tangan dan mulai menunjukkan bakatnya.

"Tonjok terus, Za! Ah, payah!" sesekali mereka saling berteriak dan merutuk sebal, lalu sebagian yang lain justru tertawa riang, merayakan kemenangannya.

Sejenak Liana mengernyit, sekarang sudah pukul sembilan? Padahal mau tidur selarut apa pun, biasanya Liana tidak pernah bangun lebih dari jam lima pagi. Tetapi hari ini, kenapa dia bisa sampai bangun begitu siang?

Perlahan Liana mulai melangkahkan kakinya hendak menuju kamar untuk mengambil pakaian ganti, rasa nyeri di tubuhnya masih begitu terasa, namun Liana berusaha untuk tidak menampakkan rasa sakit itu agar teman-temannya tidak ada yang curiga.

"Oh, iya. Vella ke mana, Li? Apa tadi malam dia juga tidur bersamamu?" tanya gadis berkuncir kuda setelah kembali dari dapur menghentikan langkah Liana. Membuat Liana kembali mengerutkan keningnya. Vella tidak ada di dalam kamar?